Mohon tunggu...
Joko Tole
Joko Tole Mohon Tunggu... -

bejo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hampir Sempurna

27 Mei 2012   12:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Menjelang malam, guratan matahari hanya nampak di kaki langit, beradu mental dengan tugu pahlawan sejak jaman jepang telah menjulang. Rana telah menyelesaikan bacaanya. Diletakan novel di meja. Dia lepas kacamata menguap sebentar, lantas mengalihkan tatapnya ke sebuah foto mendiang ibunda. Seorang wanita paruh baya duduk santai, terukir senyum, berbaju biru muda bermotif kamboja. Oh bunda, Rana merindu dalam hati. Seorang ibu semulia itu kini pergi selamanya. Tapi

Rana menahan air matanya untuk jatuh.


"Ada apa?" Jihan menoleh. Gadis itu mengerutkan kening. Lalu, "Kau rindu ibumu," telunjukya menunjuk foto 4R di meja. Dilepaskannya jaket. Udara sejuk menyergapnya. "Hanya dia yang kau rindukan" keningnya semakin keriput. "Aku curiga kau mulai lupa ayahmu." Jihan merapikan tumpukan buku. Sambil menyalakan kipas, dipungutnya tisu bekas keringat.


Ayah, pikirnya sendu. Pria yang 37 tahun lalu merebut hati ibunya. Dari air hinanya benih Rana tercipta. Yang berenang di goa, menisik penantian untuk sebuah kehidupan, dipelihara dalam tautan ari sembilan bulan 10 hari. Dan dengan rela membiarkan tubuh mungil itu keluar dari pertapaanya. Waktu melintas lalu, atas nama cinta dan harapan bayi menjadi bocah, tumbuh remaja, kini seorang Rana yang siap dipinang. Namun sosok ayah telah lama hilang, kala pergi membawa istri orang, lupa bunda berbaring melawan maut di atas ranjang.


Bulir keringat menempel di pelipisnya. Rana menerawang dengan otak bungkuknya, lebih seksama. Yang tertuju ke sebuah gedung berbalut kaca, berderet mobil ambulance terparkir, bak tunggangan para raja. Mata sembab oleh air mata di depan ruang ICU. Oh bunda, gumamnya di hati. Kecuali Para Medis Dilarang Masuk. Demikian tertulis merah semboyan di pintu. Tujuh jam berlalu tampak orang berbaju putih keluar, berkata kami sudah berusaha tapi Tuhan penentu akhirya. Rana terus menangis dalam pelukan perawat. Bunda hanya diam dan terpejam tanpa bisa lagi menyeka air mata anaknya.


Jihan memberi tisu. Rana menoleh cepat, dan menampak sepasang pupil mata sehitam miliknya. Raut wajah gadis Bojonegoro. "Ada apa?" Suaranya mendahului benaknya. "Sepertinya air matamu sudah terlalu banyak" tukas Jihan. Suara yang telah dikenalnya sejak di bangku kuliah. Mendengar itu seolah Rana menemukan mutiara yang sedang berkilau. Kupingnya terlanjur akrab mendengar gurau ketika duka."kau orang brengsek, yang selalu bisa menghiburku" Rana tak pandai menyembunyikan ketertarikanya pada gurauan. Kini senyum Rana menebar.


"Jadi aku tak salah?" Tangan Jihan terulur hangat. Awan-awan berwarna timah memenuhi langit. Mereka telah beradu pagutan peluk. "Apa yang salah?" Rana mengamati. Yang masih menyimpan senyum di matanya. "Kamu?" Huh, gadis itu menjeratnya untuk bercerita. Jihan seorang pelarian dari sistem, dan terbang ke tempat jauh di wilayah geologis zona kebebasan norma, sekitar sepuluh dejarat lintang utara adat-istiadat. Pohon-pohon anti sosial tumbuh subur di sepanjang tepi dan lembah-lembah dekat anak sungai kenikmatan, hingga memasungnya dengan nikmat rasa manis dan asam dalam kadar hubungan tak lazim. Tapi Rana, hadir di dunia marginal ini bukan karena hormon seksualnya kelainan, namun jauh-jauh hari telah melumatkan bilur aturan sosial yang dibawanya berlari. Seperti pedagang tahu memeras ampas kedelai.


Mulut Rana terkatup rapat kini. Yang terakhir itu dikisahkannya untuk diri sendiri. Tidak bagi yang lain. la tak bisa mencegah datangnya lara saat menyadari Jihan yang tegak di depannya, yang diharapkannya sebagai tempat menyeka luka. Mereka sama-sama wanita. Dan untuk makhluk jenis ini tak ada area tersisa di otak untuk semua dalih bernama cinta dan sejenisnya, hanya hati yang ada.
"Besok aku harus pergi, Bos menugaskan ke Maluku" alih Jihan di keheningan. Rana memandangi jendela. Lampu jalanan telah menyala. Pedagang kaki lima telah membuka kedai. Jihan tak mengusik, tak memaksa Rana menanggapi kata-katanya. Kendati, hati kecilnya menuntut itu. Rana bersikeras ingin tetap dalam pelukan tanpa kata.


"Kenapa harus besok, Han!" Rana meraba.
Mereka kemudian sibuk merajut mimik muka. Antara sedih dan kecewa. Rana mengajak Jihan menyusuri lekuk kota tua yang indah dengan sarana pelabuhannya memori ingatan. Mengaduk-aduk musium nostalgia, berandai-andai menelusuri kanal-kanal kenangan, dan saling memotret masa lalu. Rana cerdas, dengan horison pemikiran yang luas.
"Ran jauh bukan berarti hatiku juga jauh" papar Jihan. "Konon, pujangga berkata cinta itu amatlah kuat, tapi hati itu rapuh" Tukas Rana. "Kamu tahu kan, cintaku sebesar apa kepadamu?" Jihan memandang.


Seperti jiwanya yang kadang-kadang mendadak gemetar saat menampak sosok Jihan. la kerap terpuruk pada lindap bayangan mata hitam yang teduh itu. Bunda, Rana mengaduh di batin. Haruskah aku rela jika tiba-tiba dia yang memiliki nilai tinggi di hati pergi tanpa tahu kapan kembali?
Ia tak hendak menjawab, tak tahu. Tapi Jihan berusaha membangun keangkuhan. Keangkuhan untuk belajar dewasa.
"Kau tidak bersikap sebagaimana orang yang akan pergi?" heran Jihan. Rana malah menjejas cerita tentang kesetian matahari pada siang. Gadis berkulit itu meraih bahu Rana. "Kau tidak berucap selamat jalan?" Lanjut Jihan begitu pedih dan garang. Rana menggeleng. "Aku suka padamu. Berjanjilah sesuatu untukku!" kesah Rana galau. Jihan meregang. Jemarinya gigil dalam genggaman. la menyimpan harapan yang sama, meski menyembunyikannya ke relung batin terdalam. la yakin, perasaannya kali ini bukan untuk saling memiliki. Rana masih memeluknya, dan menyentuh matanya dengan sudut bibir. "Jaga dirimu baik-baik" tambah Rana . "Matamu basah," suara Rana jauh. Lantas tertawa kering. "Ah, Aku kelilipan"Sahut Jihan.


Malam memanjang, dan menyandingkan bulan di dekat bintang. Rana berpaling. Langkahnya oleng menyentuh pintu kamar. Jihan seperti pramuka bersiap kemah. Ia persiapan segalanya untuk besok. Rana kini pulas dalam lelap mimpi.


***


Bagai mimpi. Rana menyaksikan sebuah peristiwa yang mengguncang jiwa. Hasil percakapan tadi malam menampakan hal nyata. Kini di apartemen 6*8 itu tampak sepi. Terbekas kicau burung dan mentari pagi. Rana sadar. Ketakutan terbesar Jihan adalah air mata, melebihi takutnya pada kematian. Tentang bagaimana Jihan pergi bukan urusan. Rana menatap tumpukan surat dan postcard dalam bauran rasa yang asing. Tekadmu kukuh, kesahnya di batin. Sementara apa yang kulakukan di sini? Menertawai dongengmu? Tentang cinta, kesetiaan, dan kepercayaan: tiga miliknya yang telah lama raib.


***


Hampir Sepuluh tahun berlalu. Rana tengah menyatakan rasa dengan caranya sendiri. Pemandangan itu merajam, dan berceceran sukmanya seketika. Jiwanya untuk Jihan yang disusun dari material bernama rindu. Runtuh kala menangkap mata asing dan bibir penuh geragap dari Pria yang pernah menjanjikan banyak hal padanya. Tentang pemaknaan keluarga. Dalam dunia disebut Ayah. Jihan berjalan dekat komplek pertokoan tidak sendiri. la muncul bersama Ayah Rana dengan tungkai kaki, jemari,peluk dan hati yang bahagia. Dan Rana hanya mampu menyekap isaknya dengan kerongkongan yang panas. Rana bak detektif. Menyusuri koridor jalanan dengan endapan. Menguntit dua pasangan yang amat dia kenal sedang bergandeng mesra.


"Kami pesan gaun pengantin yang super spesial" sergap Ayah Rana pada penjaga butik. "Kita menikah secara diam-diam, bahkan disembunyikan dari anak mu, kenapa harus mewah?" sahut Jihan. "ini wujud cintaku padamu, agar kau yakin padaku, setelah kegagalan hubungan pada kedua istriku". "aku yakin padamu, setelah semua tentang dirimu kuketahui dari Rana". Semua menjadi segar dan cerah beselimut dalam pelukan kasih. Mereka tinggalkan toko bersama kartu nama dan beberapa lembar rupiah.


Dan, Rana yang bodoh! Ratapnya sakit. Ketika bertanya pada penjaga butik tentang dua pasangan yang baru datang. Surat-surat Rana yang setia melayang ke Maluku tak berbeda dengan cerpen-cerpen picisan yang kerap dibacanya di majalah. Tidak pernah ada balasan tanpa curiga. Keyakinan akan kesetiaan penuh telah membuainya, menyulut keberaniannya untuk membangun penantian, sekaligus mendudukkan cinta dan kesetiaan pada tempat teragung kelak. Semua lantak dan luluh..., gumamnya patah. Tak sampai genap sepuluh tahun setelah ia melepas Jihan untuk tugas kerja. Sepertinya Surabaya-Maluku, terlalu jauh untuk hati yang rapuh. Jika yang di Maluku saja bisa menyeleweng, apalagi yang bisa kuharapkan darimu?
Rana mendengus. Bahkan kau rebut kasih dan cinta ayahku sendiri.


Lalu mengatup mata berdoa saat hujan turun begitu deras. Sebentar kemudian, matanya tak lagi menangkap biru mayapada, halimun yang bergerak seirama penari, kini tinggal banjir peluh air mata. Ia kembali ke daratan, bertepatan dengan musim salju yang kembali bertamu kesepian dan kesedihan. Tak ada alasan untuk menolak tawaran membenci kebahagiaan lagi. Sepuluh tahun, waktu yang cukup untuk menyelami permainan Jihan tanpa harus sakit hati. Kendati, dalam ribuan hari-harinya itu, ada malam-malam tertentu di mana ia sulit memupus indahnya bercinta. Terlebih saat tawa, mencecarnya setiap malam Minggu tiba. Jauh-jauh ia menyadari itu, dunia terlalu luas untuk diarungi seorang diri. Tapi Jihan..., ia kawan dan kekasih terlarang lama! Hibur hatinya kemudian.


***


Sekian pekan benak Rana kembali penuh dengan kisah-kisah musim hujan pada sore-sore yang manis di sepanjang kanal yang mengelilingi kota, membelah rentetan historis arsitektur jaman jepang dan belanda, memuasi perasaan dengan pemandangan bangunan-bangunan yang berderet artistik. Jihan pernah menjelaskan padanya gaya bangunan yang berkisah tentang zamannya itu."Gedung ini bergaya Renaissance. Yang itu Gotik dan Barock. Jika Aku sampai mati meninggalkanmu, lebih baik aku mati..," ujarnya dulu. Rana tersenyum. Jihan, gumamnya dalam dingin. la mempercepat langkah. Apartemen Jihan yang lama nampak di ujung jalan. la harus bisa memaksa Jihan untuk meninggalkan ayahnya, dan mengajaknya bersama-sama berlibur kembali dalam pelukan cintanya. Di depan pintu, gadis itu tertegun. Ada getar serentak merembesi raganya. Masa lalu bersama Jihan hadir mengepungnya: saat hatinya berdenyar ketika menampak sosok gadis itu, saat ia terpuruk pada lindap bayangan mata hitam teduh milik Jihan. Juga, saat terkenang pada malam-malam dinginnya yang sunyi. Rana telah menipu diri sendiri..., kemudian dalam mata basah.


Angin yang gelisah memagut tubuh yang hampir seluruhnya memutih akibat kosmetik. Dirapatkannya jaket untuk menyembunyikan tubuhnya yang langsing. Jihan tampak terkejut membuka pintu. Bulan-bulan terakhir Jihan pernah begitu sibuk menjadi arsitek sebuah keyakinan hampir sempurna: ia akan datang untuk kehidupan normal layaknya pasangan suami istri, untuk menghapus masa lalu yang kelam, untuk opera-opera yang selama ini kosong akan filsafat makna, untuk pergelaran musik klasik genggaman norma, untuk gedung-gedung kontemporer di sepanjang trotoar adat-istiadat, untuk melihat keruntuhan tembok kebebasan yang yang semakin jauh dari garis bujur dan garis lintang kehidupan sosial. Juga untuk seorang duda setengah baya, dulu pernah menjadi ayah sabahat sekaligus kasih terlarangnya. la percaya, rancangannya kini telah berwujud. Jihan meraih handel pintu, tak terkunci, agar pintu semakin lebar terbuka. la menguaknya, nyaris tanpa suara. Seperti yang kerap dilakukannya hampir sepuluh tahun silam selama berada di hati Rana. Dan ia tercengkam oleh peristiwa di luar skenarionya. Ia memang berharap seorang gadis tengah dicumbunya kala dulu tak akan kembali selamanya.


Rana duduk di depan meja. Sesaat, otaknya seperti berhenti bekerja. Sungguh, Jihan tidak berkata apa-apa. Ia ternyata belum siap sepenuhnya. Termasuk menerima kejadian luar biasa itu: mendapati Rana termangu menemuinya, dengan jari-jari mengelus punggung tangan.
Diraihnya kursi untuk bertumpu. Tangan-tangan kokoh sigap menyambar tubuh menggigil yang limbung itu. Airmata yang telah lama mengendap, kini mengambang di pelupuk mata. Kembara sunyi mencapai batas penat. Dan akhirnya tak kuasa untuk jatuh pula."Aku selalu yakin, kau pasti datang. Maaf selama ini tanpa pernah aku kasih kabar..," bisik Jihan parau."aku tahu beberapa minggu lalu apa yang kamu lakukan"balas Rana."sekarang kau pilh aku atau ayahku?"imbuhnya. Sejenak Jihan hanya terdiam berselimut tanda tanya. Yang bersemi di tepian jurang keraguan. "Jika kau hanya diam berati, kau pilih pergi dariku?" Tanya Rana."Aku ingin hidup normal lagi Ran, demi hidupku yang hampir sempurna ini". Imbas Jihan. "Jika itu jawabmu, maka ini yang kau mau" keluarlah sepucuk pistol. Dan dorrrr, seketika tergeletak gadis bersimbah darah di kening, tengkuk pundak, dan leher. Rana menciumi rambut kelimis darah di depannya. Kening, mata, dan hidung Rana mendadak dijalari rasa hangat. Suara Jihan begitu dekat ditelinganya. "Aku tidak punya apa-apa selain hatimu, Ran. Kau percaya jika cinta dan kesetiaan bukan soal jarak dan waktu. Tapi , hati...ma ma ma aa af kan a akk ..". Tubuh kaku Jihan tinggal tertidur dan terus bermimpi tanpa terbangun lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun