Mohon tunggu...
Joko Tole
Joko Tole Mohon Tunggu... -

bejo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hampir Sempurna

27 Mei 2012   12:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


***


Bagai mimpi. Rana menyaksikan sebuah peristiwa yang mengguncang jiwa. Hasil percakapan tadi malam menampakan hal nyata. Kini di apartemen 6*8 itu tampak sepi. Terbekas kicau burung dan mentari pagi. Rana sadar. Ketakutan terbesar Jihan adalah air mata, melebihi takutnya pada kematian. Tentang bagaimana Jihan pergi bukan urusan. Rana menatap tumpukan surat dan postcard dalam bauran rasa yang asing. Tekadmu kukuh, kesahnya di batin. Sementara apa yang kulakukan di sini? Menertawai dongengmu? Tentang cinta, kesetiaan, dan kepercayaan: tiga miliknya yang telah lama raib.


***


Hampir Sepuluh tahun berlalu. Rana tengah menyatakan rasa dengan caranya sendiri. Pemandangan itu merajam, dan berceceran sukmanya seketika. Jiwanya untuk Jihan yang disusun dari material bernama rindu. Runtuh kala menangkap mata asing dan bibir penuh geragap dari Pria yang pernah menjanjikan banyak hal padanya. Tentang pemaknaan keluarga. Dalam dunia disebut Ayah. Jihan berjalan dekat komplek pertokoan tidak sendiri. la muncul bersama Ayah Rana dengan tungkai kaki, jemari,peluk dan hati yang bahagia. Dan Rana hanya mampu menyekap isaknya dengan kerongkongan yang panas. Rana bak detektif. Menyusuri koridor jalanan dengan endapan. Menguntit dua pasangan yang amat dia kenal sedang bergandeng mesra.


"Kami pesan gaun pengantin yang super spesial" sergap Ayah Rana pada penjaga butik. "Kita menikah secara diam-diam, bahkan disembunyikan dari anak mu, kenapa harus mewah?" sahut Jihan. "ini wujud cintaku padamu, agar kau yakin padaku, setelah kegagalan hubungan pada kedua istriku". "aku yakin padamu, setelah semua tentang dirimu kuketahui dari Rana". Semua menjadi segar dan cerah beselimut dalam pelukan kasih. Mereka tinggalkan toko bersama kartu nama dan beberapa lembar rupiah.


Dan, Rana yang bodoh! Ratapnya sakit. Ketika bertanya pada penjaga butik tentang dua pasangan yang baru datang. Surat-surat Rana yang setia melayang ke Maluku tak berbeda dengan cerpen-cerpen picisan yang kerap dibacanya di majalah. Tidak pernah ada balasan tanpa curiga. Keyakinan akan kesetiaan penuh telah membuainya, menyulut keberaniannya untuk membangun penantian, sekaligus mendudukkan cinta dan kesetiaan pada tempat teragung kelak. Semua lantak dan luluh..., gumamnya patah. Tak sampai genap sepuluh tahun setelah ia melepas Jihan untuk tugas kerja. Sepertinya Surabaya-Maluku, terlalu jauh untuk hati yang rapuh. Jika yang di Maluku saja bisa menyeleweng, apalagi yang bisa kuharapkan darimu?
Rana mendengus. Bahkan kau rebut kasih dan cinta ayahku sendiri.


Lalu mengatup mata berdoa saat hujan turun begitu deras. Sebentar kemudian, matanya tak lagi menangkap biru mayapada, halimun yang bergerak seirama penari, kini tinggal banjir peluh air mata. Ia kembali ke daratan, bertepatan dengan musim salju yang kembali bertamu kesepian dan kesedihan. Tak ada alasan untuk menolak tawaran membenci kebahagiaan lagi. Sepuluh tahun, waktu yang cukup untuk menyelami permainan Jihan tanpa harus sakit hati. Kendati, dalam ribuan hari-harinya itu, ada malam-malam tertentu di mana ia sulit memupus indahnya bercinta. Terlebih saat tawa, mencecarnya setiap malam Minggu tiba. Jauh-jauh ia menyadari itu, dunia terlalu luas untuk diarungi seorang diri. Tapi Jihan..., ia kawan dan kekasih terlarang lama! Hibur hatinya kemudian.


***


Sekian pekan benak Rana kembali penuh dengan kisah-kisah musim hujan pada sore-sore yang manis di sepanjang kanal yang mengelilingi kota, membelah rentetan historis arsitektur jaman jepang dan belanda, memuasi perasaan dengan pemandangan bangunan-bangunan yang berderet artistik. Jihan pernah menjelaskan padanya gaya bangunan yang berkisah tentang zamannya itu."Gedung ini bergaya Renaissance. Yang itu Gotik dan Barock. Jika Aku sampai mati meninggalkanmu, lebih baik aku mati..," ujarnya dulu. Rana tersenyum. Jihan, gumamnya dalam dingin. la mempercepat langkah. Apartemen Jihan yang lama nampak di ujung jalan. la harus bisa memaksa Jihan untuk meninggalkan ayahnya, dan mengajaknya bersama-sama berlibur kembali dalam pelukan cintanya. Di depan pintu, gadis itu tertegun. Ada getar serentak merembesi raganya. Masa lalu bersama Jihan hadir mengepungnya: saat hatinya berdenyar ketika menampak sosok gadis itu, saat ia terpuruk pada lindap bayangan mata hitam teduh milik Jihan. Juga, saat terkenang pada malam-malam dinginnya yang sunyi. Rana telah menipu diri sendiri..., kemudian dalam mata basah.


Angin yang gelisah memagut tubuh yang hampir seluruhnya memutih akibat kosmetik. Dirapatkannya jaket untuk menyembunyikan tubuhnya yang langsing. Jihan tampak terkejut membuka pintu. Bulan-bulan terakhir Jihan pernah begitu sibuk menjadi arsitek sebuah keyakinan hampir sempurna: ia akan datang untuk kehidupan normal layaknya pasangan suami istri, untuk menghapus masa lalu yang kelam, untuk opera-opera yang selama ini kosong akan filsafat makna, untuk pergelaran musik klasik genggaman norma, untuk gedung-gedung kontemporer di sepanjang trotoar adat-istiadat, untuk melihat keruntuhan tembok kebebasan yang yang semakin jauh dari garis bujur dan garis lintang kehidupan sosial. Juga untuk seorang duda setengah baya, dulu pernah menjadi ayah sabahat sekaligus kasih terlarangnya. la percaya, rancangannya kini telah berwujud. Jihan meraih handel pintu, tak terkunci, agar pintu semakin lebar terbuka. la menguaknya, nyaris tanpa suara. Seperti yang kerap dilakukannya hampir sepuluh tahun silam selama berada di hati Rana. Dan ia tercengkam oleh peristiwa di luar skenarionya. Ia memang berharap seorang gadis tengah dicumbunya kala dulu tak akan kembali selamanya.


Rana duduk di depan meja. Sesaat, otaknya seperti berhenti bekerja. Sungguh, Jihan tidak berkata apa-apa. Ia ternyata belum siap sepenuhnya. Termasuk menerima kejadian luar biasa itu: mendapati Rana termangu menemuinya, dengan jari-jari mengelus punggung tangan.
Diraihnya kursi untuk bertumpu. Tangan-tangan kokoh sigap menyambar tubuh menggigil yang limbung itu. Airmata yang telah lama mengendap, kini mengambang di pelupuk mata. Kembara sunyi mencapai batas penat. Dan akhirnya tak kuasa untuk jatuh pula."Aku selalu yakin, kau pasti datang. Maaf selama ini tanpa pernah aku kasih kabar..," bisik Jihan parau."aku tahu beberapa minggu lalu apa yang kamu lakukan"balas Rana."sekarang kau pilh aku atau ayahku?"imbuhnya. Sejenak Jihan hanya terdiam berselimut tanda tanya. Yang bersemi di tepian jurang keraguan. "Jika kau hanya diam berati, kau pilih pergi dariku?" Tanya Rana."Aku ingin hidup normal lagi Ran, demi hidupku yang hampir sempurna ini". Imbas Jihan. "Jika itu jawabmu, maka ini yang kau mau" keluarlah sepucuk pistol. Dan dorrrr, seketika tergeletak gadis bersimbah darah di kening, tengkuk pundak, dan leher. Rana menciumi rambut kelimis darah di depannya. Kening, mata, dan hidung Rana mendadak dijalari rasa hangat. Suara Jihan begitu dekat ditelinganya. "Aku tidak punya apa-apa selain hatimu, Ran. Kau percaya jika cinta dan kesetiaan bukan soal jarak dan waktu. Tapi , hati...ma ma ma aa af kan a akk ..". Tubuh kaku Jihan tinggal tertidur dan terus bermimpi tanpa terbangun lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun