Menjelang malam, guratan matahari hanya nampak di kaki langit, beradu mental dengan tugu pahlawan sejak jaman jepang telah menjulang. Rana telah menyelesaikan bacaanya. Diletakan novel di meja. Dia lepas kacamata menguap sebentar, lantas mengalihkan tatapnya ke sebuah foto mendiang ibunda. Seorang wanita paruh baya duduk santai, terukir senyum, berbaju biru muda bermotif kamboja. Oh bunda, Rana merindu dalam hati. Seorang ibu semulia itu kini pergi selamanya. Tapi
Rana menahan air matanya untuk jatuh.
"Ada apa?" Jihan menoleh. Gadis itu mengerutkan kening. Lalu, "Kau rindu ibumu," telunjukya menunjuk foto 4R di meja. Dilepaskannya jaket. Udara sejuk menyergapnya. "Hanya dia yang kau rindukan" keningnya semakin keriput. "Aku curiga kau mulai lupa ayahmu." Jihan merapikan tumpukan buku. Sambil menyalakan kipas, dipungutnya tisu bekas keringat.
Ayah, pikirnya sendu. Pria yang 37 tahun lalu merebut hati ibunya. Dari air hinanya benih Rana tercipta. Yang berenang di goa, menisik penantian untuk sebuah kehidupan, dipelihara dalam tautan ari sembilan bulan 10 hari. Dan dengan rela membiarkan tubuh mungil itu keluar dari pertapaanya. Waktu melintas lalu, atas nama cinta dan harapan bayi menjadi bocah, tumbuh remaja, kini seorang Rana yang siap dipinang. Namun sosok ayah telah lama hilang, kala pergi membawa istri orang, lupa bunda berbaring melawan maut di atas ranjang.
Bulir keringat menempel di pelipisnya. Rana menerawang dengan otak bungkuknya, lebih seksama. Yang tertuju ke sebuah gedung berbalut kaca, berderet mobil ambulance terparkir, bak tunggangan para raja. Mata sembab oleh air mata di depan ruang ICU. Oh bunda, gumamnya di hati. Kecuali Para Medis Dilarang Masuk. Demikian tertulis merah semboyan di pintu. Tujuh jam berlalu tampak orang berbaju putih keluar, berkata kami sudah berusaha tapi Tuhan penentu akhirya. Rana terus menangis dalam pelukan perawat. Bunda hanya diam dan terpejam tanpa bisa lagi menyeka air mata anaknya.
Jihan memberi tisu. Rana menoleh cepat, dan menampak sepasang pupil mata sehitam miliknya. Raut wajah gadis Bojonegoro. "Ada apa?" Suaranya mendahului benaknya. "Sepertinya air matamu sudah terlalu banyak" tukas Jihan. Suara yang telah dikenalnya sejak di bangku kuliah. Mendengar itu seolah Rana menemukan mutiara yang sedang berkilau. Kupingnya terlanjur akrab mendengar gurau ketika duka."kau orang brengsek, yang selalu bisa menghiburku" Rana tak pandai menyembunyikan ketertarikanya pada gurauan. Kini senyum Rana menebar.
"Jadi aku tak salah?" Tangan Jihan terulur hangat. Awan-awan berwarna timah memenuhi langit. Mereka telah beradu pagutan peluk. "Apa yang salah?" Rana mengamati. Yang masih menyimpan senyum di matanya. "Kamu?" Huh, gadis itu menjeratnya untuk bercerita. Jihan seorang pelarian dari sistem, dan terbang ke tempat jauh di wilayah geologis zona kebebasan norma, sekitar sepuluh dejarat lintang utara adat-istiadat. Pohon-pohon anti sosial tumbuh subur di sepanjang tepi dan lembah-lembah dekat anak sungai kenikmatan, hingga memasungnya dengan nikmat rasa manis dan asam dalam kadar hubungan tak lazim. Tapi Rana, hadir di dunia marginal ini bukan karena hormon seksualnya kelainan, namun jauh-jauh hari telah melumatkan bilur aturan sosial yang dibawanya berlari. Seperti pedagang tahu memeras ampas kedelai.
Mulut Rana terkatup rapat kini. Yang terakhir itu dikisahkannya untuk diri sendiri. Tidak bagi yang lain. la tak bisa mencegah datangnya lara saat menyadari Jihan yang tegak di depannya, yang diharapkannya sebagai tempat menyeka luka. Mereka sama-sama wanita. Dan untuk makhluk jenis ini tak ada area tersisa di otak untuk semua dalih bernama cinta dan sejenisnya, hanya hati yang ada.
"Besok aku harus pergi, Bos menugaskan ke Maluku" alih Jihan di keheningan. Rana memandangi jendela. Lampu jalanan telah menyala. Pedagang kaki lima telah membuka kedai. Jihan tak mengusik, tak memaksa Rana menanggapi kata-katanya. Kendati, hati kecilnya menuntut itu. Rana bersikeras ingin tetap dalam pelukan tanpa kata.
"Kenapa harus besok, Han!" Rana meraba.
Mereka kemudian sibuk merajut mimik muka. Antara sedih dan kecewa. Rana mengajak Jihan menyusuri lekuk kota tua yang indah dengan sarana pelabuhannya memori ingatan. Mengaduk-aduk musium nostalgia, berandai-andai menelusuri kanal-kanal kenangan, dan saling memotret masa lalu. Rana cerdas, dengan horison pemikiran yang luas.
"Ran jauh bukan berarti hatiku juga jauh" papar Jihan. "Konon, pujangga berkata cinta itu amatlah kuat, tapi hati itu rapuh" Tukas Rana. "Kamu tahu kan, cintaku sebesar apa kepadamu?" Jihan memandang.
Seperti jiwanya yang kadang-kadang mendadak gemetar saat menampak sosok Jihan. la kerap terpuruk pada lindap bayangan mata hitam yang teduh itu. Bunda, Rana mengaduh di batin. Haruskah aku rela jika tiba-tiba dia yang memiliki nilai tinggi di hati pergi tanpa tahu kapan kembali?
Ia tak hendak menjawab, tak tahu. Tapi Jihan berusaha membangun keangkuhan. Keangkuhan untuk belajar dewasa.
"Kau tidak bersikap sebagaimana orang yang akan pergi?" heran Jihan. Rana malah menjejas cerita tentang kesetian matahari pada siang. Gadis berkulit itu meraih bahu Rana. "Kau tidak berucap selamat jalan?" Lanjut Jihan begitu pedih dan garang. Rana menggeleng. "Aku suka padamu. Berjanjilah sesuatu untukku!" kesah Rana galau. Jihan meregang. Jemarinya gigil dalam genggaman. la menyimpan harapan yang sama, meski menyembunyikannya ke relung batin terdalam. la yakin, perasaannya kali ini bukan untuk saling memiliki. Rana masih memeluknya, dan menyentuh matanya dengan sudut bibir. "Jaga dirimu baik-baik" tambah Rana . "Matamu basah," suara Rana jauh. Lantas tertawa kering. "Ah, Aku kelilipan"Sahut Jihan.
Malam memanjang, dan menyandingkan bulan di dekat bintang. Rana berpaling. Langkahnya oleng menyentuh pintu kamar. Jihan seperti pramuka bersiap kemah. Ia persiapan segalanya untuk besok. Rana kini pulas dalam lelap mimpi.