Perolehan suara partai politik pada pemilihan umum dipengaruhi oleh perilaku pemilih. Ada pemilih yang secara konsisten memilih partai politik tertentu pada setiap pemilu dan ada pula pemilih yang tidak konsisten, sehingga dia memilih partai yang berbeda  setiap pemilu. Sikap dan perilaku pemilih tipe pertama tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai isu yang muncul menjelang pelaksanaan pemilu, sebaliknya pemilih tipe kedua rentan terhadap pengaruh isu-isu yang berkembang menjelang pelaksanaan pemilu. Bila dalam pelaksanaan pemilu banyak terdapat pemilih tipe kedua , maka perolehan suara partai akan mengalalmi fluktuasi yang tinggi.
Perubahan perolehan suara partai politik pada pemilihan umum dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pemilih. Karena itu untuk menjelaskan peningkatan suara partai politik pada pemilu 1997 di Surakarta digunakan teori perilaku pemilih ( voting behavior ). Dalam literatur ilmu politik ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memahami perilaku memilih.Â
Pertama,pendekatan  sosiologis yang dikenal juga dengan mazhab Colombia. Pendekatan ini menyatakan bahwa preferensi seseorang terhadap partai politik dipengaruhi oleh latar belakang sosialnya. Dalam  pendekatan ini diyakini bahwa perilaku pemilih dipengaruhi oleh status sosial ekonomi, agama, umuhttps://youtu.be/8DyfU0jBnAc?si=IbRrfzUvrO5qbORTr, ras, jenis kelamin, dsb. James Brotho mengemukakan " Broader social characteristics remain the basic determinants of political preference" (Gaffar, 1992).  Sementara itu Lazarfel peneliti dari Universitas Colombia berpendapat " a person thinks politically as he is socially. Social characteristics determinane political pereference(Gaffar, 1992). Maksudnya seseorang berpikir tentang masalah politik sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosialnya. Karakteristik sosial menentukan pereferensi politik.
Kedua, pendekatan psikologis yang dikenal dengan mazhab Michigan. Pendekatan ini berpendapat bahwa perilaku pemilih dipengaruhi oleh kondisi  psikologis pemilih terhadap objek pemilih tetentu. Pendukung pendekatan ini berkeyakinan bahwa perilaku pemilih dipengarihi oleh sikap seseorang terhadap partai politik, sikap terhadap kandidat yang dicalonkan dalam pemilihan umum atau sikap terhadap isu-isu yang berkembang sebelum pelaksanaan pemilu. Sikap terhadap partai politik yang dimaksud adalah kedekatan hubungan seseorang dengan partai politik terentu sebagai hasil proses sosialisasi politik yang diterimanya sejak kanak-kanak sampai dewasa.  Sikap terhadap  kandidat merupakan  hasil evaluasi seseorang terhadap kandidat yang dicalonkan dalam pemilu. Sedangkan sikap terhadap isu-isu yang muncul sebelum pelaksanaan pemilu berkaian dengan respon partai politik menanggapi berbagai isu-isu yang muncul sebelum pelaksanaan pemilu.
Ketiga, Pendekatan rasional yang dikenal pendekatan ekonomi atau rational choiceyang berpendapat bahwa seseorang memilih partai politik pada pemilu berdasarkan perhitungan untung rugi. Artinya pemilih akan menjatuhkan pilihan dalam pemilu kepada partai politik yang dapat mendatangkan keuntungan atau tidak merugikan kepadanya ( Asfar, 1996).Â
Selain itu, penelitian perilaku pemilih yang dilakukan J. Kristiadi pernah menggunakan pendekatan socio-culturalsebagai modifikasi pendekatan sosiologis. Â Pendekatan ini berasumsi kondisi sosio budaya berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Hasil penelitian J. Kristiadi di daerah Yogyakarta menyatakan bahwa perilaku pemilih dipengaruhi pola panutan. Maksudnya seseorang memilih partai politik sesuai dengan saran atau anjuran tokoh panutannya ( J.Kristiadi, 1994 ). Hal ini disebabkan kepatuhan kepada tokoh panutan dalam budaya masyarakat Jawa sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap perilaku pemilih dalam pemilu. Menurut Kristiadi (1994) hal ini tidak terlepas dari rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pemilu.Â
Dari beberapa pendekatan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam menjelaskan fenomena perubahan suara partai politik pada pemilu 1997 di Surakarta digunakan pendekatan psikologis dan pendekatan sosio-kultural. Peneliti berasumsi bahwa peningkatan suara PPP pada pemilu 1997 di Surakarta dipengaruhi oleh pola panutan yang masih kental dalam budaya masyarakat Jawa  dan  isu-isu komtemporer yang muncul menjelang pemilu 1997.Â
1. Panutan
Istilah panutan berasal dari kata "manut" ( bahasa Jawa ) yang berarti patuh, taat atau menurut. Dalam kamus bahasa Indonesia panutan berarti yang diikut, diturut atau ditiru semua tidak tanduk dan sepak terjang yang baik-baik. Panutan juga berarti orang yang diteladani atau dicontoh. Menurut Koentjaraningrat "manut" adalah konsep Jawa yang penting dan salah satu sifat manusia yang terpuji. Berbagai sumber kepustakaan menyebutkan bahwa pola panutan berasal dari budaya Jawa yang paternalistik. Nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjelma sebagai sikap menghormati dan menempatkan orang yang dianggap senior dalam hal usia, pangkat, kedudukan serta jabatan pada posisi yang lebih tinggi dan terhormat. Pola panutan itu secaraeksplisit  terjadi dalam hubungan antara pimpinan dan anggota masyarakat (Kristiadi, 1994).
Dalam masyarakat Jawa sikap patuh dan taat kepada pemimpin sebagai pengejawantahan dari sikap hormat kepada orang tua sudah ditanamkan sejak masa kecil sebagaimanadikemukakan oleh Geertz tentang keluarga Jawa bahwa  penanaman kepatuhan (obedience) dilakukan sejak usia  kanak-kanak secara bertahap, sehingga anak-anak Jawa  selalu digambarkan sebagai insan yang berkelakuan baik, taat dan tenang. "Javanese children one markedly well bahaved, obedience and quiet" (Kristiadi, 1994).. Oleh karena itu sikap patuh pada pimpinan yang dianggap tokoh panutan sangat berakar dalam masyarakat Jawa.
Pola panutan itu juga berpengaruh dalam kehidupan politik. Berdasarkan hasil penelitian Kristiadi (1994) disebutkan bahwa pola panutan merupakan variabel yang cukup berperan untuk menjelaskan fenomena perilaku pemilih baik dalam masyarakat kota, dan lebih-lebih bagi masyarakat desa. Kepatuhan anggota masyarakat kepada tokoh panutan dalam hal memberikan suara pada pemilihan umum diwarnai oleh ketidakpahaman  mereka mengenai arti pemilihan umum dalam kontek kehidupan politik yang luas. Kurangnya pemahaman  mereka mengenai pemilu dikombinasikan dengan derajat kepatuhan masyarakat yang masihkuat kepada tokoh panutannya, mendorong mereka lebih mengandalkan tuntunan dari tokoh panutannya dalam memberikan suara mereka pada pemilihan umum.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan beberapa hal. Pertama, panutan adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi perilaku anggota masyarakat sehingga mereka bersedia mematuhi dan mengikuti saran atau nasehat pimpinannya. Kedua,dalam masyarakat Jawa yang paternalistik pola panutan masih berakar dalam kehidupan masyarakat sehingga berpengaruh dalam bidang politik khususnya dalam perilaku pemilih . Ketiga, besarnya pengaruh pola panutan terhadap perilaku pemilih tidak dapat dipisahkan dari rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap arti dan makna pemilihan umum.
2. Isu-isu Kontemporer
Menurut Longman Dictionary of Contemporary Englisah (1989: 651), isu yang berasal dari kata "issue" berarti suatu pokok permasalahan yang akan dibicarakan, diperdebatkan atau diputuskan. Dalam penelitian ini isu dimaksudkan suatu permasalahan yang muncul sebelum pemilu, dibicarakan dan diperdebatkan dalam masyarakat.
Dalam dunia politik khususnya  pada pemilu berbagai isu yang muncul dalam masyarakat dapat mempengaruhi persepsi dan sikap politik seseorang yang pada gilirannya akan menentukanperilaku politiknya. Oleh karena itu para ahli ilmu politik melihat adanya pengaruh isu-isu kontemporer yang muncul sebelum pemilu terhadap perilaku pemilih.
Adanya pengaruh isu terhadap perilaku memilih dapat dilihat dalam berbagai penelitian di negara-negara maju terutama di Amerika Serikat. Misalnya hasil penelitian Norman H. Nie, Sidney Verba dan John R.Petocit yang berjudul The Changing American Voter" yang mengemukakan bahwa pada tahun 1960-an masyarakat Amerika lebih berorientasi kepada isu dari pada identifikasi partai (Niemi & Weisberg, 1984). Penelitian mereka tentang pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1964, 1968 dan tahun 1978 menunjukkan adanya konsistensi pengaruh isu terhadap perilaku memilih. Mereka menyimpulkan bahwa warga negara Amerika Serikat telah berfikir tentang isu secara konsisten (Huckshorn, 1984). Laporan penelitian Norman H.Nie dan kedua koleganya itu merupakan revisi terhadap hasil penelitian kelompok Michigan sebelumnya dalam "American Viters" yang menekankan besarnya peranan identifikasi partai terhadap perilaku pemilih (Niemi & Weisberg, 1984).
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh V.O.Key yang mengemukakan secara umum pemilih bertindak rasional dan bertanggungjawab. Pada pemilihan Presiden Amerika tahun 1972 faktor isumakin penting dan terlihat hubungan antara isu dengan keputusan memilih lebih kuat dari pada hubungan antara identifikasi partai dengan keputusan memilih. Isu-isu yang menonjol pada tahun 1972 ialah perang Vietnam, legalisasi marijuanadan demonstrasi kampus. Pemilihan Presiden Amerika tahun 1980 dianggap sebagai pemilihan yang sangat berorientasi kepada isu (issu oriented). Isu-isu yang menonjol pada waktu itu ialah inflasi, pengangguran, penampilan administrasi dan penyanderaan warga Amerika di Iran. Karena berbagai isu tersebut warga negara Amerika kehilangan kepercayaan terhadap Jimmy Carter dan memberi suara bagi kemenangan Ronald Reagan (Huckshorn, 1984). Jadi sejak tahun 1970-an adanya tendensi makin besar pengaruh issu terhadp perilaku pemilih di Amerika Serikat.
Dewasa ini ada berbagai pendapat tentang pentingnya isu dalam pemilihan umum. Pertama, pendapat Carmines dan Stimson yang membedakan isu atas dua kategori yaitu hard issuesdan easy issues. Hard issueshanya penting bagi pemilih yang memiliki level informasi yang tinggi, sedangkan easy issuesakan penting bagi pemilih yang memiliki level informasi yang rendah. Mereka itu juga berpendapat bahwa issue votingterjadi pada umumnya bila easy issuesterdapat dalam suatu pemilihan dan realignmentcenderung terjadi menyangkut easy issues(Carmines & Stimson dalam Niemi & Weisberg), 1984). Kedua,pendapat Fiorina yang membedakan issue voting atas dua kategori yaitu, prospective votingdan retrospective voting. Prospectivevoting ialah dimana warga negara memberi suara untuk kandidat atau partai yang membuat janji akan melaksanakan kebijakan yang menguntungkan pemilih (policy oriented) , sedangkan restrospective votingdimana pemilih memberikan suara berdasarkan performen atau penampilan partai dimasa lalu (result oriented). Menurut Fiorina adalah rasional bila pemilih tidak memberikan suara kepada partai yang tidak mempunyai penampilan yang bagus dalam pemerintahan (Fiorina, 1981).
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan sebelumnya dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, faktor isu dapat mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku politik seseorang atau pemilih bila isu-isu yang muncul dalam masyarakat mereka ketahui dan pahami. Karena itu faktor isu  bisa berpengaruh terhadap perilaku politik masyarakat pemilih bila mereka mempunyai akses informasi terhadap berbagai isu yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, faktor isu dapat mempengaruhi persepsi , sikap dan perilaku masyarakat pemilih bila pnyebaran isu-isu itu bersifat intensif dan dapat menjangkau masyarakat secara luas. Sebaliknya bila penyebaran isu bersifat seketika dan jangkauannya terbatas pada golongan masyarakat tertentu maka pengaruhnya terhadap sikap dan  perilaku masyarakat pemilih tidak begitu kentara. Ketiga, pengaruh isu terhadap perilaku masyarakat pemilih juga berkaitan dengan kepedulian masyarakat terhadap berbagai isu yang muncul. Karena itu menentukan pilihan berdasarkan isu menuntut tingkat pengetahuan dan kesadaran politik yang memadai.
Referensi :Â
Asfar, Muhammad. 1996. "Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih", dalam Jurnal Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Kristiadi, Joseph J. 1994. Pemilihan Umum dan Prilaku Pemilih di Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Disertasi, UGM
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI