Ruang kerja yang awalnya ditempati tiga orang, kini bertambah dengan kehadiran seorang lagi. Gilang menelan sallivanya yang pahit. "E-eh, Tuan Kevin ternyata! A-a-ada perlu apa, ya?" tanya Gilang dengan terbata-bata.
Kevin menghela napas. "Tidak usah sekaku itu, Gilang. Sebenarnya aku tidak ingin dipanggil 'Tuan' lagi olehmu karena menurutku kurang pas didengar," akunya. "Then, kenapa kamu bercerita 'itu' kepada mereka berdua?" tanyanya kemudian, yang memberi penekanan pada kata 'itu'.
Gilang memandang lekat-lekat teman masa kecilnya itu. "Jika ada yang bertanya, maka harus dijawab. Alina penasaran kenapa kamu seperti menjaga jarak di antara kalian dan aku jawab sekiranya yang aku tahu," terangnya dengan santai. "Ikhlaskan kepergian Jesika, Vin. Hanya itu caranya supaya dia tenang di alam sana," tambahnya dengan nada sendu.
Kevin mengeraskan rahang sembari kedua tangan yang mengepal  kuat. "Andai saja kita tidak pernah bertemu dengan makhluk itu, andai saja kita membiarkan saja makhluk itu sendirian di pantai, andai saja kita tidak bermain di pantai waktu itu," Kevin menunduk dengan perasaan yang campur aduk. Marah, benci, sedih, agak hampa, semuanya berpadu menjadi satu menciptakan harmoni yang menyakitkan.
"Nasi sudah menjadi bubur, tapi kita masih bisa makan bubur itu yang dipadukan sama lauk-pauk yang lain, maka jadilah bubur ayam. Segala sesuatu yang terjadi di masa lampau, biarlah dijadikan pembelajaran di kemudian hari. Aku tahu rasanya sakit dan pahit, tapi kalau kayak gitu terus, kita stuck di situ-situ aja dong?" Gilang mendekat ke arah Kevin dan menepuk-nepuk bahunya, mencoba menguatkan temannya itu. "Aku penasaran sih, terus kenapa kamu mau menampung Alina dan Kaori?" tanyanya kemudian dan kembali ke posisi awal.
Kevin memandang Alina dan Kaori secara bergantian. "Aku hanya kasihan kepada mereka. Bayangkan saja mereka harus di akuarium itu dalam waktu yang lama, apa nggak sumpek? Bukannya kata sang pemandu mereka hanya bonus dari barang lelang yang kita beli kemarin-kemarin?" kata Kevin dengan nada meremehkan, sepertinya kebenciannya kepada makhluk duyung masih belum sirna.
Baik Alina dan Kaori sama-sama tertegun mendengarnya. "Hanya bonus, katamu?" Jari-jari Alina mengepal erat, dengan suara yang menahan kesal.
Kevin mencondongkan tubuhnya ke Alina. "Yah, begitulah. Sebenarnya, aku ingin menjual salah satu dari kalian ke sebuah tempat seperti sirkus atau kebun binatang agar menjadi tontonan dan bisa melihat wajah sengsara kalian di sana. Begitu aku membayangkannya, aku langsung tertawa terpikal-pikal," provokasinya dengan wajah yang sama. "Dengan cara itu, aku bisa melampiaskan emosiku sepuasnya. Kalian juga akan lebih berguna untukku. Bagaimana? Tawaran yang menarik bukan?" tambahnya.
PLAK!
Alina menampar dengan keras wajah Kevin hingga dia agak tersungkur ke dinding. Di wajah Kevin sendiri, terlukis bekas tamparan wajah yang berubah menjadi ungu karena memar. Gilang dan Kaori yang melihatnya tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut mereka. Masih belum puas, Alina menarik paksa kerah Kevin. "TERUS BUAT APA KAU MENOLONG KAMI?! KAMI SUDAH BERUSAHA MENJADI ANAK BAIK SELAMA DI SINI DAN INI BALASANNYA? JANGAN BERCANDA, BODOH! KALAU TAHU SEPERTI INI, DARI AWAL LEBIH BAIK KAU TIDAK USAH MENOLONG KAMI SEKALIAN!"