Mohon tunggu...
Dona Mariani
Dona Mariani Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar SMA Negeri 3 Brebes yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Seorang pelajar yang sedang berusaha menjadi sesuatu. Menulis adalah salah satu kegemarannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekolah itu Penting!

14 Desember 2024   21:30 Diperbarui: 14 Desember 2024   20:26 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang aku muak untuk berangkat sekolah. Membawa tumpukan buku yang beratnya bisa minta ampun yang terkadang kelas bisa jam kosong, duduk diam mendengarkan guru-guru yang sedang menjelaskan suatu materi selama beberapa jam seringkali membuatku mengantuk. Seakan-akan waktu berjalan dengan lambat, membuat diriku seperti dikurung di sebuah ruangan selama berjam-jam hanya untuk menanti 'sang penyelamat,' yakni bel istirahat dan pulang sekolah. Selain itu, cara mengajar mereka yang monoton dan terkadang 'menakutkan bagi para siswa', membuatku tidak bersemangat untuk belajar. Apabila aku bertanya, sebagian dari mereka akan bilang, "Kamu nggak mendengarkan apa yang saya ajarkan tadi?", membuat semangat belajarku menurun. Aku ingin sekali melayangkan protes, tetapi apalah daya, yang ada mungkin aku akan dianggap tidak sopan dan tidak punya adab di pandangan mereka. Padahal, sekolah itu tempat menuntut ilmu 'kan? Kenapa sekolah itu penting?

Menepis pikiran tersebut, sebelum ketahuan oleh guru mapel matematika yang sedang menerangkan materi komposisi fungsi, aku memutuskan untuk menorehkan tinta hitam di atas buku tulisku di lembaran yang baru. Hari ini, cuaca nampak tidak bersahabat. Tadi pagi cerah sekali dan di hari yang menjelang sore ini, kumpulan awan hitam membumbung tinggi di atas sana. Untung saja aku membawa payung mini di dalam tas, kalau tidak aku bisa kehujanan nanti. Mana besok masih memakai seragam yang sama lagi. Sepertinya mengingat pepatah 'sedia payung sebelum hujan' ada manfaatnya.

Sejenak, aku memandang ke sekitar. Nampak teman-temanku sudah tidak kuat lagi untuk mengikuti sesi belajar pada jam yang rawan ini. Ada yang diam-diam mengobrol dengan teman sebangku, menundukkan kepala sembari bermain ponsel dengan alasan yang tidak penting, curi-curi pandang dengan teman yang berbeda bangku, dan yang lainnya. Entah kenapa, aku jadi geleng-geleng kepala sendiri. Ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah empat sore, akhirnya 'sang penyelamat' datang. Bel pulang sekolah berbunyi nyaring ke setiap sudut sekolah, membuat guru mapel yang sedari tadi asyik sendiri menerangkan materi pelajaran, kini harus mengakhiri kelas dengan raut muka kecewa. Para murid yang ada di kelasku dengan sigap berkemas-kemas untuk  pulang. Sebelum itu, ketua kelas memimpin doa yang diikuti oleh seluruh penghuni kelas dan memberi salam kepada guru mapel tersebut dengan wajah yang berseri-seri, tidak terkecuali dengan aku. 

Badanku terasa agak kaku setelah hanya duduk di kursi kayu yang sudah agak rusak karena sudah berusia. Sejenak aku meluruskan kedua kaki dan meregangkan tangan ke atas demi melemaskan otot-ototku.

"Akhirnya bisa pulang! Mau mampir ke warmindo nggak, Hanan?" tanya teman beda bangku yang bernama Farhan kepadaku sekaligus menawarkan.

Tawarannya begitu menggoda bagiku, tapi aku segera menggelengkan kepala pelan sebagai bentuk penolakan sambil tersenyum. "Makasih, Farhan. Tapi, kayaknya nggak dulu, deh. Soalnya lagi banyak PR juga," tolakku dengan halus.

Farhan manggut-manggut dan dia berpamitan kepadaku karena sudah dijemput oleh orang tuanya di depan gerbang sekolah.  Karena sekolahku dekat dari rumah, aku jadi terbiasa jalan kaki dengan waktu tempuh sekitar kurang lebih sepuluh menit. Dalam perjalanan ke rumah, pandanganku lurus ke depan sambil berkonsentrasi bila mana ada kendaraan bermotor yang seenaknya melintas atau menyalip di dekatku tanpa membunyikan klakson. Bila ada yang menyapa diriku, biasanya akan ku sapa balik.

Ketika sedang asyik bersenandung ria, langkah kaki aku pelankan. Perhatianku tertuju kepada wali kelasku yang masih mengenakan seragam KOPRI terbaru dengan sebuah motor matic terparkir tidak jauh darinya, sedang berdiri di depan meja kasir di sebuah toko spesialis di bidang fotocopy. Dia bernama Pak Hartono, biasa dipanggil Pak Tono, berusia kurang lebih 40-an dan mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di kelasku. Sebagai murid yang baik, aku memutuskan menghampiri beliau dan menyapanya. "Assalamu'alaikum, Pak Tono. Lagi beli apa, Pak?," sapaku dengan sopan dan diakhiri pertanyaan.

Beliau menoleh dan dia menyapa balik dengan ramah. "Eh, kalau tidak salah kamu Hanan, ya? Murid kelas F3 yang saya ajari itu?" tanya Pak Tono dan aku mengiyakan sebagai tanggapan bahwa itu benar. Karena aku baru menjadi muridnya selama tiga bulan ini, wajar saja jika dia belum bisa menghapal nama-nama muridnya yang baru.

"Ini, saya lagi fotocopy lembar kerja siswa buat latihan soal minggu depan, termasuk F3 nanti," Pak Tono menjawab pertanyaanku yang tadi dan jawabannya membuatku tertawa hambar karena aku tidak ingin mendengarnya.

Sejenak percakapan kami harus terhenti karena disela oleh pemilik fotocopy tersebut karena pesanan Pak Tono telah jadi. Segera beliau membayarnya dengan uang pas, dan setelah itu aku bertanya, "Maaf, Pak Tono. Bapak sibuk nggak hari ini? Ada yang ingin saya tanyakan kepada Bapak selain tugas tadi," Aku berusaha meminta izin dengan nada sesopan mungkin.. Tanpa berpikir panjang, Pak Tono berbaik hati meluangkan waktunya untuk mengajakku duduk di sebuah bangku dekat toko tersebut dan mulai berbincang-bincang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun