Mohon tunggu...
Dona Mariani
Dona Mariani Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar SMA Negeri 3 Brebes yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Seorang pelajar yang sedang berusaha menjadi sesuatu. Menulis adalah salah satu kegemarannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak, Tolong Lihat Aku!

29 November 2024   17:45 Diperbarui: 29 November 2024   17:42 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Pinterest

Di bawah temaram langit malam kota Moscow yang indah, nampak dua orang laki-laki tengah membicarakan sesuatu. Tangan mereka bersandar kepada pagar balkon apartemen yang ikut mendingin selaras dengan suhu udara musim dingin yang mulai menembus pori-pori kulit. Keheningan merayapi mereka berdua selama beberapa saat. Selama itu, mereka hanya memandangi hamparan salju putih di bawah temaram lampu jalanan yang menambah keindahan suasana musim dingin di penghujung bulan desember. Walaupun Moscow memang selalu berada pada suhu rendah seperti biasanya.

Hanan seharusnya sedang berada di depan layar televisi sembari menikmati layanan streaming film kesukaannya dan menikmati minuman coklat panasnya selama mengisi waktu liburan. Dia pikir sudah waktunya untuk rehat sejenak dari aktivitas kuliahnya yang terkadang begitu melelahkan dan bersantai di apartemennya itu. Tidak mudah baginya mendapatkan beasiswa di salah satu universitas bergengsi yang ada di Rusia. Meskipun begitu, dia terus mencoba hingga akhirnya berhasil menjadi mahasiswa di salah universitas impiannya. Salah satu alasan dia memilih untuk berkuliah di sana karena ingin bertemu dengan ayah angkatnya yang merupakan orang Rusia tulen.

Ketika dia sedang bernostalgia dengan perjuangannya seraya ditemani secangkir teh hangat di balkonnya, tiba-tiba ponselnya berdering yang tergeletak di samping meja kecilnya. Ternyata dosennya ingin bertemu dengannya, terkait pembicaraan penelitian di mata kuliah yang dipelajari. Dengan berat hati, Hanan memersilakan untuk datang ke rumahnya dan dosennya pun tiba tak lama setelahnya. Karena sebelumnya si dosen sudah pernah datang ke apartemen Hanan pada tempo hari, dia bisa langsung menuju alamatnya tanpa perlu drama tersesat di tengah jalan. Tanpa basa-basi, mereka melangsungkan pembicaraan serius terkait isu pendidihan global yang sedang berlangsung saat ini dan memberikan opini yang tepat untuk permasalahan tersebut. Di saat itu pula jemari-jemari tangan Hanan menari dengan lincah di atas tombol keyboard yang terbentang. Dia mengetikkan sejumlah poin penting dengan tambahan referensi dari internet. Pembicaraan pun mengakar hingga ke topik lain.

"Waw, cukup banyak juga topiknya! Sampai-sampai sudah hampir seratus halaman yang diketik." Hanan berdecak kagum dengan dirinya sendiri sembari memandangi layar laptopnya karena bisa melawan rasa malasnya yang mulai menyerang.

Dosennya beranjak berdiri. "Urusanku sudah selesai di sini. Sisanya aku serahkan padamu, Hanan."

Ketika dosennya hendak pergi, tiba-tiba Hanan bergumam dalam bahasa Indonesia. "Bapak dari dulu nggak berubah, ya."

Dmitri, ayah angkat sekaligus dosen Hanan itu pun tertegun. Tangannya tidak jadi meraih gagang pintu yang sudah ada di hadapannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Hanan yang sedang tersenyum dengan senyuman yang tidak dapat diartikan. Dengan ekspresi datar, Dmitri pun bertanya, "Apa maksudmu, Hanan?"

Hanan menggeleng. "Nggak, cuma memberikan pendapat 'aja. Kenapa memangnya?"

Wajahnya tersenyum, namun di saat yang bersamaan, dia sedang menahan kekesalan yang bisa meledak kapan saja. Tangannya meremas ujung baju hangatnya seraya mencoba meredakan emosinya tersebut.

"Aku penasaran, kenapa kamu mau ambil kuliah di Rusia. Padahal masih banyak universitas bergengsi lain di luar sana. Apa alasannya, huh?" Dmitri menajamkan penglihatannya kepada anak angkatnya itu. Baik dia dan dirinya, seperti ada jurang pemisah di antara mereka berdua. Oleh karena itu, hubungan mereka sebelumnya tidak terlalu dekat bahkan bisa dikategorikan jarang mengobrol bersama.

Hanan beranjak berdiri, kemudian menunjuk Dmitri menggunakan jempol kanannya. Dmitri dibuat terbelalak, tidak menyangka dengan ungkapan jujur dari anak angkatnya itu. Lalu, Hanan mengajak dirinya untuk berada di balkon, membicarakan masa lalu yang belum tuntas dengan kepulan asap putih yang keluar dari mulut mereka setiap kali berbicara. Di sinilah mereka berdua, berada di balkon dengan pemandangan sekelilingnya hamparan salju putih musim dingin.

"Dulu 'kan, aku nggak terlalu diperhitungkan sama bapak. Selalu saja adik-adikku yang bapak perhatikan. Aku minta ini nggak boleh, tapi adik-adikku malah dikasih apa yang mereka mau. Makanya, aku selalu merasa kesepian dan tidak dianggap di keluarga, padahal aku anak sulung dari lima bersaudara. Mau seberapa pun usaha yang kukerahkan, mau seberapapun aku mengeluh ini-itu,  bapak nggak bakal menggubris. Bapak jarang memerhatikan aku. Padahal, aku juga pengin kayak mereka..."

Perlahan tapi pasti, air mata mulai membasahi pipi Hanan. Tangannya mencengkeram pagar balkon dengan erat. Pertahanannya selama ini perlahan runtuh, suaranya pun mulai bergetar. "Gimana 'sih, rasannya dianggap? Gimana 'sih, rasanya dibanggakan sama orang tua? Aku nggak tahu, beneran nggak tahu sumpah! Makanya aku mulai benci bapak, sama iri ke adik-adikku. Aku selalu merasa kurang dihargai, padahal ... aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin."

Hanan terkulai lemas seiring dengan cengkeraman tangannya yang mengendur. Dia pun melampiaskan semuanya dengan menangis tersedu-sedu. Tidak ingin Dmitri melihat wajahnya yang dibanjiri air mata, dia menutupinya dengan kedua tangannya. Selama beberapa saat, Dmitri terdiam melihat anak sulung angkatnya dulu menangis layaknya anak kecil yang sedang mengadu di hadapannya. Selama ini, dia belum pernah melihat Hanan melampiaskan emosinya kepada siapa pun, termasuk dirinya.

Setelah beberapa menit, Dmitri berlutut di depan Hanan. Dengan lembut, dia mengelus-elus kepala anaknya itu, membuat Hanan terkejut bukan main. "Kamu sudah berusaha keras, Hanan. Bapak minta maaf apabila selama ini bapak seperti apa yang kamu katakan," kata Dmitri seraya tersenyum hangat kepadanya. Sebuah senyuman yang jarang ditunjukkan kepada dirinya.

"Sebenarnya, bapak sudah tahuuu banget, kerja keras Hanan selama ini. Bapak tahu ketika kamu begadang semalaman setiap hari karena tidak ingin turun peringkat di sekolah. Bapak tahu ketika kamu menghindari yang namanya pacaran padahal remaja seusiamu biasanya sudah punya pacar. Bapak tahu ketika kamu suka menolong teman-temanmu saat merasa kesulitan tanpa melihat latar belakang atau mengharapkan imbalan apapun itu. Kamu orang yang baik, namun juga rapuh. Meskipun begitu, kamu tetap pantang menyerah dan selalu berusaha menghadapi segala cobaan yang ada," ucap Dmitri panjang lebar seraya berusaha menghapus air mata anaknya itu. "Tapi, Bapak malah gengsi. Bapak nggak berani memuji kamu secara langsung. Sehingga, kesan bapak di Hanan justru sepertii yang sudah kamu jelaskan tadi. Sekali lagi, bapak minta maaf ya? Nggak papa kok, kalau kamu benci sama bapak karena bapak memang pantas mendapatkannya. Bapak bangga sama kamu, Hanan. Terima kasih sudah datang jauh-jauh dari Indonesia cuma buat ketemu bapak," lanjutnya kemudian memeluk Hanan dengan erat.

Tangis Hanan semakin menjadi-jadi. "Aku juga minta maaf sudah membenci bapak. Aku minta maaf karena tidak bisa seperti mereka atau anak yang bapak harapkan. Aku minta maaf karena sudah kecewa sama bapak," isaknya dengan penuh rasa penyesalan. Tetapi, bebannya selama ini perlahan mulai terangkat.

Setelah diadopsi selama lima belas tahun, Hanan pertama kali bertemu dengan kedua orang tua kandungnya pasca mengalami kecelakaan tabrak lari yang menimpanya. Si pelaku justru melarikan diri, dan tidak berhasil tertangkap oleh beberapa warga sekitar yang kebetulan menyaksikan kejadian tersebut. Untungnya dia selamat, meskipun beberapa goresan luka menghiasi tubuhnya. Yang membawanya ke rumah sakit adalah kedua orang tuanya dan mereka memberi tahu siapa sebenarnya mereka kepada Hanan. Dmitri datang bersama keempat adiknya selang beberapa menit. Singkat cerita, setelah melakukan negosiasi panjang, Hanan diserahkan kepada kedua orang tua kandungnya. Sedangkan ke-empat adiknya masih harus dirawat oleh Dmitri.

Kemudian, Dmitri mencium kening Hanan dengan lembut. Ternyata dia juga menangis sedari tadi. Usai kejadian itu, Hanan melakukan sungkeman kepada Dmitri di ruang tengah layaknya sedang hari raya idul fitri. Dmitri dengan senang hati menerima permintaan maaf anaknya itu lalu mencium kedua pipi dan keningnya secara berurutan. "Hanan mau makan malam di luar nggak?" tawarnya kepada Hanan.

"Eh, boleh nih, Pak?" tanya Hanan dengan mata berbinar-binar.

"Ayo! Bapak traktir kamu, deh! Sekalian jalan-jalan malam sebentar," jawab Dmitri sambil berkedip sebelah mata.

Hanan berterima kasih kepada Dmitri, lalu segera bersiap-siap untuk makan malam di restoran terdekat. Usai mengisi perut, mereka jalan-jalan sebentar seraya menikmati udara dingin kota Moscow di penghujung akhir bulan.

~~Tamat~~

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun