Connect with me (IG: @rybob.96)
Gunung Papandayan merupakan gunung berapi yang terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut dengan ketinggian 2665 meter diatas permukaan laut. Gunung ini termasuk kedalam gunung api kuarter yang hadir berkelompok membentuk gugusan gunung api yang dikenal sebagai Triangular Volcanic Complex (TVC) atau kompleks segitiga volkanik. Gugusan ini berada di sepanjang tiga zona pergerakan tanah atau sesar utama, yaitu, Sesar Mengiri Sukabumi-Padalarang, Sesar Menganan Cilacap-Kuningan, dan Sesar Turun berarah Barat-Timur (Katili dan Sudradjat ,1984)
Mari kita mulai pembahasan ini dari hasil penelitian Dr. Mirzam Abdurrachman, Dosen Geologi ITB dalam bidang vulkoanologi, terhadap Gunung api Papandayan dan Cikuray. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan produk volkanik antara kedua gunung api tersebut.Â
Penemuan ini cukup mengejutkan pustaka kegunungapian Jawa Barat karena kedua gunung Parahyangan ini seharusnya memiliki sumber magma serta aspek-aspek geologi yang sama Hal tersebut mengingat bahwa kedua gunung berada pada satu area volcanic complex yang sudah dipaparkan sebelumnya. Batuan hasil pendingan magma yang keluar ketika erupsi pada Gunung api Papandayan, memiliki kadar K2O (Kalium Oksida) relatif lebih tinggi dari Gunung api Cikuray.Â
Padahal berdasarkan studi geokimia yang sudah ada, rendahnya kandungan kimia K2O adalah sifat utama yang mewakili karakter seluruh batuan hasil aktivitas gunung api yang ada di Pulau Jawa. Hadirnya kandungan K2O yang tinggi pada batuan, diduga terjadi akibat proses pencampuran konten kimia dari magma pembentuk Gunung api Papandayan dengan material atau 'batuan lain'. Batuan tersebut tentunya memiliki kandungan kimia berupa K2O yang tinggi. Sebenarnya apa yang terjadi pada Papandayan?
Untuk mencari tahu jenis kontaminan apa yang terasimilasi didalamnya, peneliti melakukan suatu perbandingan dengan beberapa batuan yang diambil dari berbagai negara di dunia sebagai bentuk korelasi geologis. Hasil perbandingan-perbandingan tersebut menunjukkan bahwa batuan yang paling cocok untuk menjadi kontaminan didalam magma Gunung api Papandayan adalah batuan granit dari negara Australia.
Hasil komparasi ini menumbuhkan dua buah praduga ilmiah tentang isi 'perut' Papandayan yang menarik untuk dipelajari. Pertama, isi magma Gunung api Papandayan merupakan hasil campuran komposisi batuan jenis granit dari gunung api di Australia yang terpecah-pecah.Â
Melalui suatu mekanisme geologi tertentu, pecahan tersebut masuk ke dalam sistem pembentukan magma Papandayan dan berasimilasi didalamnya. Jika memang benar ada mekanisme yang menjalankan proses tersebut, maka dapat direkonstruksi suatu kejadian bahwa pernah terjadi suatu letusan hebat dari gunung api di Australia yang mampu melontarkan produk-produk volkaniknya hingga ke batas pulau Jawa. Hal ini cukup menarik untuk ditelusuri kebenarannya, mengingat jarak antara negara Austalia dengan pulau Jawa relatif jauh untuk suatu muntahan produk volkanik. Praduga yang kedua, apakah gunung api Papandayan merupakan bagian dari Australia yang terpisah akibat suatu mekanisme tektonik?
Setelah dilakukan penelitian detail mengenai kandungan unsur major, trace, dan rare earth serta unsur isotop Sr (Stronsium) --- Nd (Neodimium), baik Papandayan maupun Cikuray berasal dari induk magma yang sama. Namun jalur keluar kedua magma tersebutlah yang membedakan komposisi akhir masing-masing magma yang terbentuk.Â
Magma di bawah Papandayan diindikasikan mengandung pecahan Australia yang kaya akan senyawa K2O, yang berperan sebagai kontaminan magma. Pecahan Australia atau yang sering disebut dengan Argoland sempat menumbuk bagian tenggara Sundaland dan akhirnya menjadi pijakan Gunung Papandayan pada 85 juta tahun yang lalu atau pada akhir dari zaman kapur. Dengan kata lain, diantara Gunung api Papandayan dan Gunung api Cikuray terdapat zona suture yang memisahkan kedua gunung api tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah isi 'perut' gunung api Papandayan masih aktif?
Berdasarkan rekam sejarah yang ada, Gunung api Papandayan pernah memuntahkan material pijar atau lahar sebanyak 23 km3 pada tahun 1772. Kejadian tersebut telah menghancurkan 40 desa disekitarnya dan merenggut 2.951 korban jiwa. Penelitian lanjut terhadap aktivitas vulkanisnya mengindikasikan bahwa letusan tahun 1772 diprediksi memiliki kolom erupsi mencapai tinggi hingga tiga kilometer.Â
Dengan ketinggian kolom erupsi hingga mencapai angka tersebut, penduduk yang berada di Kota Cirebon dapat melihat fenomena Papandayan saat itu. Temperatur yang terukur pada peristiwa ini melejit hingga ke angka 350 Kelvin, atau hampir setara dengan 77C, serta kecepatan aliran awan panas yang mendekati angka 70 m/detik. Dengan kondisi tersebut, hampir mustahil bagi apapun yang menghalanginya dapat bertahan dari gempuran bencana ini, termasuk masyarakat sekitar.Â
Namun, berita yang beredar saat itu menyatakan bahwa ada sekitar delapan warga yang selamat ditengah bencana dahsyat yang mematikan ini. Bagi masyarakat umum, hal tersebut menjadi cerita yang melegenda ketimbang mengamati kandungan magma dari gunung api Papandayan dan Cikuray. Bagaimana hal ini bisa terjadi?Â
Dari hasil penelitian Dr. Mirzam Abdurrachman (terhitung sejak tahun 2008), ditemukan fakta bahwa ada kemungkinan delapan orang yang selamat berada pada ketinggian yang terisolir dari aliran awan panas Wedhus Gembel. Fenomena bencana letusan Gunung api Papandayan dapat menjadi perhatian penting bagi para geoscientist atau mungkin bagi anda para pendaki gunung, bagaimana skenario Tuhan menciptakan kestabilan alam di bumi ini.
Lalu, adakah cara untuk mengetahui besar-kecilnya potensi erupsi suatu gunung api? Dan dapatkah kita melakukan monitoring terhadap aktivitasnya ? Tentu saja! dengan mengkombinasikan ilmu geologi dan geofisika, kita dapat melihat isi 'perut' gunung api berdasarkan analisis kuantitatif maupun kualitatif dari parameter fisis yang terekam. Metode yang dapat dijadikan acuan dalam menjawab kedua pokok persoalan diatas adalah metode Geomagnetik.Â
Secara umum, metode ini bekerja dengan memanfaatkan informasi magnetik hasil rekaman pada batuan di suatu daerah target untuk menunjukkan kondisi bawah permukaannya. Informasi yang dapat diekstrak dari sifat magnetisme daerah pengukuran adalah bagaimana pergerakan aliran magma, serta peningkatan temperature permukaan sekitar ketika suatu gunung api dalam kondisi aktif.Â
Beberapa penelitian juga menggunakan metode ini untuk memodelkan volume magma yang ada di dalam tubuh gunung api, sehingga bisa diperkirakan besar-kecilnya erupsi gunung api di masa yang akan datang. Dengan mengetahui informasi tersebut, maka sudah sewajarnya kita dan pemerintah bisa lebih mengenal, memahami dan tahu kesiapsiagaan apa yang harus dilakukan, guna mengantisipasi kerugian yang timbul akibat bencana dari letusan gunung api.
Cool enough kan? Nantikan petualangan kami selanjutnya pada kesempatan lain!
tulisan ini telah tayang lebih dulu di laman medium penulis
Kontributor :
1. Haritsari Dewi
2. Ryan Bobby Andika (Junior Geophysicist at Pertamina Hulu Energi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H