Connect with me: https://www.linkedin.com/in/ryan-bobby-andika-712164118/
Pendahuluan
Pemenuhan kebutuhan terhadap energy fosil, atau Migas, di Indonesia merupakan hal yang sangat vital baik bagi pemerintah, maupun masyarakat. Angka penggunaan energi ini yang sangat tinggi, dengan jumlah produksi dalam negeri yang semakin minim, membuat Indonesia harus selalu memutar otak untuk dapat menstabilkan kondisi tersebut. Berbagai kebijakan telah dibuat pemerintah dalam rangka menyeimbangkan pasar Migas dalam negeri, dan luar negeri, seusai dengan daya jual-beli Indonesia. Sejak titik puncak pada tahun 1996 terlewati, produksi Migas di Indonesia terus-menerus mengalami penurunan (Rubiandini, 2012).
Pemanfaatan serta Pengembangan produksi di Indonesia masih bertumpu kuat, terutama, pada lapangan-lapangan tua yang secara umum semakin berkurang jumlah cadangannya. Masih sedikitnya lapangan baru bernilai prospek lebih secara keekonomian yang telah ditemukan, juga menjadi faktor lesunya pasokan migas dalam negeri. Kondisi ini diperparah juga oleh pola hidup Indonesia yang sangat bergantung kepada penggunaan energi Migas dalam berbagai sektor kehidupan.
Pemerintah, melalui kementerian ESDM, sejatinya telah mencanangkan sebuah peraturan tentang pemanfaatan sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai salah satu poros pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, salah satunya yang terdapat pada PP 12 tahun 2017 untuk penyediaan tenaga listrik. Energi ini, dalam istilah ilmiah, umum disebut sebagai unconventional energy yang jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya Indonesia memiliki potensi tersebut. Salah satunya adalah potensi pemanfaatan sumber daya alam Gas Hidrat yang ada di laut Indonesia. Gas Hidrat, secara sederhana, merupakan suatu bentuk akumulasi hidrokarbon berupa methane yang terperangkap dalam suatu kristal air akibat nilai fisis tekanan dan temperature tertentu.
Berdasarkan peta persebaran potensi Gas Hidrat yang dibuat oleh USGS (U.S. Geological Survey) dalam publikasinya yang berjudul "Gas Hydrate in Nature" pada tahun 2018, menunjukan bahwa Indonesia mempunyai akumulasi Gas Hidrat pada beberapa titik disekitar laut Sumatra, Laut Jawa, dan Sulawesi. Namun sayang, akumulasi energi alternatif ini masih belum dapat terjamahi oleh kegiatan ekslopotasi hingga sekarang.
Memang pada faktanya, pengembangan teknologi produksi Gas Hidrat di dunia relatif sulit dan sejauh ini masih berada di dalam tahap riset. Akan tetapi, beberapa negara sudah secara optimis menaruh investasi terhadap pemberdayaan potensi ini. Dari tahap eksplorasi, hingga pencanangan komersialisasi Gas Hidrat dalam pasar ekonomi energi negaranya adalah bentuk nyata bahwa dunia mulai melirik sumber energi tersebut.
Indonesia, sebagai negara yang sekodratnya sangat membutuhkan pasokan lebih energi migas, harus segera dapat menentukan sikap dalam pemanfaatan potensi Gas Hidrat tersebut demi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Apa Itu Gas Hidrat ?
Gas Hidrat (CH4.5.75H2O), atau yang umum disebut sebagai "Methan Ice", merupakan suatu senyawa clathrate padat yang mengandung methane atau komponen hidrokarbon lainnya dengan jumlah besar, dan terperangkap pada suatu kristal H2O dalam kondisi tekanan tinggi dan temperature rendah (Arora dkk, 2015). Clathrate sendiri, secara definisi sederhana, adalah suatu suatu komponen kimiawi yang berwujud "kurungan" (Vaidya, 2004).
Molekul tersebut tergambar dalam Gambar 1 dimana, hidrokarbon berbentuk methane terjebak didalam rantai Chlarate H2O. Secara volumetrik, jumlah senyawa H2O yang hadir sebagai pelingkup selalu lebih banyak daripada senyawa Hidrat (Methane). Lebih dari itu, senyawa hidrat di alam, sebenarnya dapat dibentuk oleh senyawa-senyawa hidrokarbon lain seperti Ethane dan Propane
Dalam perkembangannya, teori-teori mengenai pembentukan molekul Gas Hidrat telah diciptakan oleh para peneliti hingga saat ini. Teori pertama mengatakan bahwa Gas Hidrat merupakan gas hasil peluruhan zat-zat organik di dasar laut oleh suatu mikroorganisme, dan yang juga dapat berasal dari bakteri methanogenic. Secara sederhana, methanogenic merupakan suatu proses pembentukan molekul dengan memanfaatkan reaksi antara senyawa air dan karbondioksida.
Teori berikutnya yang membahas mengenai pembentukan Gas Hidrat adalah mengenai kemungkinan efek kebocoran gas dari batuan induk hidrokarbon (source rock) di suatu area bawah permukaan tanah tertentu, yang memiliki akumulasi hidrokarbon akibat kehadiran suatu fracture (rekahan) dan serta adanya mekanisme migrasi dari hidrokarbon tersebut. Namun secara umum, hingga saat ini, belum ada teori yang dapat membuktikan secara utuh mengenai pembentukan Gas Hidrat tersebut. Akan tetapi, hal yang pasti mengenai pembentukan gas ini sendiri adalah bahwa material organik hadir dalam pembentukan hidrokarbon, bersamaan dengan turut andilnya proses sedimentasi batuan pada konidisi kimia dan fisis tertentu.
Kehadiran Gas Hidrat yang, seperti sebelumnya dibahas, terbentuk hanya pada suatu sedimen dengan karakter tekanan, temperature, serta kondisi kimia dan fisis tertentu lainnya, jelas berbeda dengan pembentukan produksi gas alam konvensional yang selalu kita manfaatkan. Gas Hidrat sendiri, pada dasarnya, ditemukan di alam pada daerah artik (kutub utara) dan sedimen laut dalam dengan kombinasi tertentu dari variable-variablen pembentuknya. Menurut penelitian terhadap pembentukan Gas Hidrat, variable-variabel yang dapat berkontribusi didalamnya terdiri dari:
- Temperatur, pore-pressure, dan gas chemistry dari suatu formasi.
- Salinitas dair pori air.
- Kehadiran gas dan air.
- Jalur migrasi gas dan air.
- Kehadiran batuan reservoir dan seals
Hampir 99% dari kehadiran Gas Hidrat di dunia, terbentuk sebagai ekspresi terperangkapnya komponen hidrokarbon dalam kompaksi dan akumulasi sedimen. Secara rinci, Gas Hidrat dapat terakumulasi pada beberapa geological settings atau kondisi geologi dari sedimen seperti pada gambar berikut.
"Lalu, dimana kita dapat menemukan potensi Gas Hidrat tersebut di dunia?"
Berdasarkan penelitian Arora dkk pada paper-nya yang berjudul "Natural gas hydrate as an upcoming resource of energy", potensi Gas Hidrat di dunia dapat berada di kedua lingkungan lempeng yang ada di Bumi, yaitu di lempeng oseanik dan lempeng benua. Pada lingkungan oseanik, terdapat dua jenis endapan Gas Hidrat. Pertama, tipe paling dominan (>99%) dijumpai di alam adalah tipe endapan yang mengandung methane (CH4) serta terkandung dalam struktur clathrate. Tipe endapan ini memiliki methane yang secara isotop bersifat ringan akibat reduksi microbial dari CO2.
Lebih dari itu, fakta menyebutkan bahwa kestabilan pembentukan Gas Hidrat dengan tipe dominan Methane pada laut yang tawar memiliki tingkat kestabilan relatif tinggi daripada laut asin (Arora dkk, 2015). Gas Hidrat tipe pertama ini berlokasi pada area kurva yang disebut sebagai mid-depth zone, dengan ketebalan sekitar 300 -- 500 meter, dan umum disebut sebagai GSHZ (Gas Hydrate Stability Zone).
Pada rentang ini, sedimen hadir bersamaan dengan Gas Hidrat yang terbentuk dan terkonsentrasi didalamnya. Namun, rentang kedalaman zona stabil Gas Hidrat ini secara fakta berbeda-beda untuk setiap tempat. Hal ini didasarkan oleh variasi sifat fisis berupa nilai tekanan dan temperaturenya dari lokasi tersebut. Akan tetapi, rentang ini adalah rentang nilai umum dalam merujuk zona stabil gas tersebut.
Untuk tipe Gas Hidrat kedua yang berada di lingkungan oseanik, umum ditemukan tidak pada endapan sedimen permukaan. Gas Hidrat ini hadir dalam rantai hidrokarbon yang relatif panjang dan terkandung dalam suatu struktur clathrate. Tipe ini memiliki sifat isotop berat yang diindikasikan merupakan hasil dari migrasi ke arah atas endapan sedimen zona dalam. Tipe ini juga dibentuk oleh dekompoisisi termal dari material organik.
Selain itu, Gas Hidrat juga dapat ditemukan di lingkungan daratan (continental) pada suatu lapisan dari batupasir atau batulanau dengan kedalaman kurang dari 800 meter. Lingkungan daratan ini umum disebut pada daerah Permafrost atau suatu daerah dengan lapisan bawah tanah (subsurface) yang masih berada di titik beku suhu 0 oC.
Berdasarkan Gambar 4, pada daerah Permafrost, juga terdapat zona stabil Gas Hidrat (GSHZ) pada lingkup rentang temperature serta kedalaman tertentu. Ketebalan Permafrost sendiri, menurut penelitian USGS, dapat mencapai ratusan meter yang mengisyaratkan bahwa potensi Gas Hidrat juga cukup besar pada lingkungan lempeng benua. Selain itu, sifat Gas Hidrat pada lingkungan ini memiliki berat yang relatif ringan akibat terbentuk sebagai hasil dari pencampuran proses termal dan microbial.
Perkembangan Gas Hidrat
Berdasarkan studi Arora, jumlah kelimpahan komponen karbon organik dalam ekspresi Gas Hidrat dapat mentupi lebih dari total keseluruhan (karbon organik) yang ada di muka bumi dengan macam ekspresinya. Jumlah total kandungan karbon organik untuk Gas Hidrat mencapai 10000 X 1015 gram (Arora dkk., 2015), yang tersebar hampir di seluruh bagian dunia, seperti pada Gambar 8.
Satu hal yang menarik mengenai jumlah tersebut adalah bahwa total kandungan karbon organik pada Gas Hidrat, ternyata memiliki prosentase yang lebih besar dibandingkan Migas kovensional. Oleh karena itulah, Gas Hidrat sangat dipercaya oleh para peneliti sebagai sebuah energi masa depan yang cocok untuk menggantikan, atau menyokong, pemenuhan kebutuhan terhadap energi Migas.
Kalkulasi Gas in Place dari Gas Hidrat yang ada di seluruh perairan di dunia saat ini, berada pada median 43.311 Tcf (Arora dkk., 2015). Jika menelisik dari Gambar 9 tersebut, terlihat bahwa Amerika menempati urutan pertama dengan median 7,013 TCf. Nilai yang tinggi ini menunjukan bahwa para peneliti Amerika, salah satunya melalui badan USGS, telah menentukan sikapnya lebih dini untuk aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan tujuan jangka panjang pemanfaatan energi ini.
Akan tetapi, satu hal yang perlu dicatat kembali adalah hingga saat ini belum ada satu pun negara yang telah melakukan komersialisasi, atau bahkan melakukan kegiatan produksi, terhadap potensi gas tersebut. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa kegiatan yang telah dilakukan saat ini, baru sebatas pada tahap riset, hingga aktivitas-aktivitas eksplorasi berupa seismik dan pemboran untuk analisa core.
USGS, dalam publikasinya kembali mengenai Gas Hidrat, menuturkan bahwa kegiatan eksplorasi potensi energi ini dapat memanfaatkan dua metode geofisika yaitu seismik refleksi dan elektromagnetik. Dalam penelitian Eko Triarso dan Rainer Arief Troa mengenai analisa dan interpretasi terhadap indikasi keberadaan Gas Hidrat pada data seismik di Busur Muka Simuelue, ditunjukan beberapa titik lokasi potensi energi tersebut. Potensi itu di ekspreksikan dalam bentuk respon sinyal seismik berjenis Bottom Simulating Reflector (BSR) yang memiliki karakteristik fisis berupa amplitudo tinggi, pembalikan polaritas, memotong stratigrafi, dan mengikuti bentuk permukaan dasar laut (Triarso dan Troa, 2016) seperti pada Gambar 10.
Mengenai metode elektromagnetik, USGS meyakini bahwa Gas Hidrat secara teoretis bersifat electrical resistor yang dalam pengambilan dan pengolahan datanya, kelak akan terlihat sebagi suatu anomali.
Selain karena tantangan teknis yang berat, sisi keekonomisan pemanfaatan Gas Hidrat juga masih belum menemukan titik impasnya akibat sebaran akumulasi potensi yang belum terangkum secara menyeluruh. Akan tetapi, seperti yang terlihat pada timeline sejarah dan prediksi program Gas Hidrat yang dibuat oleh USGS pada tahun 2017, beberapa negara di dunia tengah gencar memusatkan fokusnya pada sumber energi tersebut.
Dari gambar tersebut tersimpulkan bahwa negara-negara Asia seperti India, Korea, China, dan Jepang saat ini relatif mendominasi kegiatan riset terhadap Gas Hidrat. Meskipun, jika merujuk pada data calculated Gas in Place sebelumnya, terlihat potensi Gas Hidrat terbesar berada mayoritas di lintang tinggi utara bumi, namun implementasi RD&D (Research, Development and Demonstration) berupa paten-paten mengenai perkembangan Gas Hidrat nyatanya banyak terpublikasi di kawasan Asia, terutama China.
Gambar 12. Perkembangan Up-Stream Activity dari Hydrate GasÂ
Mengenai teknologi, para peneliti kini juga tengah mengkaji teknik-teknik yang efektif dan efisien dalam tujuan untuk kegiatan produksi energi tersebut. Teknik-teknik yang sudah diciptakan dalam upaya menyemarakan aktivitas produksi Gas Hidrat adalah sebagai berikut:
- Metode Pengurangan Tekanan, dengan membuat hubungan antara formasi Gas Hidrat dan permukaan udara. Hal ini dilakukan agar tekanan formasi akan turun senilai dengan tekanan yang ada di permukaan atmosfer.
- Metode Stimulasi Termal, dengan mekanisme injeksi air atau uap panas terhadap formasi Gas Hidrat. Metode ini bertujuan agar Gas Hidrat meleleh untuk mencapai keseimbangan termal dan gas Hidrokarbon dapat diproduksi.
- Metode Injeksi Inhibitor, dengan menginjeksikan zat kimia seperti methanol atau glycol ke dalam formasi Gas Hidrat. Metode ini ternyata mampu merusak kesetimbangan struktur dari Gas Hidrat da membuat terjadinya pelepasan molekul hidrokarbon yang terkandung didalamnya.
- Dan sebagainya.
Gambar 13. Perkembangan Metode Produksi Gas Hidrat Pengurangan Tekanan (kiri), Stimulasi Termal (tengah), dan Injeksi Inhibitor (kanan).
Dalam sebuah seminar yang diadakan Pertamina Upstream Technology Centre (UTC) mengenai Gas Hidrat pada 3 Mei 2012 di Hotel Kempinski, diutarakan bahwa pemanfaatan Gas Hidrat di Indonesia masih berada di angka nol. Belum ada aktivitas ekploitasi atau produksi terhadap potensi Gas Hidrat yang ada di Indonesia. Menurut Alfian Usman, salah seorang narasumber dari Pertamina UTC, Indonesia pada dasarnya memiliki potensi Gas Hidrat sebesar 3000 Tcf yang tersebar di sejumlah perairan Nusantara, dari sisi barat hingga timur (Usman, 2013). Angka tersebut diungkapkan beliau setelah merujuk dari hasil analisia rekaman-rekaman seismik yang telah dilakukan oleh Pertamina. Hadirnya pemanfaatan Gas Hidrat sebagai altenatif gas konvensional di dunia juga dapat menjadi jawaban utama dalam memenuhi kebutuhan energi di Indonesia.
Kesimpulan
Pemanfaatan Gas Hidrat sebagai salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan energi yang jumlahnya sangat melimpah di Indonesia, terutama di dunia, perlu dipertimbangkan secara matang. Negara-negara di Asia kini tengah memimpin dalam segi pegembangan riset terhadap potensi energi ini. Indonesia perlu turut andil dalam meraih momentum kegiatan tersebut secara komprehensif.
Rekomendasi
Pemerintah perlu melakukan suatu kebijakan strategis dalam mengarahkan pemanfaatan energi  Gas Hidrat dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dan negara. Kerjasama berupa investasi dari atau dengan negara lain yang telah turut serta dalam melakukan riset terhadap Gas Hidrat merupakan hal yang krusial dilakukan. Hal ini bertujuan agar kacamata teknologi, riset, dan penelitian negara Indonesia terhadap pemanfaatan energi alternatif ini tidak tertingal.
Aktivitas-aktivitas eksplorasi yang bersinggungan dengan geofisika perlu dijadikan gerbang awal ini semua. Dimulai dari perekaman, pengolahan, hingga interpretasi terhadap data seismik menjadi salah satu hal vital dalam mendukung semangat positif pemanfaatan Gas Hidrat. Diiringi dengan pemanfaatan metode geofisika lain seperti elektromagnetik, dalam mengolah hingga mengekstrak data potensi energy ini dapat menjadi kombinasi yang mutakhir untuk menyusul tren dunia ini. Indonesia mempunyai tools untuk eksplorasi, SDM yang berwawasan, dan SDA berupa potensi Gas Hidrat yang selaras berada diatas rata-rata.
Oleh karena itu, jika tidak sekarang, kapan lagi ?. Â Â
DAFTAR PUSTAKA
[1] Â Â Â Nugraha, S. dkk (2016): Outlook Energi Indonesia 2016, Sekretatriat Jenderal Dewan Energi Nasional, Jakarta, 83 halaman.
[2] Â Â Â Arora A., Cameotra S. S., Balomamder C. (2015): Natural gas hydrate as an Untapped resource of energi, Journal of PET Envirom Biotechnol, 6, 1.
[3] Â Â Â Arora A., Cameotra S. S., Balomamder C. (2015): Natural gas hydrate as an Upcoming resource of energy, Journal of PET Envirom Biotechnol, 6, 1.
[4] Â Â Â Triarso, E. dan Troa R.A. (2017): Indikasi keberadaan Gas Hidrat pada cekungan busur muka simeulue dan potensinya sebagai sumber energi masa depan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Jakarta.
[5] Â Â Â Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (2017): Konsumsi BBM Nasional per tahun, http://www.bphmigas.go.id/konsumsi-bbm-nasional. Diakses pada tanggal 1 November 2017.
[6] Â Â Â Anonim (2017): https://web.anl.gov/PCS/acsfuel/preprint%20archive/Files/Merge/Vol-42_2-0003.pdf. Diakses pada tanggal 2 November 2017.
[7] Â Â Â https://id.beritasatu.com/home/melepaskan-indonesia-dari-net-importer-energi/36274
[8] Â Â Â http://www.dunia-energi.com/indonesia-miliki-potensi-gas-hidrat-3-000-miliar-kaki-kubik/
[9] Â Â Â United State Geological Survey (USGS). (2018): "Gas Hydrate in Nature".
[10] Â Â ATKearney, Energy Transsition Institute. (2015): "Gas Hydrates Taking the heat out of the burning-ice debate."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H