Mohon tunggu...
ryan wrehaspati
ryan wrehaspati Mohon Tunggu... -

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korelasi Mahasiswa Kelas Menengah, Hedonisme dan Lahan Parkir (bag1)

29 April 2014   00:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nongkrong adalah kata yang dapat dibilang paling tepat untuk menggambarkan hobi penduduk metropolitan dewasa ini. Beberapa penduduk perkotaan mencoba untuk bergaya hidup lebih sehat dengan mengikuti acara-acara seperti car free day,fitness,zumba, yoga dan lain-lain. Akan tetapi, hobi nongkrong dapat dikatakan lebih mendominasi. Alasannya beragam, ada yang melepas penat, menunggu macet, mencoba tempat-tempat baru, presentasi MLM, hingga iseng-iseng saja. Sebagai mahasiswa yang (masih) mengandalkan harta orang tua, saya juga merupakan bagian dari penduduk yang mempunyai hobi nongkrong dan jalan-jalan. Selain karena skripsi saya yang tidak selesai-selesai sehingga saya stress,nongkrong juga membuka cakrawala saya terhadap dunia luar. Setiap kali saya ingin nongkrong, saya memakai mobil, yang (lagi-lagi) milik orang tua saya. Ketimpangan antara kemampuan saya memiliki mobil dan memperlakukan barang ini membuat saya memiliki banyak pertimbangan ketika akan nongkrong. Pertimbangan itu diantaranya adalah jarak dan pembayaran parkir, terutama kalau saya ke mall. Selain itu, jarak juga memiliki peranan krusial dikarenakan jarak akan mempengaruhi berapa banyak uang yang saya keluarkan untuk membeli bensin. Sialnya, mobil (orang tua) saya bukanlah mobil yang hemat bensin, yakni 2000cc ke atas,sehingga saya harus memikul resiko akan bensin itu sendiri.

Permasalahan berikutnya yang sudah barang tentu adalah mengenai parkir. Mahasiswa seperti saya tidak akan dapat berbuat apa-apa ketika tarif parkir di mall-mall naik 2 kali lipat dari dua ribu rupiah menjadi empat ribu. Efek domino dari naiknya parkir akan sangat krusial ketika pada awalnya saya ingin memesan salmon sashimi, tetapi karena pertimbangan parkir justru saya hanya memesan california roll. Ini tidak sesuai dengan pola hidup self-indulgence saya. Tetapi saya tidak dapat berbuat apa-apa karena penghasilan saya hanya dari yayasan ayahanda.

Demi keberlanjutan dari keinginan hedonisme, untuk bisa lolos dari seleksi alam ini, saya harus memutar otak untuk bisa menekan biaya parkir, yakni mulai dari patungan hingga parkir di convenience store terdekat. Parkir di convenience store terdekat memerlukan trik-trik tertentu agar citra kita tidak buruk-buruk amat di mata tukang parkir toko tersebut. Caranya adalah mencoba untuk membeli barang yang murah namun tidak mencurigakan agar dilihat bahwa kita parkir di toko tersebut hanya untuk menumpang saja. Membeli air minum dan satu roti cukup solutif untuk menjadi distraksi agar dianggap tidak hanya menumpang parkir saja. Hanya dengan modal sepuluh ribu rupiah, anda bisa parkir dan nongkrong di mall terdekat, kuncinya adalah parkir di minimarket. Dikarenakan tarif yang tetap,sehingga parkir jalanan merupakan solusi utama atas mahalnya parkir di mall. Namun, tindakan ini juga memiliki resiko yakni tempat parkir yang kurang aman, walaupun parkir di dalam mall juga tidak 100% aman. Jadi kita harus berpikir strategis dalam menentukan tindakan kita jika ingin ke mall tetapi ingin menghindar dari mahalnya parkir di dalam mall.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun