Fenomena pekerja anak bukan hal baru di telinga kita. Abbas, Ciku, dan kawan-kawan hanya segelintir pekerja anak di Indonesia, begitu juga di Wakatobi. Dua tahun saya tinggal di Wakatobi, pekerja anak  adalah hal yang lumrah dan diterima oleh masyarakat setempat. Demikian halnya di desa-desa, pekerja anak adalah hal yang lumrah.Â
Data BPS menunjukkan mayoritas pekerja anak usia 10 hingga 11 tahun bekerja dari rentang 1-20 jam setiap minggunya. Untuk pekerja anak usia 12-14 tahun, sebagian besar menghabiskan waktu 21-40 jam seminggu untuk bekerja, sementara usia 15-17 tahun paling banyak bekerja selama 41-60 jam seminggu.
International Labour Organization (ILO) mengklasifikasikan pekerja anak sebagai buruh anak yang tak bersekolah dan pekerjaannya berpotensi mengganggu pertumbuhan mental, fisik, serta sosial. Pekerja anak kategori ini yang perlu diminimalisir keberadaannya.Â
Bagaimana dengan mereka yang tetap bersekolah dan pekerjaan tidak berpotensi mengganggu pertumbuhan? Anak kategori ini dibolehkan ILO untuk tetap mencari keterampilan di luar sekolah yang dinilai dapat mengembangkan diri. Studi dari lembaga riset SMERU tentang pekerja anak selama krisis moneter di Indonesia menunjukkan bekerja paruh waktu tak mengurangi hak anak mengenyam pendidikan. Bahkan, bekerja di luar jam sekolah membantu orang tua untuk membayar biaya pendidikan.Â
Terlepas dari klasifikasi dan kategori yang telah disebutkan, anak-anak seperti mereka tetaplah harus mendapatkan pendidikan yang menyenangkan, aman, dan ramah. Selain itu, berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989, ada 10 hak yang harus diberikan untuk anak. Di antaranya hak untuk bermain.Â
Menghabiskan waktu untuk bekerja, membuat hak anak bisa terabaikan. Usia mareka bukanlah usia yang tepat untuk memulai bekerja, apalagi yang dilakukan adalah pekerjaan yang sepatutnya dilakukan orang dewasa.
Penyebab munculnya pekerja anak dapat dipancing beberapa faktor. Keputusan anak untuk bekerja bisa disebabkan kondisi ekonomi keluarga, rendahnya pendidikan orang tua, kejenuhan belajar, atau bahkan drop out.Â
Sebagaimana kita pahami, bahwa kondisi keluarga yang prasejahtera cenderung sulit membiayai biaya pendidikan anak. Terlebih jika menganggap anak sebagai aset ekonomi, keluarga tak akan melarang anak bekerja dengan risiko kehilangan mendapat pendidikan.Â
Selain faktor ekonomi dan penelantaran pendidikan anak dalam keluarga, faktor lain yang memicu kehadiran pekerja anak ialah putus sekolah. Namun, putus sekolah bisa juga akibat dari fenomena pekerja anak itu sendiri. Karena sibuknya bekerja hingga lupa belajar.
Rendahnya pendidikan orang tua juga merupakan faktor utama penyebab fenomena pekerja anak. Orang tua yang berpendidikan rendah menganggap anak-anak mereka bisa hidup seperti orang tuanya tanpa harus berpendidikan tinggi, cukup dengan bekerja saja.Â
Pekerja anak yang berpendidikan rendah ini di kemudian hari akan menjadi orang tua yang mungkin akan menurunkan pemahaman ini kepada anak cucunya. Demikian lingkaran ini akan terus berulang. Dari sinilah pendidikan merupakan modal utama yang harus dimiliki setiap manusia.