Mohon tunggu...
Ryan W Januardi
Ryan W Januardi Mohon Tunggu... Administrasi - Statistisi

ASN | Statistisi | Peneliti Statistik Sosial dan Kependudukan | Pembelajar dan Petualang

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tujuh Terbawah Dunia, Jakarta Semakin Jauh dari Predikat Kota Berkelanjutan

29 April 2019   00:37 Diperbarui: 29 April 2019   16:05 2764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
InfografiQ, instagram.com

Jakarta menempati peringkat 94 kota berkelanjutan atau Sustainable Cities Index (SCI) 2018. Dari 100 kota yang disurvei, Ibukota Indonesia itu hanya unggul dari Manila, Nairobi, Cape Town, Hanoi, Cairo, dan Kolkata. 

Selama tiga tahun terakhir (2016-2018), posisi Jakarta di antara kota-kota dunia berangsur alami kemunduran. Pada tahun 2016 Jakarta menempati posisi ke 88, turun menjadi peringkat 89 di tahun 2017, dan semakin anjlok di peringkat 94 pada tahun 2018. Masuk dalam posisi 10 terbawah, Jakarta dianggap sebagai kota yang tidak berkualitas. Rendahnya indeks Jakarta tidak terlepas dari jarak yang cukup lebar antara pengembangan ekonomi dan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan perkotaan. Selain itu, pembangunan infrastruktur di Jakarta justru dianggap sebagai stimulus kemacetan.

Richard Register adalah orang yang pertama kali mencetuskan ide kota berkelanjutan. Tahun 1987, ia menulis sebuah buku berjudul Ecocity Berkeley: Building City for Healthy Future. Ia meyakini bahwa pembangunan kota harusnya tidak hanya memperhatikan sisi ekonomi saja, tetapi juga kualitas hidup manusia di dalamnya. Kota yang berkelanjutan atau sustainable city bisa didefinisikan sebagai kota yang didesain tanpa mengabaikan dampak lingkungan. Sebuah kota bisa dikatakan berkelanjutan jika ia memperhatikan keseimbangan harmonis antara perkembangan kotanya dengan perkembangan lingkungannya. Sebab jika salah satunya rusak, yang terjadi adalah ketidakberlanjutan sistem.

SCI dirilis oleh Arcadis, konsultan arsitektur dan perencanaan kota yang berbasis di Amsterdam, Belanda. Menurut Arcadis, kota-kota yang secara besar-besaran telah meningkatkan ekonomi serta kualitas hidup berada di posisi atas, sedangkan kota yang masih mengembangkan ekonomi cenderung berada peringkat bawah. Riset Arcadis mengeksplorasi keberlanjutan kota berdasarkan perspektif warga dan merangking 100 kota dunia berdasarkan tiga pilar keberlanjutan: People (Penduduk), Planet (Lingkungan), dan Profit (Ekonomi). Ketiga pilar tersebut erat kaitannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) dan melacak kemajuan terhadap komitmen SDGs PBB.

Sustainable Cities Index (SCI)

SDGs menekankan sifat lintas sektoral yang berkelanjutan dan perlunya bagi semua kota untuk mengambil pendekatan yang seimbang dalam mengembangkan rencana pembangunan, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Memahami kebutuhan warga dan bagaimana sebuah kota berfungsi adalah kunci untuk mengidentifikasi bagaimana perencanaan untuk meningkatkan kinerja keberlanjutan kota dapat diterapkan secara efektif. 

Sustainable Cities Index (SCI) atau Indeks Kota Berkelanjutan adalah alat ukur global dari pembangunan keberlanjutan sebuah kota, mencakup langkah-langkah sosial, kesehatan lingkungan, dan ekonomi kota. SCI yang dirumuskan oleh Arcadis mengukur kinerja sebuah kota berdasarkan tiga indikator keberlanjutan, yakni People (Penduduk), Planet (Lingkungan), dan Profit (Ekonomi). 

1. Indikator People, mengukur kinerja kota dalam hal: Kesejahteraan Personal yang meliputi kesehatan, pendidikan, dan kriminalitas; Kehidupan Kerja yang meliputi ketimpangan pendapatan, jam kerja, dan rasio ketergantungan; dan Kehidupan Perkotaan yang meliputi aksesibilitas transportasi, layanan digital, dan fasilitas lainnya.

2. Indikator Planet, mengukur kinerja kota dalam hal: Kebutuhan Mendesak Warga yang meliputi persediaan air, sanitasi, dan kebersihan udara; Dampak Lingkungan Jangka Panjang yang meliputi konsumsi energi, tingkat daur ulang, dan emisi gas rumah kaca; Investasi Karbon Rendah yang meliputi energi terbarukan, infrastruktur sepeda, dan insentif kendaraan listrik; dan Ketahanan Kota yang meliputi paparan bencana alam dan pemantauan risiko.

3. Indikator Profit, mengukur kinerja kota dalam hal: Efektivitas Infrastruktur Transportasi yang meliputi kemacetan kereta api, transportasi udara, dan lalu lintas; Kinerja Ekonomi yang meliputi PDB per kapita, tingkat pengangguran, kemudahan berbisnis, pariwisata, dan posisi dalam jaringan ekonomi global; serta Infrastruktur Bisnis yang meliputi konektivitas seluler dan broadband dan penelitian teknologi yang dilakukan perguruan tinggi.

Jakarta Sebagai Kota Berkelanjutan

Jakarta adalah kota di mana ketimpangan tampak nyata. Banyak gedung-gedung tinggi nan megah berdiri kokoh, namun di sekitarnya masih banyak warga yang tinggal di pemukiman kumuh. Jakarta juga bukan kota yang ramah bagi para pengendara sepeda. Jalur sepeda memang ada, meski hanya di beberapa ruas jalan. Tetapi, jalur yang sedikit itupun diserobot mobil dan sepeda motor. Kendaraan umum yang tersedia pun penuh sesak, terlebih di jam-jam kerja. Ini membuat orang-orang ekonomi menengah ke atas memilih menggunakan kendaraan pribadi. Penggunaan mobil yang masif berarti penggunaan bahan bakar dan polusi yang juga masif, dan tentu saja, berdampak pada kemacetan dan ketidaknyamanan pengguna jalan itu sendiri.

Hasil riset Arcadis menunjukkan Kota Jakarta menduduki urutan ke 94 dari 100 kota dunia, hanya setingkat di atas kota Manila dan jauh tertinggal di bawah Kuala Lumpur dan Bangkok.

Sementara London, kota terbesar di Inggris menempati peringkat pertama. Dengan status sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia dan kualitas hidup yang kuat, London berada di peringkat sebagai kota paling berkelanjutan di dunia. "London merupakan salah satu kota paling seimbang dalam SCI, dengan skor yang seimbang di ketiga pilar. Kemudahan berbisnis, tempat-tempat wisata terkenal, dan multikultural semuanya berkontribusi pada keberhasilannya, namun tantangan seputar aksesibilitas transportasi dan kemacetan perlu ditangani jika London ingin mempertahankan peringkatnya," tulis Arcadis dalam laporannya.

Singapura, negara tetangga Indonesia berada di peringkat keempat. Ia mengalahkan kota-kota besar lainnya seperti Vienna, Zurich, bahkan Hong Kong yang pada tahun 2017 ada di peringkat teratas. Dari tiga aspek yang menjadi indikator, Singapura sebenarnya tak terlalu menonjol dalam hal penduduk (peringkat 31) dan lingkungan (peringkat 41). Ia paling menonjol dalam hal ekonomi yang menjadikannya menduduki urutan pertama ekonomi dunia. Bermodalkan ekonomi unggulan, Singapura tetap menjadi kota paling berkelanjutan di Asia, berkat pendekatan kolektifnya dalam mewujudkan visi Smart Nation. Singapura adalah kota yang kuat sebagai Balanced Innovator sebagaimana dibuktikan dengan proyek-proyek strategis nasionalnya seperti Smart Nation Sensor Platform dan Smart Urban Mobility, yang semakin memajukan negara kota dalam mencapai keberlanjutan, mobilitas cerdas, dan kemampuan hidup.

Begitu juga dengan Kuala Lumpur, ibukota negara tetangga Indonesia yang berada jauh di atas Indonesia, yakni peringkat 67. Arcadis mengungkapkan Ibukota Malaysia ini mendapat keunggulan dari nilai yang konsisten di semua pilar dan mengungguli semua kota di Tiongkok kecuali Shenzhen, serta beberapa kota di AS dan Eropa. Dengan ekosistem bisnis yang mapan, kota ini mendapat keuntungan dari kualitas sumber daya manusia yang baik dan biaya hidup yang moderat. Teknologi akan memainkan peran penting dalam mewujudkan inisiatif Malaysia untuk berada di peringkat 20 ekonomi teratas dunia pada tahun 2050.

Sementara itu, Jakarta di urutan tujuh terbawah kota berkelanjutan dunia menghadapi tantangan signifikan di semua pilar. Dalam hal penduduk, Jakarta menduduki peringkat ke 97 dengan skor 28 persen setingkat di bawah Kolkata yang merupakan kota berkelanjutan terendah di dunia (versi Arcadis), dalam hal lingkungan Jakarta berada di peringkat ke 96 dengan skor 35 persen, sementara dalam hal ekonomi Jakarta berada di posisi ke 82 dengan skor 27 persen.

Kota-kota di dunia tentu memiliki tekanan atau permasalahan dari berbagai aspek. Beberapa permasalahan seperti pertumbuhan penduduk atau mobilitas tentu bisa diperkirakan. Aspek lain seperti ketidakpastian politik dan bencana alam akan lebih sulit diprediksi.

Dengan luas 661,52 kilometer persegi, Jakarta menghadapi tiga masalah utama, yaitu banjir, kepadatan lalu lintas, dan keterbatasan ruang terbuka hijau. Masalah lainnya yaitu kesehatan penduduk, pendidikan, sampah, ketersediaan air bersih, kesadaran warga terhadap lingkungan, dan penurunan permukaan tanah. Di Jakarta Utara, permukaan tanah turun 6-15 sentimeter per tahun. Belum lagi urbanisasi akibat perpindahan penduduk yang tak terkontrol. Jakarta, pusat dari segala-galanya, dari industri, bisnis, pemerintahan, hiburan, hingga pendidikan. Tak heran jika penduduk dari kota-kota lain berbondong ke Jakarta untuk sekolah, bekerja, hingga akhirnya beranak pinak. Peningkatan penduduk yang pesat di Jakarta -apabila tidak dikontrol- akan berpengaruh terhadap perkembangannya, karena perkembangan penduduk ini  akan menyebabkan berbagai permasalahan yang kompleks, seperti meningkatnya permintaan permukiman, meningkatnya pengangguran, kemacetan, kejahatan, dan menjadi penyebab utama dari urban sprawl (rebakan kota pinggiran).

Proses pembangunan Jakarta sebenarnya sudah dimulai dari beberapa ratus tahun yang lalu sejak kota ini berdiri. Namun setiap masa dalam proses pembangunannya tentu ada masalah masing-masing yang rata-rata berbeda dari permasalahan sebelumnnya. Permasalahan inilah yang kadang membuat siapapun pemimpin Jakarta mengambil kebijakan sendiri dan berbeda dari sebelumnnya. Menurut Emil Salim (1977), salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan saat ini adalah menciptakan keberlanjutan, termasuk di dalamnya keberlanjutan sistem politik dan kelembagaan sampai pada strategi, program, dan kebijakan sehingga pembangunan kota yang berkelanjutan dapat terwujud.

Kondisi ini mengarahkan pada serangkaian tantangan inti bagi Jakarta, tidak hanya bagaimana Jakarta berusaha untuk meningkatkan performanya sebagai kota dan ibukota negara, tetapi juga bagaimana mempersiapkan berbagai perubahan yang didorong oleh berbagai aspek keberlanjutan. Penting untuk melihat bagaimana Jakarta mempertahankan dan meningkatkan pelayanan primanya ketika sedang berkembang, khususnya dengan menggunakan inovasi untuk memastikan bahwa kebutuhan dan keinginan warga saat ini dapat terpenuhi. Kedua, bagaimana mengalokasikan sumber daya baru untuk memenuhi kebutuhan warga yang cenderung berubah di setiap masa dengan memprioritaskan manfaat terbesar yang akan diterima warga. Dan pada akhirnya, bagaimana memastikan bahwa kota Jakarta cocok untuk masa depan dan mampu melestarikan sumber daya sehingga kebutuhan warga masa depan dapat dipenuhi serta dapat menanggapi perubahan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun