Mohon tunggu...
Wan Riyansyah Febrito
Wan Riyansyah Febrito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

NIM: 43122010413 Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Korupsi Proyek Meikarta Menurut Teori John Bologna dan Robert Klitgaard

3 Juni 2023   13:28 Diperbarui: 3 Juni 2023   13:28 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ekonomi.bisnis.com/read/20221209/47/1607064/profil-deretan-masalah-meikarta-dulu-gencar-promosi-kini-diamuk-pembeli

Sementara Kofi Annan Sekjen PBB periode 1997-2006 dalam sambutannya pada United Nations Convention against Corruption (UNCAC) mengatakan adalah wabah mengerikan yang memiliki dampak merusak bagi masyarakat. Korupsi, kata Annan, menyebabkan pelanggaran HAM, merusak pasar, mengikis kualitas hidup, dan memunculkan kejahatan terorganisir, terorisme, serta ancaman lainnya bagi kehidupan manusia.

Indonesia sendiri melalui UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengelompokkan korupsi ke dalam 7 jenis utama. Ketujuh jenis tersebut adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Robert Klitgaard mengatakan korupsi bisa didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan tersebut bisa merupakan jabatan publik, atau posisi apapun di kekuasaan, termasuk di sektor swasta, organisasi nirlaba, bahkan dosen di kampus. Korupsi menurut Klitgaard berbentuk penyuapan, pemerasan, dan semua jenis peniuan.
Dari berbagai pengertian di atas, korupsi pada dasarnya memiliki lima komponen, yaitu:
1. Korupsi adalah suatu perilaku.
2. Ada penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
3. Dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok.
4. Melanggar hukum atau menyimpang dari norma dan moral.
5. Terjadi atau dilakukan di lembaga pemerintah atau swasta.

Dari penjelasan tersebut di atas, maka antikorupsi menjadi sebuah antitesis. Pengertian antikorupsi adalah semua tindakan, perkataan, atau perbuatan yang menentang korupsi dan segala macam bentuknya. Seseorang yang memahami pengertian antikorupsi ini akan berlaku sesuai dengan nilai-nilai integritas. Adapun sembilan nilai integritas tersebut adalah jujur, mandiri, bertanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil dan kerja keras, atau yang disingkat "Jumat Bersepeda KK". Dengan memegang teguh prinsip antikorupsi, seseorang memiliki benteng moral untuk tidak melakukan korupsi dan juga mencegah tindakan korupsi.

WHY
Teori CDMA (Robert Klitgaard) Korupsi (corruption) terjadi karena faktor kekuasaan (directionary) dan monopoli (monopoly) yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (accountability). Kekuasaan dan monopoli yang tidak diimbangi dengan akuntabilitas akan memunculkan sikap serakah. Dengan kekuasaan dia bisa memonopoli apapun dan tidak mempedulikan perihal kualitas kerja. Baginya apa saja yang dilakukannya didasarkan kekuasaan. Anak buah yang membantunya biasanya menjuluki dengan pemimpin tangan besi yang rakus. Namun bagi anak buah yang dekat justru membuat meraka bisa menekan kesegala sector untuk memuaskan nafsu pemimpinannya sekaligus memuaskan nafsunya dan memanfaatkan "aji mumpung. Teori ini mendalami pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter dictator dan haus akan harta dan kekuasaan.

https://twitter.com/bunghattaaward/status/1290589273863761923?s=61&t=TUP3QPzkSYct3qT4Uqk9dQ
https://twitter.com/bunghattaaward/status/1290589273863761923?s=61&t=TUP3QPzkSYct3qT4Uqk9dQ
Masalah utama yang sangat berbahaya dan berdampak signifikan terhadap pembangunan ekonomi dan stabilitas politik adalah korupsi, yang mempengaruhi hampir semua negara, termasuk negara maju dan terbelakang. Karena mempengaruhi kepemimpinan, proses, dan budaya organisasi sebagai dinamika dan insentif untuk melakukan aktivitas korup, korupsi adalah bisnis yang menantang dan rumit.
Teori Klitgaard, juga dikenal sebagai "Teori Korupsi Klitgaard," adalah kerangka konseptual yang digunakan untuk menganalisis dan memahami korupsi dalam konteks pemerintahan dan sektor publik. Teori ini diperkenalkan oleh Robert Klitgaard dalam bukunya yang berjudul "Controlling Corruption" pada tahun 1988.
Teori Klitgaard mengidentifikasi tiga faktor utama yang berkontribusi terhadap tingkat korupsi dalam suatu sistem:
1.Monopoli Discretionary Power (Kekuasaan Diskresioner Monopoli): Korupsi cenderung terjadi ketika individu atau institusi memiliki kekuasaan yang tidak terbatas atau kebebasan tindakan yang besar tanpa adanya pengawasan yang memadai. Semakin besar kekuasaan diskresioner yang dimiliki seseorang, semakin besar pula potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
2.Low Accountability (Akuntabilitas Rendah): Korupsi cenderung berkembang di lingkungan di mana akuntabilitas lemah atau tidak ada. Ketika tidak ada sistem pengawasan atau sanksi yang efektif, individu atau institusi yang berkuasa dapat terlibat dalam tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum atau etika.
3.High Temptation (Godaan Tinggi): Faktor ketiga dalam teori ini adalah adanya godaan atau insentif yang tinggi untuk terlibat dalam korupsi. Ini bisa berupa kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi, seperti uang, jabatan, atau kekuasaan, dengan cara yang tidak jujur atau melanggar hukum.

Teori Klitgaard menekankan pentingnya memperbaiki ketiga faktor ini dalam rangka mengendalikan korupsi. Salah satu pendekatan yang dianjurkan adalah dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan dalam sistem pemerintahan serta mengurangi kekuasaan diskresioner yang terlalu besar.

Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, berikut adalah beberapa tambahan faktor yang terkait dengan Teori Klitgaard atau Teori Korupsi Klitgaard:
1.Ketidakseimbangan kekuasaan: Faktor ini menyoroti situasi di mana terdapat ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak yang memberikan dan menerima suap atau gratifikasi. Ketidakseimbangan ini dapat mempermudah terjadinya praktik korupsi karena pihak yang memberikan suap memiliki kelebihan kekuasaan dalam transaksi tersebut.
2.Norma sosial: Norma sosial dan budaya juga dapat mempengaruhi tingkat korupsi dalam suatu masyarakat. Jika korupsi dianggap sebagai norma yang diterima atau bahkan dihargai dalam masyarakat, maka praktik korupsi cenderung lebih meluas. Sebaliknya, jika masyarakat memiliki norma yang kuat dalam menolak dan menghukum korupsi, maka tingkat korupsi dapat ditekan.
3.Ketidaktransparan dan kompleksnya proses: Ketidaktransparanan dan kompleksitas proses administrasi atau kebijakan publik dapat memudahkan terjadinya korupsi. Ketika proses tidak dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat atau ada celah yang sulit untuk dipantau, hal ini dapat menciptakan ruang bagi praktik korupsi.
4.Ketidakadilan sosial dan ekonomi: Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat korupsi. Ketika kesenjangan sosial dan ekonomi yang besar terjadi, individu atau kelompok tertentu mungkin merasa terpinggirkan dan menggunakan praktik korupsi sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi atau memperbaiki situasi mereka.

Penerapan Teori Klitgaard atau Teori Korupsi Klitgaard dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1.Identifikasi dan analisis faktor-faktor korupsi: Pertama-tama, lakukan identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor korupsi yang relevan dalam konteks yang ingin diteliti atau diperbaiki. Faktor-faktor ini dapat mencakup kekuasaan diskresioner monopoli, rendahnya akuntabilitas, godaan yang tinggi, ketidakseimbangan kekuasaan, norma sosial, ketidaktransparanan, kompleksitas proses, dan ketidakadilan sosial dan ekonomi.
2.Evaluasi kebijakan dan praktik yang ada: Selanjutnya, lakukan evaluasi terhadap kebijakan dan praktik yang ada dalam institusi atau pemerintahan yang relevan. Tinjau sejauh mana faktor-faktor korupsi tersebut hadir dan berperan dalam konteks tersebut. Identifikasi kelemahan atau celah yang mungkin memfasilitasi korupsi.
3.Pengembangan kebijakan dan mekanisme pengendalian: Berdasarkan hasil analisis, pengembangkan kebijakan dan mekanisme pengendalian yang bertujuan untuk mengatasi faktor-faktor korupsi yang diidentifikasi. Misalnya, dapat dilakukan dengan memperkuat pengawasan dan transparansi, meningkatkan akuntabilitas, mengurangi kekuasaan diskresioner yang tidak terkendali, dan meningkatkan integritas institusi.
4.Implementasi kebijakan dan mekanisme pengendalian: Setelah kebijakan dan mekanisme pengendalian dikembangkan, langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya dengan baik. Pastikan ada dukungan yang kuat dari manajemen, pemangku kepentingan, dan sumber daya yang memadai untuk menerapkan kebijakan dan mekanisme tersebut.
5.Evaluasi dan pemantauan: Lakukan evaluasi dan pemantauan secara berkala terhadap implementasi kebijakan dan mekanisme pengendalian. Tinjau apakah langkah-langkah yang diambil efektif dalam mengatasi korupsi dan mengurangi faktor-faktor penyebabnya. Lakukan perbaikan dan penyesuaian jika diperlukan.
6.Mendorong partisipasi dan kesadaran publik: Libatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam upaya pengendalian korupsi. Tingkatkan kesadaran tentang pentingnya melawan korupsi dan ajak masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawasi dan melaporkan praktik korupsi.
7.Kolaborasi antar sektor: Korupsi melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan. Mendorong kolaborasi dan kerja sama antara sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dapat memperkuat upaya pengendalian korupsi secara holistik.

Penerapan Teori Klitgaard ini harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan setiap negara, organisasi, atau institusi. Setiap langkah harus didukung oleh komitmen, integritas, dan upaya yang berkelanjutan untuk menciptakan tata kelola yang transparan.

konsep-konsep kunci dan aspek penting yang terkait dengan teori Klitgaard
1.Formula Korupsi: Teori Klitgaard menyajikan formula dasar Korupsi = Diskresi + Godaan - Pemantauan. Diskresi mengacu pada tingkat keleluasaan atau kebebasan yang dimiliki oleh individu atau pejabat dalam membuat keputusan atau bertindak. Godaan mencerminkan insentif atau keuntungan pribadi yang dapat diperoleh dari perilaku korup. Pemantauan berkaitan dengan adanya kontrol dan pengawasan yang efektif untuk mencegah dan mendeteksi tindakan korupsi.
2.Fokus pada Sistem: Teori Klitgaard menekankan pentingnya memahami korupsi sebagai masalah sistemik, bukan hanya sebagai perilaku individu. Korupsi tidak hanya berkaitan dengan individu yang terlibat, tetapi juga dengan faktor-faktor struktural, budaya, dan institusional yang mempengaruhi tingkat korupsi dalam suatu sistem.
3.Peran Transparansi: Salah satu elemen kunci dalam penerapan Teori Klitgaard adalah meningkatkan transparansi. Dengan membuat proses keputusan dan tindakan lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, kesempatan untuk melakukan korupsi dapat dikurangi. Transparansi dapat mencakup aspek-aspek seperti publikasi anggaran, pengadaan barang dan jasa, kebijakan publik, dan keuangan publik.
4.Pengawasan dan Akuntabilitas: Teori Klitgaard menekankan pentingnya memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas untuk mencegah dan mendeteksi tindakan korupsi. Ini termasuk pengawasan internal dan eksternal yang efektif, audit yang independen, pengaduan dan whistleblower protection, serta proses penegakan hukum yang tegas.
5.Peran Insentif dan Deterrence: Teori Klitgaard mengakui pentingnya menerapkan insentif yang tepat dan memperkuat efek deterrence untuk mengurangi motivasi melakukan korupsi. Insentif yang tepat dapat mencakup penghargaan untuk perilaku integritas dan kepatuhan, sementara hukuman yang tegas dan adil dapat mempengaruhi persepsi risiko dan mencegah tindakan korupsi.
6.Pendekatan Multisektoral: Teori Klitgaard dapat diterapkan di berbagai sektor, termasuk sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil. Dalam penerapannya, kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, bisnis, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil sangat penting untuk mencapai hasil yang efektif dalam mengendalikan korupsi.
7.Adaptasi Kontekstual: Penerapan Teori Klitgaard harus disesuaikan dengan konteks dan karakteristik unik dari setiap negara, sektor, atau lingkungan. Tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua situasi. Oleh karena itu, adaptasi dan penyesuaian harus dilakukan dengan mempertimbangkan tantangan dan kebutuhan spesifik setiap entitas.

Kesimpulan mengenai penerapan Teori Klitgaard dalam kasus korupsi Meikarta adalah sebagai berikut:
1.Diskresi yang tinggi: Kasus korupsi Meikarta menunjukkan adanya tingkat diskresi yang tinggi di kalangan pejabat terkait. Diskresi yang besar memberikan peluang bagi pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka dalam proses perizinan dan pengawasan proyek Meikarta.
2.Godaan yang besar: Faktor godaan juga memainkan peran penting dalam kasus korupsi Meikarta. Godaan dalam bentuk suap, gratifikasi, atau keuntungan pribadi lainnya telah mempengaruhi beberapa pejabat terkait untuk melanggar prosedur dan melibatkan diri dalam praktik korupsi.
3.Pemantauan yang lemah: Salah satu faktor yang memfasilitasi kasus korupsi Meikarta adalah kurangnya pemantauan dan pengawasan yang efektif. Kurangnya kontrol internal dan eksternal, serta kerentanan sistem pengawasan, memungkinkan praktik korupsi terjadi tanpa terdeteksi.
4.Kurangnya transparansi: Kasus Meikarta juga mengungkapkan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan perizinan. Kurangnya akses terhadap informasi yang akurat dan jelas memungkinkan praktik korupsi dan manipulasi dalam proses perizinan proyek.
5.Perlunya penegakan hukum yang tegas: Dalam menangani kasus korupsi Meikarta, penegakan hukum yang tegas dan adil sangat penting. Pentingnya independensi lembaga penegak hukum, penyelidikan yang mendalam, dan penuntutan terhadap para pelaku korupsi dalam kasus ini untuk memberikan efek jera dan memastikan keadilan.
6.Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas: Penerapan Teori Klitgaard dalam kasus Meikarta membutuhkan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan dan pengawasan proyek. Hal ini meliputi peningkatan publikasi informasi terkait perizinan, pelibatan masyarakat dalam pengawasan, dan peningkatan mekanisme pengaduan dan whistleblower protection.
7.Pemberantasan korupsi secara sistemik: Kasus Meikarta menggarisbawahi perlunya pendekatan yang menyeluruh dalam pemberantasan korupsi. Selain mengusut tuntas kasus individual, langkah-langkah perbaikan sistemik harus diambil untuk menghindari terjadinya praktik korupsi serupa di masa depan.

Dalam kasus korupsi Meikarta, penerapan Teori Klitgaard dapat memberikan panduan dan kerangka kerja untuk menganalisis faktor-faktor korupsi yang terlibat serta merumuskan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang lebih efektif dalam mengatasi korupsi dalam konteks proyek pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun