Mohon tunggu...
Ryan Sugiarto
Ryan Sugiarto Mohon Tunggu... -

Lelaki yang (tidak) biasa, suka mengutak-atik kata, merangkai kalimat untuk melawan lupa. Silahkah singgah di www.ryansiip.tk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tertawa Sebelum Ramadhan Pergi

31 Agustus 2010   04:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramadhan adalah bulan dengan beragam tafsir. Begitulah kiranya memaknai bulan ini. Ada yang menafsir bulan suci, bulan penuh hikmah, bulan pengampunan, bulan pembelajar, bulan lemahnya setan, bulan tauladhan, bulan pahala, bulan ibadah, bulan seribu bulan. Barangkali juga ada yang menafsir bulan konsumerisme, bulanbermalas-malasan, juga bulannya lelucon. Yang terakhir ini tengoklah tayangan televisi selama ramadhan. Sebagian besar didominasi oleh leluconan. Dari sekian televisi swasta, tayangannya lebih banyak lawakan-lawakan. Saatnya Ramadhan, Saatnya Tertawa

Pada jam-jam berbuka dan, terutama, sahur, dari chanel satu ke lainnya yang kita jumpai adalah parade komedi. Tayanganyang tidak beranjak dari tahun ketahun. Tengoklah Trans TV, TV7, RCTI, TPI, ANTV, Global, televisi swasta nasional yang menenteng parade lelucon dalam mengisi ramadhan mereka dan pemirsanya. Mulai dari Saatnya Kita Sahur Trans TV, Pesiar Sahur nya TPI, Wira-wiriRamadhan dan Sahurnya OVJ Tran7 dan lainnya.

Hanya ada satu dua televisi yang juga konsisten memberikan tontonan yang lebih. Metro tv konsisten dengan tayangan yang informatif dan mendidik, Tafsir A-Mishbah, misalnya. SCTV pun demikian, melalui sinetron musimannya, Para Pencari Tuhan jilid 4, sinetron yang menggambarkan realitas kehidupan masyarakat kita, yang biasa ditemui oleh kebanyakan rakyat bangsa ini.

Televisi kita, diluar dua yang terakhir itu, dari tayangan untuk waktu buka dan sahur, saya kira memaknai ramadhan itu bulan kelucuan. Tanpa bermaksud merendahkan hal-hal yang lucu, seni lawakan, komedi, dan seni tawa, saya melihat televisi kita berlebihan memberi porsi lawakan. Tayangan-tayangan khusus ramadhan mereka sebagian besar didominasi oleh pelawak-pelawak yang dikemas sedemikian rupa, meski tak jarang asal-asalan. Pertanyaannya kenapa ramadhan dianggap lucu? Atau mengapa tayangan lelucuan itu banyak mendominasi? Yang tahu persis jawabannya tentu pengelola televisi yang bersangkutan.

Tetapi dari beberapa pengisi acaranya menyiratkan jawaban itu, : “menghibur di bulan ramadhan ini kan berpahala dan bernilai ibadah”. Ada anggapan bulan ini adalah bulan yang berat, sehingga perlu suguhan lucu agar tiada terasa berat. Barangkali bulan ini dianggap sebagai bulan yang teramat serius, sehingga tayangan lelucon akan mencairkannya? Persoalannya benarkah anggapan itu? Sungguh beratkah bulan ini hingga perlu lelucon yang hilir mudik setiap hari? Yang jelas dari tayangan-tayangan tadi, ramadhan adalah bulan berkah bagi pelawak, komedian. Atau pekerja sinetron yang mendadak jadi pelawak, dengan lelucon sekenanya.

Pertanyaannya mengapa televisi begitu cinta mengisi ramadhan dengan lawakan?Dan mengapa pula begitu setia menayangkannya dari ramadhan ke ramadhan. Adakah bangsa kita ini bangsa yang lucu? Atau sebaliknya bangsa ini adalah bangsa yang murung, yang lalu para kreatif televisi menyajikan lelucon agar tersungging senyum?

Mungkin juga tayangan-tayangan semacam ini terilhami dari satu lelucon pula. Tertawalah kamu agar kamu lupa akan laparmu. Jika dimaknai demikian kita sungguh miris dengan para kreatif televisi itu. Bulan puasa bukan bulan untuk melupakan lapar. Justru bulan untuk belajar dari lapar. Sebab dengan begitu empathi kita kepada kemiskinan akan didapat. Bukankah demikian salah satu tujuan berpuasa?

Tayangan seragam selama bulan puasa ini perlu dikaji ulang. Tidakkah kreatif televisi bisa membidik hal-hal yang lebih serius tapi santai untuk mengiringi ramadhan. Tidak berlebihan jika Meto TV dan SCTV memberi hikmah pada bulan yang penuh hikmah ini dengan tayangan-tayangan yang mendidik dan tidak “norak”.

Lelucon akan mengalami puncaknya pada hari raya nanti. Seperti ramadhan sebelumnya, tayangan ramadhan televisi akan dipungkasidengan parade lelucon dengan jam yang lebih panjang lagi. Barangkali semakin gencar adagium televisi: tertawalah sebelum ramadhan habis. Jika begitu, kemenangan (atau kekalahan?) perlu ditertawakan. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun