Mohon tunggu...
Ryan Sugiarto
Ryan Sugiarto Mohon Tunggu... -

Lelaki yang (tidak) biasa, suka mengutak-atik kata, merangkai kalimat untuk melawan lupa. Silahkah singgah di www.ryansiip.tk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nazar Sebagai (Ilmu) Pengetahuan

24 Agustus 2010   04:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namanya Suta, waktu remaja ia berkeinginan keras dalam hatinya, lalu bernazar kepada Allah:" Ya Allah Jika sekiranya Engkau mengabulkan permohonan hamba, Hamba ingin bisa kuliah di Universitas Indonesia, kelak. Jika engkau mengabulkannya,ya Allah, hamba akan mengurusi masjidmu dengan senang hati"

Nazar itu ia ucapkan saat umurnya masih 16 tahun, ketika ia masih duduk di bangku SMA.Lalu ia belajar dengan keras. Dan berpikir bagaimana caranya agar masuk UI tanpa tes. Selain buku-buku diktat di bangku sekolah, ia lahab buku-buku umum. Sebelum berangkat sekolah ia mengantarkan koran-koran untuk pelanggannya.Pulang sekolah ia jualan koran sore. Ia ingat betul kata-katanya itu, dan ingin menemui kata-katanya itu kelak. Benar, Allah mendengar doa dan usaha keras Suta. Kini selama 4 tahun ini, ia menjadi takmir masjid di seputaran Depok tanpa dibayar. Bersama beberapa temannya ia telah merintis sebuah usaha.

Kami bertemu saat menunggu kereta kota menuju Jakarta. Beberapa hari sebelum ia yudisium dari fakultas ekonomi. Wajahnya yang berseri-seri menyiratkan sikap optimisnya terhadap hidup yang akan diarunginya setelah lulus kuliah. Sayatak sempat bertanya apakah ia sudah membuat nazar untuk masa depannya yang lain.

Tepat seperti itulah, barangkali, semestinya kita memaknai sebuah nazar. Membangun kesadaran kita untuk menggunakan "perangkat-perangkat" agama melapisi titian perjalan hidup manusia. Kesadaran itu membangun optimisme, merancang masa depan yang sejatinya tidak pasti. Nazar adalah bagian dari cara merayu Allah untuk memastikan masa depan seperti apa yang kita harapkan kepadaNya. Sebab hanya di tangannya segala kepastian.

Nazarsebagai kesadaran membukakan pandangan kita selama ini tentang konsep yangmengurat dalam masyarakat kita yang saya sebut sebagai "nazar keceplosan", yang cenderung menjadi taruhan terhadap diri sendiri. Nazar sebagai kesadaran membalikkan "nazar keceplosan". Bahkan pada titik tertentu nazar, bisa kita dorong menjadi sebuah ilmu. Sebab di dalam konsepnya yang sederhana "Jika X,maka Y" terdapat detail yang sungguh indah dan mengagumkan sebagai sebuah pengetahuan. Buku ini mencoba menerakan kepada kita semua tentang detail nazaritu.

Nazar seperti ungkapan suta tadi memberikan motivasi yang luar biasa. Kata-kata yang hendak dibuktikannya adalah kata-kata yang ia lepaskan pada waktu lampau, dan ia berusaha mengejarnya. Kata-kata itu memiliki kekuatan sendiri yang semestinya kita sadari sebagai sebuah cara menggapai mimpi kita. Apa lagi kata-kata yang sudah kita ikatkan pada Allah sang pemilik ijabah. Dalam nazar kata-kata adalah senjata yang selalu mengingatkan kita untuk tetap bersungguh-sungguh dalam memelihara keinginan dan berusaha dengan keras mendapatkannya.

Dengan demikian pada fase yang lain nazar adalah etos itu sendiri. Oleh sebab ia menberikan semangat, motivasi, dan sekaligus pada saat yang sama adalah kepasrahan doa kepada sang pengabul segala permohonan. Didalam nazar ada ramuan antara niat, ikrar,doa, kerja keras, ke-ijabah-an Allah, dan tentu saja kewajiban. Ramuan itulah yang bekerja pada diri manusia untuk meyakini bahwa lewat nazar sesungguhnya keinginan yang kita impikan sedang dalam "jalan" keterkabulan. Nazar memberikan kegairahan yang indah pada setiap upaya pencapaian cita-cita. Ia mengisi kekosongan sikap manusia dalam keduniaan, mengisinya dengan kegairahan. Bukankah kebahagiaan itu bersumber dari kegairahan menjalankan kehidupan yang sungguh pasang surut ini?

Saya kira tidak berlebihan jika menyebut nazar adalah managemen keinginan. Mengingat sepanjang hayat manusia keinginan adalah fitrah yang melekat padanya. Keinginan bisa bergerak ke arah baik, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, maupun sebaliknya bergerak menjauhi sang pencipta. Maka nazar menjadi tepat untuk mengelola keinginan-keinginan yang selalu timbul dalam hati manusia. Nazar menyediakanseperangkan cara dan "laku" yang mesti dilakukan manusia untuk membujuk Allah agar keinginan kita terlaksana. Sebab nazar bukan semata-mata kata-kata yang diucapkan, lalu bersikap acuh, dan terserah apakah Allah mengabulkannya atau tidak. Nazar bukanlah legitimasi untuk bermalas-malasan, tetapi nazar adalah mentalitas untuk bersungguh-sungguh. ManJadda wa Ja da. Dengan begitu sesungguhnya manusia sedang mempelajari rahasia doanya sendiri.

Pada bagian selanjutnya dari buku ini menautkan bagaimana nazar itu berimplikasi pada kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Bertautan dengan priabadi, nazar itu bersifat persiapan. Kerja keras. Apa yang dilakukan oleh suta, dalam awalan tulisan ini adalah bukti akan pernyataan ini. Suta menjadikan nazar sebagai persiapan untuk visi kedepan. Nazar menempatkan visi manusia dalam rentangan rencana yang linear. Dalam rentangan itu, nazar menyuguhkan manusia pada kehidupan yang terukur. Termasuk kemudian bagaimana nazar mengajarkan tentan gpentingnya mengendalikan diri, terutama kata-kata. Muara dari itu saya kira adalah bagaimana pelaksanaan nazar bisa menuntun manusia pada arah kebahagiaan hidup yang indah. Perpaduan yang seimbang antara ruhaniah dan badaniah.

Pada titik lainnya, terijabahnya nazar memperlihatkan dan mengingatkan manusia tentang kepercayaan yang telah diberikan Allah kepadanya. Sebagaimana seharusnya kita sadari bahwa dalam awal mula penciptaan manusia, kepercayaan allah itu sudah disandangkan kepada manusia untuk mengelola bumi dan alam semseta. Nazar menggugah ingatan kita yang kadang-kadang meragukan kepercayaan itu. Sekaligus menyadarkan kita untuk kembali mengemban kepercayaan yang seringkali kita tanggalkan dari tugas kehidupan kita.

Dan persambungan lainnya membawa kita pada makna keshalehan sosial yang semsetinya bisa dikembangkan kaum muslim dalam bernazar. Keleluasaan Allah yang membebaskan manusia untuk memilih kewajiban nazarnya selayaknya dikembalikan pada kemaslahatan sosial. Bukan malah memilih kewajiban yang individual nan egois, atau malah kewajiban yang menyiksa diri.

Mengakhir tulisan ini saya ingin mencuplikkan, satu cerita sejarah nabi tentang nilai kesalehan yang mesti dicapai oleh manusia. Dalam sebuah hadis diceritakan, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Kanjeng Nabi. "Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa."

"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Kanjeng Nabi lagi.

"Kakaknya,"sahut sahabat tersebut.

"Kakaknya itulah yang layak disebut saleh," sahut Kanjeng Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya. Ukuran kesalehan,dengan begitu, menjadi lebih jelas diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan,jadinya, lalu dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial.

Sudah semestinya pilihan kewajiban nazar kita arahkan untuk menjawab dinamika kehidupan yang sungguh timpang ini untuk kemaslahatan sosial. Bukankah nilai seseorang itu adalah jika ia juga bemanfaat untuk sesama? Dan bukankah dengan begitu manusia sedang berada pada titian jalan sufi? []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun