Mengakhir tulisan ini saya ingin mencuplikkan, satu cerita sejarah nabi tentang nilai kesalehan yang mesti dicapai oleh manusia. Dalam sebuah hadis diceritakan, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Kanjeng Nabi. "Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa."
"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Kanjeng Nabi lagi.
"Kakaknya,"sahut sahabat tersebut.
"Kakaknya itulah yang layak disebut saleh," sahut Kanjeng Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya. Ukuran kesalehan,dengan begitu, menjadi lebih jelas diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan,jadinya, lalu dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial.
Sudah semestinya pilihan kewajiban nazar kita arahkan untuk menjawab dinamika kehidupan yang sungguh timpang ini untuk kemaslahatan sosial. Bukankah nilai seseorang itu adalah jika ia juga bemanfaat untuk sesama? Dan bukankah dengan begitu manusia sedang berada pada titian jalan sufi? []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H