Pukul 3 pagi di Yogyakarta, fajar belum tiba. Anak-anak muda masih setia bertukar tawa di sekitaran Tugu Pal Putih yang tersohor itu. Sementara tak lebih dari seratus meter di sebelah barat, puluhan pedagang Pasar Kranggan sudah terengah-engah menyiapkan dagangan mereka.
Dari sana, suara tawa anak muda itu bersaing dengan suara nafas nenek-nenek pedagang yang memburu. Berpuluh-puluh tahun suara mereka bersaing, tanpa ada yang memenangkannya. Apa sebab? Suara mereka segera kalah digantikan suara tawar menawar harga barang dagangan yang sudah terjadi sejak di pintu masuk pasar. Riuh sekali.
Adakalanya mereka bersuara keras dan bernada tinggi, tapi tak ada satupun yang menaruh dendam. Bagi para pedagang pasar dan tengkulak yang datang, menawar harga bukanlah ajang menjauhkan rezeki satu sama lain. Menawar harga adalah cara mereka menghargai eksistensi mereka satu sama lain. Dalam kata-kata “Kurangi” dan “Durung bathi” (bahasa Jawa: belum ambil untung) mereka saling menemukan realitas diri.
Beberapa waktu lalu Pasar Kranggan mengalami revitalisasi. Pedagang rela bergantian berjualan di luar pasar untuk sementara waktu dengan fasilitas yang terbatas. Saat itu, tanpa libur panjangpun kawasan sekitar Tugu Pal Putih terhitung padat pada jam-jam sibuk. Toh tak lama kemudian pedagang kembali masuk pasar dengan lantai putih bersih dan jauh dari kesan kumuh seperti puluhan tahun sebelumnya.
Sebagai cucu pedagang pasar, penulis termasuk menjadi saksi bagaimana nyala mata nenek tatkala bicara soal pasar. Soal perjuangan dari pedagang keliling hingga akhirnya punya losdi pasar. Soal berangkat subuh dan pulang setelah petang. Termasuk soal langganan-langganan yang masih setia berbelanja sembako hingga akhirnya minimarket-minimarket berjejaring berjejalan di kota kecil ini.
Serbuan pasar modern tersebut tak bisa dibendung oleh pedagang pasar. Satu-satunya yang bisa diharapkan dari mereka adalah pembeli setia yang sejak dulu berbelanja kebutuhan dapur di pasar rakyat ini. “Kalah modal” adalah jawaban yang seringkali muncul ketika bicara soal persaingan antara pasar rakyat dengan pasar modern dengan berbagai jenisnya itu.
Berjejaring adalah Kita
Barangkali benar, para pedagang pasar rakyat memang memiliki modal dan aset yang tidak seberapa dibanding pemilik-pemilik minimarket tersebut. Bahkan kalau perlu dikatakan, dua hal tersebut sebenarnya tak cukup sebanding untuk dibandingkan. Namun realitanya, dua hal tersebut bersaing hingga pemerintah perlu turun tangan membuat peraturan soal perizinan lokasi berdirinya pasar modern.
Namun jika kita kritis bertanya, realitas macam apa yang ditawarkan oleh tempat-tempat tersebut selain nilai-nilai modernitas? Kita dihadapkan pada keseragaman, mulai dari tata letak barang dagangan hingga cara pegawai toko menyapa pembelinya. Seakan-akan kita dibuai oleh kemudahan kita dalam mencari barang di tempat yang bersih, dan dengan sapaan ramah yang diucapkan sama dan bersama-sama.
Jika dibalik, realitas macam apa yang ditawarkan pasar rakyat kepada pembeli? Penulis mengusulkan satu hal yang sekiranya penting,yaitu kesadaran bahwa pembeli berada dalam sebuah sistem yang mandiri. Sistem itu dimulai dari petani yang menjual langsung hasil pertanian mereka kepada pedagang di pasar, misalnya sayuran. Tatkala pembeli mendapatkan sayuran itu dari pedagang, mereka mendapatkan kesadaran bahwa dirinya adalah mata rantai yang dekat dengan kerja para petani tersebut.
Artinya, akan muncul sifat berjejaring, bahwa apapun yang terjadi pada para petani tersebut akan berdampak pula pada dirinya. Berjejaring kemudian menjadi ke-salingbergantung-an; sekaligus independensi. Satu mata rantai yang lepas akan memengaruhi kerja sebuah sistem, kendati tidak akan langsung menghancurkannya. Sedangkan independensi itu menjadi nyata ketika tanpa suntikan modal investor-investor besar pun kita sudah mampu mandiri memenuhi kebutuhan dasar kita.
Dengan kata lain, kita diajak untuk turut menjadi bagian dari mata rantai kehidupan manusia yang seutuhnya. Kita diajak untuk berperan dalam upaya saling menyejahterakan, bekerja sama untuk menjaga keseimbangan di tubuh sosial kita. Persis aktivitas alam yang terus menyeimbangkan dirinya.
Kesadaran semacam ini barangkali akan lebih sulit dirasakan tatkala kita berbelanja di pasar modern yang secara tak langsung memotong rantai mata tersebut. Kita tak perlu tahu sayuran ini berasal dari petani di daerah mana. Kita memilih sayuran tanpa bicara dengan penjual (atau pekerja toko tersebut), lantas kita bawa ke kasir untuk kita tukar dengan sejumlah rupiah. Relasi personal yang ada di pasar rakyat berubah menjadi sekadar relasi transaksional di pasar modern, tak kurang dan tak lebih.
Bahaya yang mungkin saja terjadi dari sistem pasar yang seperti ini adalah tenggelamnya kesadaran diri kita sebagai sebuah mata rantai yang tidak boleh putus. Berbelanja di pasar rakyat bukanlah sekadar transaksi nilai ekonomi, tetapi sebuah wujud nyata kepedulian kita sebagai aktor sosial.
Hari Pasar Rakyat Nasional tentu tidak akan serta merta mengubah sistem yang saat ini sudah diamini oleh beragam kepentingan besar. Setidaknya melaluinya, layaknya Hari-Hari Nasional lain, kita bisa mengingat bahwa sebenarnya kita adalah bagian dari sistem yang mandiri. Kemandirian rakyat haruslah dirayakan.
Sementara itu, keriuhan mesin dan klakson mobil di Pasar Kranggan menjadi alarm anak-anak muda untuk pulang beristirahat setelah semalaman membuka mata di kawasan Tugu Pal Putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H