Dengan kata lain, kita diajak untuk turut menjadi bagian dari mata rantai kehidupan manusia yang seutuhnya. Kita diajak untuk berperan dalam upaya saling menyejahterakan, bekerja sama untuk menjaga keseimbangan di tubuh sosial kita. Persis aktivitas alam yang terus menyeimbangkan dirinya.
Kesadaran semacam ini barangkali akan lebih sulit dirasakan tatkala kita berbelanja di pasar modern yang secara tak langsung memotong rantai mata tersebut. Kita tak perlu tahu sayuran ini berasal dari petani di daerah mana. Kita memilih sayuran tanpa bicara dengan penjual (atau pekerja toko tersebut), lantas kita bawa ke kasir untuk kita tukar dengan sejumlah rupiah. Relasi personal yang ada di pasar rakyat berubah menjadi sekadar relasi transaksional di pasar modern, tak kurang dan tak lebih.
Bahaya yang mungkin saja terjadi dari sistem pasar yang seperti ini adalah tenggelamnya kesadaran diri kita sebagai sebuah mata rantai yang tidak boleh putus. Berbelanja di pasar rakyat bukanlah sekadar transaksi nilai ekonomi, tetapi sebuah wujud nyata kepedulian kita sebagai aktor sosial.
Hari Pasar Rakyat Nasional tentu tidak akan serta merta mengubah sistem yang saat ini sudah diamini oleh beragam kepentingan besar. Setidaknya melaluinya, layaknya Hari-Hari Nasional lain, kita bisa mengingat bahwa sebenarnya kita adalah bagian dari sistem yang mandiri. Kemandirian rakyat haruslah dirayakan.
Sementara itu, keriuhan mesin dan klakson mobil di Pasar Kranggan menjadi alarm anak-anak muda untuk pulang beristirahat setelah semalaman membuka mata di kawasan Tugu Pal Putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H