Bapak tadi lalu menjawab: "Iya, Mas. Sementara musala untuk kalangan kami dulu nggih." Malas berdebat, saya pakai sepatu lagi. Saya tetap tak habis pikir, kenapa musala yang biasanya boleh dipakai siapa saja, hari itu terjadi eksklusivitas.
Saya pakai sepatu sambil mikir, tentu ditambah mangkel. Saya tidak kunjung temukan penjelasan logis.
Dengan bersungut-sungut, saya turuti kemauan si bapak. Saya putuskan salat di masjid. Di saat itulah, mungkin karena melihat ekspresi saya, ia meneruskan kalimatnya yang terpotong,: "Maaf ya, Mas. Jadi sebenarnya di kantor kami baru selesai rapid test dan ada pegawai yang reaktif.."
Muka saya yang tadinya berurat kaku, spontan melunak. Jengkel pun luntur. Ternyata sebabnya itu.
Saya yang sebelumnya merasa didiskriminasi, justru sekarang merasa diselamatkan. Saya yang menggerutu, menjadi bersyukur.
"Oh begitu njih, Pak. Siap. Matur nuwun sudah diinfo, Pak". Saya bergegas ke masjid dengan hati lega.
***
Fragmen kisah nyata yang saya alami memiliki latar belakang, sehingga terjadi sebagaimana tertutur di atas. Si bapak melarang karena alasan tertentu, saya hampir marah juga karena ada sebab.
Saya hampir marah karena yang biasanya salat di mana saja boleh, siang itu dilarang. Saya begitu karena tak bisa berpikir jernih. Di tengah pandemi yang hampir setahun, seharusnya saya bisa menduga ada sesuatu yang terkait dengan itu. Tapi, gagal.
Saya tarik kembali ke belakang, mengapa pikiran saya gelap dan keruh. Satu, mungkin karena pikiran saya penuh rangkaian pekerjaan yang harus diselesaikan. Masih ada agenda rapat beruntun dengan waktu yang ditunda. Pun, ada jadwal lain yang memiliki tenggatnya masing-masing. Oleh karenanya, bisa dibilang saya sedang bunek. Kalut.
Dua, teringat, saya hari itu tidak sarapan. Sampai sesiang itu perut saya hanya kemasukan minuman. Saya lapar. Karena lapar, saya emosional. Dan itu ilmiah.