Setelah disela beberapa tulisan bertema lain, tulisan Perjalanan Karierku sebagai Gitaris akhirnya mendapat alasan dan momentum untuk dilanjutkan. Silakan menuju tulisan pertama agar mendapat alur yang utuh.
Jadi, usai lancar memainkan Mahadewi, Semua Tak Sama menjadi destinasi berikutnya. Lagi-lagi lagu PadI. Saat itu, lewat album Sesuatu yang Tertunda, PadI berada di puncak ketenaran dan kreativitas. Hits-nya wira-wiri di televisi, radio, pusat belanja elit, dan lapak kaset bajakan di pasar yang kumuh.
Di masa melancarkan genjrengan Semua Tak Sama bersama Mas Agus Vogel, pada suatu Sabtu yang libur, Bapak pamit ke Semarang. Tak ada yang patut dicurigai, karena hal biasa. Beliau beli apa-apa di sana.
Sore hari, ditentenglah sebuah kardus yang secara konstruksi asing di mata. Bentuknya belum pernah tersapu pandangan. Ganjil dan tak teridentifikasi.
Kardus berbentuk segitiga berujung tumpul. Saya menerka-nerka dan tak menemukan jawaban apa rupanya.
Sesampai di ruangan, tanpa sabar menunggu, kardus langsung dibuka. Dan, Yaaa Tuhan seru sekalian alam, sebuah gitar!
Saya belum pernah meminta, tiba-tiba apa yang didamba sudah ada di depan mata. Sebuah kejutan mengharukan.
***
Seingat saya, Bapak Ibu tak pernah menyinggung kebiasaan saya saban hari menyambangi kontrakan Mas Wignyo. Pun dengan aktivitas di sana yang tak jauh dari memegang dan diajari gitar.
Tapi ternyata, diam-diam beliau berdua mengamati dan menyusun rencana. Rasa-rasanya mereka iba pada anak lelakinya. Di samping mengasihani, mungkin dari sorot mata dan bahasa tubuh, terlihat antusiasme saya yang meletup-letup.
Gitar itu berwarna cokelat berkilau. Bau kayu dan catnya masih terendus. Sangat tajam dan tercium bau-bau barang baru. Sungguh tampan dan elok. Perwujudan karya seni prestisius.
Setelah memilikinya, gairah pada gitar semakin tidak terbendung. Penguasaan lagu baru semakin cepat. Bertambah banyak pula lagu yang bisa saya mainkan. Jika sebelumnya hanya bisa rhythm, naik kelas sedikit, saya jadi mampu memetik. Saat itu saya merasa keren sekali.
Naik kelas 3 SMP, gitar masih menduduki puncak perhatian. Ia masih rekat dalam pelukan. Bahkan, sampai muncul keyakinan, saya ini The Next Brian May.
Langkah menuju pencapaian itu nampak semakin terang. Keyakinan semakin membulat dan terlihat tak berpenghalang.
Entah bagaimana mulanya, muncul tawaran les privat gitar. Pengajarnya seorang warga baru --menantu tetangga yang rumahnya hanya selisih empat rumah di belakang kami.
Ia Mas Andi. Berambut gondrong tergerai, memakai gelang logam, dan berkemeja flanel. Tampilan yang sudah penuhi detail starter-pack seorang rocker. Tongkrongannya angker. Membuat saya ngeri.
Tetapi, dari Mas Andi, saya mendapat pelajaran mendasar. Saat ia mulai bertutur, luntur semua kekakuan dan keseraman yang menyelimuti. Ia ternyata bersuara lembut dan pelan dalam berkata. Casing-nya membuat salah duga.
***
Oleh Mas Andi, saya diajar gitar klasik. Ia datang sekali seminggu. Di Sabtu sepulang sekolah atau Minggu. Tergantung kapan bisanya. Karena ia masih berdomisili sekitar 30 menit dari rumah mertua.
Mas Andi bukan musisi karbitan. Ia lahir dari keluarga yang kuat tradisi musiknya. Persewaan audio system menjadi usaha keluarga sejak dua generasi lalu. Saat itu, selain seorang anak band dan pengajar musik, Mas Andi mengelola sebuah studio musik dengan alat-alat terbaik.
Mas Andi berkuliah di jurusan musik. Latar belakang pendidikannya terlihat saat ia menampilkan kemampuan. Lincah gerak jari tangannya membuat terpukau. Baru kali itu melihat secara langsung gitaris ber-skill menakutkan. Saya makin yakin tak salah memilih guru.
Jarinya seolah bermata. Dawai-dawai tak dibiarkan luput. Itu pun dilakukannya tanpa menunduk untuk melihat. Ia begitu sambil bicara demi mengajari saya.
Setelah menghabiskan dua buku gitar klasik, Mas Andi minta waktu bicara dengan Bapak. Mas Andi menyampaikan, jika ingin terus menekuni gitar klasik, tidak akan ada habisnya. Buku pelajaran gitar klasik menurutnya tersedia sampai ribuan seri.
Usai khatamkan dua buku, dirasa cukup oleh Mas Andi. Ia berkata, saya bisa mengikuti dengan baik dan pantas digiring ke tahap berikutnya. Mas Andi bilang, lebih baik saya bergeser ke gitar elektrik, dan menyarankan Bapak membelikan gitar elektrik sebagai sarana belajar.
Gitar elektrik disarankan dipelajari karena lebih lazim digunakan di dunia pertunjukan. Sederhananya, kalau mau ngeband ya pakai gitar elektrik. Kemudian, dua buku gitar klasik sudah pas menjadi dasar. Memang betul, dari dua buku, saya terbiasa membaca not balok. Telah bisa pula mainkan beberapa komposisi klasik dengan lumayan.
Saat Mas Andi meminta Bapak untuk belikan gitar, darah saya berdesir kencang. Impian menjadi The Next Brian May hanya berjarak sekian inchi di depan mata.
***
Ada jeda beberapa detik antara permohonan Mas Andi dan jawaban Bapak. Terjadi keheningan yang mencekam. Bapak menjawab dengan bercerita. Jika bermain musik tidak disertai dengan kesadaran dan kepandaian membagi waktu, akan merusak segala rencana.
Maksud Bapak, musik bisa membuat sekolah tak menjadi prioritas. Masalahnya, ada contoh nyata. Anak seorang temannya kuliah terhenti di tengah jalan.
Langsung, les privat dihentikan. Tak pernah ada cerita punya gitar elektrik.
Tentu keputusan Bapak mengecewakan. Sebagai anak SMP yang sedang semangat-semangatnya, lalu harapan pupus karena keputusan orang tua, tentu ada nggerundel dalam hati. Mimpi harus dikubur.
Setelahnya, gitar sekadar menjadi penghibur di sela sekolah. Tetap, saya tetap senang bergitar, tapi tidak semenggebu sebelumnya. Kekecewaan perlahan luntur, sedikit demi sedikit keputusan Bapak bisa diterima. Pasti beliau inginkan yang terbaik bagi anaknya.
Melompat ke kelas 2 SMA, terdengar ada sebuah studio musik baru dibuka. Ada juga les gitar elektrik di sana. Saya langsung tertarik dan mengunjunginya. Secara letak hanya 500 meter dari rumah.
Komunitas yang berkumpul di sana, rata-rata saya sudah mengenalnya. Si empunya juga orang yang asik diajak interaksi. Tinggal bertanya soal sosok yang mengajar gitar.
Ternyata, sang pengajar bukan orang yang sama sekali baru. Sejak kecil ia sudah sering dolan ke rumah. Ia lahir di rumah yang hanya berselang satu rumah dari rumah kami. Ia Mas Arif, putra Pak Badrun. Ia sohor sebagai Arip Badrun. Namanya mentereng di jajaran gitaris kelas kabupaten.
Memang, ia tumbuh menjadi gitaris ulung. Terakhir, saya mendengarnya berkiprah di sebuah grup musik yang cukup laris ditanggap.
Ringkas kata, saya benar-benar jadi murid Mas Arif. Kesampaian juga belajar gitar elektrik.
***
Studio musik dan les gitar tak cukup lama bertahan. Risiko bermusik di sebuah kota kecil; segala fasilitas, event, dan industrinya sangat cupet. Tak cukup kuat menahan hambatan, kandaslah akhirnya.
Saya naik kelas 3 SMA. Disibukkan dengan persiapan ujian akhir kelulusan. Ditambah memikirkan akan kuliah apa dan dimana.
Gitar semakin dikesampingkan. Walau sesekali tetap dipegang.
Penghujung SMA, di event perpisahan kelas 3, di sanalah puncak karier saya sebagai gitaris. Kami tampil ngeband. Saya bernyanyi Kita (Sheila on 7) sambil bergitar. Setelah itu, saya bergeser ke full gitaris saat memainkan Ku Tak Bisa (Slank). Sayang, penampilan itu tak terdokumentasi.
Justru, tingkat kekerapan bergitar jauh meningkat saat kuliah di Bogor. Di asrama dan kosan, bergitar dan bernyanyi bersama menjadi rutinitas.
Para perantau yang kesepian terhibur hanya dengan gitar dan nyanyi ala kadarnya. Gitar masih sama, gitar kejutan berumur lima tahun.
Saat tinggal dan bekerja di Yogya, gitar tetap menemani. Meski usia tak bisa berdusta. Ia terluka di segenap bagian. Bahkan, sudah timbul lubang-lubang karya rayap yang tak punya tata krama.
Gitar semakin menua dan bunyinya terdengar merana. Sudah ada keinginan menggantinya dengan yang baru. Tempat membeli ditetapkan. Merk dan nomor seri telah dipastikan.
Sampai kemudian, pada suatu minggu seseorang mengirim pesan WhatsApp: “Yan, minta alamat lengkapmu..”
Untuk apa, ia tak mau mengaku. Ia bilang tunggu wae. Membuat kesal saja. Tapi penasaran juga.
Keesokan harinya, saat berposisi di kantor, saya ditelpon kurir. Ia mengkonfirmasi alamat dan ternyata ia sudah di depan.
Dari kejauhan, terlihat sebentuk kardus yang tak lagi asing, seperti saat pertama melihatnya belasan tahun lalu. Jelas, itu sebuah gitar.
Gitar berwarna cokelat muda. Berspesifikasi di atas gitar yang direncanakan dibeli. Kokoh dan bersinar. Sangat impresif. Membuat jatuh cinta pada lirikan pertama.
Saat dipegang, terasa antep. Suara yang dihasilkannya jernih tanpa cela.
Desainnya ergonomis di rengkuhan. Ia enggan diletakkan. Langsung tercipta chemistry di antara kami.
Saya ketiban rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Baik betul si pengirim. Mana ia tak mau namanya di-share di manapun. Sungguh seorang yang mencapai taraf sufi.
Pokokmen, matur nuwun sanget. Lemah teles, Allah sing mbales..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H