Sebagaimana diketahui, sejak pilpres 2014 kemudian ditambah pilkada DKI tempo hari, potensi terpolarisasinya rakyat Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi. Kubu-kubuan memprihatinkan akhir-akhir ini. Apalagi belakangan sudah masuk pada sentimen agama dan ras yang sangat sensitif.
Terpolarisasinya rakyat Indonesia sangatlah berbahaya dan akan menjauhkan bangsa dari produktivitas. Karena yang diendapkan di kepala dan hati hanya permusuhan dengan saudara sebangsa dan sekelurahan sendiri. Yang dijadikan semangat bukanlah berkarya untuk kemajuan bersama tetapi justru ingin saling mengalahkan di antara elemen yang seharusnya saling bersinergi. Kalau sudah demikian, kapan kita dapat bersaing dengan bangsa lain?
Maksud saya, dengan munculnya insiden bendera terbalik, sebenarnya kita sedang dihadapkan pada "orang lain" yang dengan sukarela datang untuk kita musuhi bareng-bareng. Dengan adanya musuh bersama, potensi permusuhan di antara saudara sebangsa akan menipis, lalu konsentrasi dan energi akan disalurkan untuk memenangkan "perang" dengan negara lain. Dengan adanya musuh bersama, kita menjadi lupa bermusuhan dengan orang-orang yang seharusnya kita gandeng untuk bekerja bersama sesuai tagline tujuh belasan kemarin.
Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah rasa cinta dan sayang kita sudah sedemikian rendahnya sampai-sampai kita tetap saja ingin saling menghancurkan di antara saudara sendiri? Apakah rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa sudah sedemikian lunturnya sehingga kita membutuhkan orang lain untuk kita hancurkan bersama?
Maka, perlukah Malaysia kita jadikan musuh bersama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H