Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Kehidupan dengan Mengenang Chester Bennington

24 Juli 2017   14:30 Diperbarui: 28 Juli 2017   11:53 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Karena adanya MTV Indonesia, pecinta musik Indonesia di dekade 1990an -- awal 2000an mendapat referensi yang luas. Bunyi-bunyian nun jauh di pelosok Eropa dan Amrik mampu kita gapai gaungnya sampai pelosok Grobogan. Sampai-sampai saat itu saya merasa akrab banget sama Anthony Kiedis, Thom Yorke, personel Phantom Planet, Di-rect, Coldplay, KoRn, Limp Bizkit, Audioslave, dan Linkin Park. Mereka sudah saya anggap kakak-kakak saya sendiri, tanpa pernah peduli mereka menganggap saya sebagai apa..

Saat itu, saya yang duduk di bangku SMP mengidolakan Red Hot Chili Peppers, Limp Bizkit, Audioslave, dan Linkin Park. Soal dimana bagusnya musik yang mereka bawakan, itu urusan lain. Yang penting mereka terlihat keren saja, lalu saya idolakan. Sesederhana itu.

Musisi-musisi itu memiliki kehidupan yang mengasyikkan. Sudah nggantheng, jago musik, kaya raya, keliling dunia, diuber cewek, kostum panggungnya kece-kece, gear-nya keluaran terbaru hhhhh. Remaja alay tanggung mana coba yang tidak keimpi-impi..

Lha kok Chris Cornell (vokalis Soundgarden & Audioslave) tega-teganya tinggalkan kami yang idolakannya sejak awal akil baligh. Suara Cornell yang bindeng mirip orang dalam masa inkubasi pilek itu, menghiasi akhir-akhir SMP saya. Saya membeli kaset album pertama Audioslave karena kesengsem suara machonya, ditambah uniknya teknik bermain dan sound gitar Tom Morello.

Selain karena suaranya, Cornell ini juga 'kan orangnya laki banget. Mana jago bikin lirik puitik bak Eros Djarot pula. Rambutnya gondrong berombak rewo-rewo. Struktur wajahnya tegas, ditambah tatapan mata yang tajam. Rasanya pingin punya tampilan seperti dia waktu itu. Apa daya diri ini lebih mirip Ben Affleck..

Kalau Audioslave hanya diidolai oleh remaja-remaja tertentu dengan kuping berkelas seperti saya saja (uhuk!), musik Linkin Park (LP) saat itu masuk ke semua telinga anak muda. Saat itu, LP bisa dibilang grup paling terkenal. Semua teman-teman saya yang saat itu lebih biasa nyanyikan Sewu Kutha-nya Didi Kempot, tiba-tiba sok-sokannyanyiin Crawling. Padahal tiap Pak Petrus (guru bahasa Inggris) masuk, kelas seketika hening seperti dimasuki penunggu sekolahan paling seram.

Album Hybrid Theory LP memang berisi lagu-lagu bagus dan bergaya baru. LP membawakan genre yang cukup anyar saat itu, nu metal. Sebuah genre baru yang menggabungkan rap, rock, dan turn table dengan tokoh-tokoh utama Mike Shinoda, Chester Bennington, dan DJ Hahn. Sebenarnya ngga baru-baru amat sih genre itu, karena sebelumnya ada juga Limp Bizkit. Namun, LP lebih mereguk kesuksesan di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan karena saking yakinnya bakal datangkan duit gede, promotor akhirnya nanggap LP ke sini.

Belum rampung euforia kesuksesan Hybrid Theory, LP merilis Meteora yang kemudian telurkan hits seperti Somewhere I Belong, Numb, From The Inside, dan Faint. Saya yang tak mau ketinggalan, tentu punya kasetnya untuk melengkapi Hybrid Theory yang telah tersimpan rapi di lemari jati. Setelah itu, saya masuk SMA dan tiba-tiba MTV pergi dari Indonesia.

Karena MTV yang telah lama menjadi kitab suci referensi musik dunia pergi, maka sejak itu publik musik Indonesia kesepian. Sampai kemudian muncul Dahsyat, Inbox, dan format MP3 yang mendominasi. Lalu, musik-musik mendayu dengan produksi yang seperti seadanya menyerbu tanpa ampun. Tak ada lagi musik-musik bergizi dari MTV. Anak nongkrong berduka, karena LP dan kawan-kawan semakin jauh dari jangkauan.

Waktu itu, sejak kuliah saya masih memantau perkembangan musik melalui majalah Rolling Stone, walau belinya kalau ada berita dari musisi tertentu yang menarik. Layar musik dunia bagi saya masih tetap semarak, walau terlihat lamat-lamat. Kemudian waktu meloncat sampai di 2017 dan terdengar kabar LP keluarkan album lagi, One More Light.

Sebetulnya, setelah Meteora masih sesekali terdengar kiprah LP melalui album Minutes to Midnight dengan single What I've Done. Namun, LP bagi saya semakin membosankan. Musiknya menurut saya mengalami stagnasi, begitu-begitu saja, rap Shinoda ditingkahi teriakan Chester, dan gesekan vinyl DJ Hahn. Begitu terus sampai album-album berikutnya yang sama sekali saya tak tertarik. Ternyata, di tahun 2017 One More Light melalui Heavy dan Battle Symphony mampu kembali membuat saya menoleh ke LP. Chester di sini tampak lebih semeleh, ia tak lagi teriak-teriak seperti dulu sampai urat lehernya pathing pecothot. Lagu-lagu di One More Light terdengar lebih ngepop dan kental nuansa elektroniknya. LP seperti lahir kembali dan siap menghiasi hari-hari pendengarnya. Mereka pun kembali mendominasi puncak tangga lagu dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun