Media sosial (medsos) telah menjadi kebutuhan baru manusia di era informatika. Fungsi yang dulu ditunaikan surat dan telegram telah tuntas digantikan. Tugas merpati dan Pak Pos ditelikung habis-habisan. Medsos adalah fenomena jaman ini yang terus menarik untuk dilirik.
Fitrah medsos ialah sebagai sarana menjalin hubungan antar manusia. Lalu dalam perkembangannya, beragam medsos muncul dengan spesialisasi dan fungsi yang berbeda. Sebut saja medsos paling tersohor, Facebook. Facebook merupakan format medsos berbasis pertemanan. Ia piawai menampilkan diri sebagai media perjumpaan dengan kawan yang jauh dan lama tak bertegur sapa. Facebook seketika digemari di seluruh dunia dengan pengguna mencapai milyaran karena dengan tepat menjawab kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial.Konteks Indonesia, Facebook bahkan menjadi primadona. Facebook mampu menjembatani kebutuhan manusia Indonesia yang gemar bergaul dan menjunjung tinggi persaudaraan.
Berbeda dengan Facebook, Twitter menawarkan layanan berbasis informasi dan pengetahuan. Medsos yang didirikan Jack Dorsey dan kawan-kawan itu memiliki kekhasan pada terbatasnya karakter yang bisa dituangkan dalam kicauan. Di sanalah tantangannya, kita harus pandai-pandai mengatur kata per kata yang akan kita tulis. Jika dalam satu tweet dirasa kurang untuk menuangkan ide, maka kita tinggal produksi tweets berikutnya. Ora ilok menggunakan twitlonger.
Disusul kemudian lahir medsos berbasis foto bernama Instagram. Aplikasi berbagi foto dan dilengkapi filter edit itu pertama kali muncul di gawai ber-platform iOS dan Android baru bisa menikmatinya di awal 2012. Instagram menjadi sangat menarik karena kita bisa berbagi foto dan mendandaninya sesuka hati. Muncul Google+ dan Pinterest dengan format yang berbeda pula. Terserah pengguna akan menggunakan yang mana.
Nah, tentang pengguna medsos di Indonesia, ternyata ada keunikan yang ditangkap Dick Costolo, CEO Twitter, yang akhir Maret lalu datang ke Indonesia untuk berpromosi. Menurutnya, pengguna medsos Indonesia pantas disebut technologically sophisticated. Berbeda dengan pengguna di negara lain yang khusus menggunakan satu medsos, Para pengguna medsos di sini sangat cepat dalam mengadopsi berbagai macam media sosial dan memakainya secara bergantian setiap hari. Baru belakangan diketahui, pengguna di negara lain mengikuti gaya pengguna di Indonesia.
***
Menurut pengamatan pribadi saya, terdapat kecenderungan yang dapat disimpulkan tentang alur giliran puncak penggunaan medsos di Indonesia. Diawali Friendster yang ramai di sekitar 2005-2006, kemudian disusul Facebook antara 2007-2011, Twitter dan Instagram antara 2011-2014 dan terakhir Path mulai dua tahun lalu dan sekitar 2014 mencapai puncaknya sampai hari ini.
Path menawarkan sesuatu yang berbeda dengan media sosial lain. Path hadir dengan eksklusivitas. Awal kemunculannya, Path membatasi pertemanan maksimal sampai 150 orang. Namun tak lama berselang, ada revisi batas maksimal yang dinaikkan menjadi 500 orang.
Path hadir untuk mengisi ceruk yang tidak dihuni Facebook dan Twitter. Di Facebook dan Twitter, siapapun sebanyak apapun bisa berteman dengan kita. Dengan seperti itu otomatis kerekatan emosional menjadi lemah dan interaksi yang hangat sukar terjalin. Kelemahan ini terdeteksi oleh Dave Morin, Shawn Fanning dan Dustin Mierau, lalu ditawarkanlah jejaring sosial yang lebih intim. Path menyasar hubungan pertemanan dengan sahabat dan keluarga terdekat.
Angka 150 orang sebagai limit teratas pertemanan didasarkan pada hasil penelitian yang menyatakan manusia dapat menjalin hubungan pertemanan berkualitas baik hanyadenganrekan sebanyak itu. Jika kemudian dinaikkan batasnya menjadi 500 orang, saya rasa hanya tentang hitung-hitungan bisnis. Supaya lebih banyak yang bisa memakai Path. Sederhana saja..
Path menjadi unik dan menyenangkan karena menyediakan fasilitas yang sejauh ini tidak ditemui di medsos lain. Di Path, kita bisa menengok siapa saja yang telah melihat momen yang baru saja di-share. Menurut saya, inilah salah satu alasan mengapa pengguna Facebook dan Twitter beralih dan fokus di Path.
Sangat bisa dimengerti, semua orang butuh diakui eksistensi dan jati dirinya. Apa yang ia lakukan dan lalui ingin dianggap sebagai representasi diri. Saat Path bisa menampilkan berbagai momen (tulisan, foto, lagu, emosi, lokasi), sekaligus mengijinkan untuk dapat mengetahui siapa saja yang baru melihat, maka dengan segera orang mudah tertarik dan mencoba. Mudahnya, dengan fitur itu, kita menjadi puas ketika usaha berbagi momen sukses dilihat oleh beberapa teman yang dituju. Menyenangkan, sah-sah saja dan manusiawi. Karena hakikatnya, urip mung mampir pamer, yo rak?
Facebook, Twitter dan Instagram juga sangat lengkap menyediakan fasilitas untuk berbagi. Namun, kita ‘kan bertanya-tanya, saat tadi kita capek-capek nulis, berfoto, mengabarkan sedang di suatu tempat dan share lagu, apa iya ada yang melihatnya. Path tahu semua orang haus perhatian dan ego butuh diberi asupan, maka di sana kita tak perlu penasaran lagi, berhasil atau tidak dalam memenuhinya. Oleh sebab itu, tak jarang terlihat pengguna Path, begitu pun saya, yang mengetuk bulatan berisi angka untuk mengetahui siapa saja yang telah melihat momen. Ehehe ehehe..
***
Saya awalnya kurang begitu bergairah pada Path dan terus mencari dimana sih sisi menariknya. Sampai pada suatu ketika saya perlu mengingat waktu terjadinya suatu momen, namun tak tahu harus menggunakan alat bantu apa untuk menemukannya. Lalu teringat bahwa saat terjadinya momen itu ada satu lagu, foto atau kalimat yang saya tulis di jejaring sosial yang di awal 2014 menerima Bakrie and Brother’s sebagai salah satu investornya itu. Berhasillah saya mengingatnya.
Mulai dari sana saya sadar, Path bisa menjadi semacam buku harian. Path memenuhi syarat untuk dijadikan diary karena juga menyediakan tanggal dan jam momen itu di-share. Asyik sekali dan memenuhi kebutuhan saya yang sering ingin tahu apa saja yang selama ini telah terlewati, lengkap dengan detil waktu terjadinya.
Sebelum sadar terdapat fungsi yang sesuai untuk saya, tak jarang saya bertanya kenapa Twitter menjadi sepi dan banyak teman yang berpindah ke Path. Pernah juga saya berkata bahwa Path sebenarnya hanyalah Facebook yang menyamar. Namun, akhir-akhir ini saya semakin sering wira-wiri di Path dan menarik ucapan saya yang berbunyi: “Maaf Path, kamu tidak menarik!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H