Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Always", Karena Film Jepang Itu Bukan Hanya Anime atau JAV

25 Februari 2017   23:59 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 2529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tokyo jaman dulu dengan latar belakang tokyo tower yang setengah jadi (sumber gambar: ocada)

Jika menyebut film Jepang, orang pasti akan menyebut anime atau JAV.  Padahal di luar keduanya, film-film Jepang tak kalah bagusnya dengan film-film produksi negara lain, hanya saja gaungnya memang tidak begitu terasa di sini.  Maklumlah, kebanyakan film yang diputar di Indonesia saat ini merupakan produksi Hollywood.  Namun beberapa Kompasianer yang usianya sebaya dengan saya kemungkinan pernah mengalami masa di mana film Jepang pernah menghibur penonton (bioskop) sehingga saya bisa menyebut beberapa nama seperti Anna Nakagawa, Megumi Odaka, serta yang lebih senior lagi seperti Hiroyuki Sanada (yang lebih terkenal dengan nama Henry Sanada) dan Sonny Chiba.

Salah satu film Jepang yang sangat apik menurut saya adalah “Always San-Chome no Yuhi” yang di-Inggriskan dengan judul “Always : Sunset on Third Street” produksi tahun 2005 karya sutradara Takashi Yamazaki.

Nama Takashi Yamazaki sendiri mungkin kurang familiar di telinga sebagian kita, tapi tidak demikian dengan beberapa karyanya antara lain:

  1. Parasyte: Part 1 & 2 yang jika saya tidak salah merupakan versi live action dari anime Parasyte The Maxim.
  2. Stand By Me Doraemon, nah kita semua tahu film ini.

Di situs imdb.com sendiri, film “Always San-Chome no Yuhi” ini ternyata ada lebih dari satu.  Setidaknya saya menemukan film berjudul serupa yang diproduksi tahun 2007 dan 2012.  Apakah film ini dibuat sekuelnya?

Sinopsis

Mengambil setting masa-masa awal pembangunan landmark legendaris Tokyo Tower sekitar tahun 1958, ‘Always’ dibuka dengan percakapan seorang gadis Mutsuko Hoshino dengan teman-temannya di sebuah kereta api.  Gadis muda ini meninggalkan kampung halamannya dan mengadu nasib di Tokyo dengan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan otomotif.  Lamarannya diterima namun alangkah kecewanya Mutsuko ketika perusahaan yang mempekerjakannya ini hanyalah sebuah bengkel kecil milik Norifumi Suzuki.  Naasnya lagi, Suzuki-san, bosnya Mutsuko adalah seorang yang temperamental.

Sementara itu di depan bengkel kecil Suzuki berdiri sebuah toko kecil yang dikelola seorang bujangan Ryunosuke Chagawa.  Meski menjalankan bisnis, Chagawa punya mimpi menjadi seorang penulis terkenal.  Untuk itu ia sering mengirimkan karya-karyanya ke majalah meski lebih sering mendapat penolakan.  Seperti umumnya laki-laki Jepang, saat malam Chagawa menghabiskan waktu di kedai sake dan di sana ia diperdaya Hiromi Ishizaki - wanita cantik pemilik kedai – agar mau menerima Junnosuke Furuyuki, seorang anak berusia sekitar 7 tahun, anak sahabat Hiromi sewaktu wanita itu menjadi penari.

Hubungan antar tokoh di sini makin menarik dengan hadirnya Nyonya Suzuki dan anaknya, serta seorang dokter tua yang saya lupa namanya.

Bagaimanakah akhir film ini?

Apakah Mutsuko betah bekerja di tempat Suzuki setelah tahu bahwa tempat itu tidak sesuai harapannya?

Berhasilkah Chagawa menggapai impiannya?  Bagaimana hubungannya dengan Junnosuke dan Hiromi?

‘Always’, Film yang Humanis

Salah satu yang menarik perhatian di film ‘Always’ adalah latar belakang Tokyo Tower yang setengah jadi.  Di film ini, Tokyo Tower terasa dekat sekaligus jauh, terbayang bagaimana megahnya menara komunikasi tersebut.  Setting Tokyo di tahun itu juga membuat kita tersenyum.

Oh ternyata Tokyo jaman dulunya seperti ini….

tokyo jaman dulu dengan latar belakang tokyo tower yang setengah jadi (sumber gambar: ocada)
tokyo jaman dulu dengan latar belakang tokyo tower yang setengah jadi (sumber gambar: ocada)
Namun yang paling saya suka dari ‘Always’ adalah film ini mampu membangkitkan semacam rasa nostalgia pada masa lalu dimana semuanya terasa lebih sederhana.  Adegan yang sangat indah buat saya adalah saat keluarga Suzuki akhirnya berhasil mendapatkan sebuah pesawat televisi setelah penantian panjang (yang digambarkan melalui dialog betapa tak sabarnya anak keluarga Suzuki menunggu kiriman televisi yang tak kunjung datang).

Televisi adalah barang canggih pertama di rumah keluarga Suzuki juga bagi warga sekitar, sehingga suasana menjadi heboh.  Malam harinya, warga ramai-ramai menonton di rumah keluarga Suzuki lengkap dengan pidato pembukaan oleh Suzuki-san.  Jika saya tidak salah ingat, acara yang ditonton waktu itu adalah pertandingan olahraga (tinju mungkin).

Nah di sinilah piawainya sang sutradara.  Adegan menyalakan televisi yang buat kita sudah biasa, dijadikan adegan yang sangat menegangkan, kita jadi ikut deg-degan dan menebak-nebak apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Dan ternyata memang ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang bisa membuat saya tertawa.

Saya rasa adegan ini akan diingat oleh banyak penonton ‘Always’.

nonton tivi rame-rame, salah satu adegan memorable di film ini (sumber gambar: asianwiki)
nonton tivi rame-rame, salah satu adegan memorable di film ini (sumber gambar: asianwiki)
Selain itu ada satu scene lagi tatkala keluarga Suzuki mampu membeli sebuah lemari es.  Sebelumnya keluarga Suzuki menggunakan semacam lemari kayu yang diisi balok es untuk menjaga kesegaran makanan dan minuman, namun dengan hadirnya lemari es, lemari kayu itu tidak lagi diperlukan dan dibuang.  Adegan berikutnya memperlihatkan penjual balok es langganan keluarga Suzuki itu memandangi lemari kayu yang sudah dibuang itu dan menghela napas.  Melihat adegan itu saya tahu bahwa penjual balok es itu sudah kehilangan seorang pelanggan.

Di imdb sendiri, ‘Always’ yang di-rating 7.8/10 ini mendapat banyak review positif.

Film yang diangkat dari komik (manga) karya Ryohei Saigan ini sudah menggondol 29 penghargaan dari tahun 2005 hingga 2006 antara lain:

  1. Best Film dari Awards of Japanese Academy 2006
  2. Best Supporting Actress dari Blue Ribbon Awards 2006
  3. Best Supporting Actor dari Hochi Film Award 2006
  4. Best Film dari Kinema Junpo Awards 2006
  5. Best Cinematography dari Mainichi Film Concours 2006
  6. Best Supporting Actress dari Nikan Sports Film Awards 2005
  7. Best New Talent dari Yokohama Film Festival 2006

Jadi, apakah Kompasianer berminat menonton ‘Always : Sunset in Third Street?’

Oya, ada satu hal yang rasanya perlu saya beritahu.  Di film ini, Mutsuko sang tokoh utama dipanggil dengan nama ‘Roku’ oleh keluarga Suzuki.

Kenapa?

Untuk memahaminya, baiklah saya beritahu bahwa setiap huruf Kanji Jepang punya dua cara pengucapan yaitu Onyomi dan Kunyomi karena Kanji adalah huruf yang diimpor dari China.  Jika saya tidak salah ingat, Onyomi adalah pembacaan Kanji versi China, sementara Kunyomi adalah pembacaan Kanji versi Jepang.

Misal:

Huruf Kanji yang melambangkan angka 3 dibaca sebagai ‘san’ secara Onyomi dan ‘mittsu’ secara Kunyomi.  Nah, ‘san’ ini berasal dari ucapan China ‘san’ yang memiliki arti sama yaitu 3.

Nah, ‘roku’ adalah cara baca Onyomi sementara ‘mutsu’ adalah cara baca Kunyomi dari kanji yang melambangkan angka 6.  Secara kira-kira, Mutsuko diartikan sebagai ‘anak perempuan ke-6’ karena ‘ko’ adalah bentuk terikat yang umumnya disematkan pada perempuan Jepang (seperti ‘wati’ kalo di Indonesia) sementara untuk laki-laki umumnya menggunakan ‘ki’.  Mohon koreksinya jika saya salah.

Dan terakhir, mendengar nama Suzuki kita mungkin akan menduga bahwa itu adalah Suzuki yang pengusaha otomotif.  Benarkah?

Silakan menebak-nebak sembari menonton filmnya.

Referensi & Tautan Luar :

  1. Always – Sunset on Third Street Official Site (Japanese)
  2. Always – Sunset on Third Street (2005), IMDb
  3. Takashi Yamazaki, IMDb
  4. On’Yomi and Kun’Yomi in Kanji : What’s The Difference?, Tofugu
  5. Numbers in Japanese, Omniglot
  6. Numbers in Mandarin Chinese, Omniglot
  7. Mood for Nostalgia of Japan? Always Sunset on Third Street, Kikou Japan

Tulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun