[caption caption="ilutrasi (soompi)"][/caption]
Saya tidak tahu apakah kontroversi soal sensor terhadap tayangan yang memperlihatkan sebagian anatomi tubuh perempuan masih berlangsung saat ini karena saya sudah lama tidak menonton saluran televisi nasional. Satu-satunya info yang saya dapat berasal dari putri sulung saya (11 tahun) yang bilang seperti ini, “Ayah, kartun kan sekarang disensor. Masa’ Barbie (yang setting ceritanya di pantai sehingga si Barbie mengenakan bikini) disensor,” lanjutnya seraya bersungut-sungut. Matanya membelalak semakin lebar ketika saya beritahu bahwa katanya tokoh Sandy Cheek – si tupai di serial kartun Spongebob Squarepants pun disensor.
Kembali ke masa 19 tahun lalu sekitar tahun 1997. Saat itu status saya adalah karyawan baru di sebuah stasiun televisi swasta. Posisi saya adalah Video Editor.
Sebagai editor yang baru masuk, bulan pertama saya ditempatkan di offline editing yang lebih simpel peralatannya dibanding online editing (yang biasanya jadi tempat syuting film-film fiksi ilmiah karena terkesan canggih).
Begini sedikit penampakan mesin-mesin di ruang online editing :
[caption caption="rupa mesin online editing, canggih (dokpri menggunakan sony dsc p32)"]
[caption caption="rupa mesin online editing, canggih (dokpri menggunakan sony dsc p32)"]
Oke, kembali ke topik.
Salah satu job desc editor di offline editing adalah sensor. Di sini editor ‘hanya’ menjalankan tugasnya mengikuti kewenangan yang dimiliki seorang PD Sensor. Ia (PD Sensor) yang menentukan bagian-bagian mana yang harus disensor.
Namun meski namanya ‘sensor’, yang kami lakukan adalah membuang adegan-adegan yang dinilai provokatif dalam sebuah tayangan. Adegan-adegan yang tidak lolos tayang biasanya sbb :
- Orang merokok, apabila tayangan tersebut akan diputar sebelum jam 10 malam. Ini terkait dengan aturan pembatasan jam tayang iklan rokok. Iklan rokok hanya boleh diputar lewat jam 10 malam, begitu juga adegan orang merokok – termasuk asapnya.
- Adegan kekerasan yang digambarkan secara vulgar misalnya penusukan berkali-kali, menunjukkan bagian tubuh yang terpotong, darah muncrat, dll yang bersifat brutal. Poin ini jadi prioritas utama apabila tayangan tersebut akan diputar di jam-jam makan, ditambah hal-hal yang dianggap menjijikkan pun bakal dibuang. Ada yang siap makan siang sambil disuguhi tayangan tentang ingus? Selamat membayangkan.
- Kata-kata berupa makian, baik lokal maupun internasional. Untuk tayangan lokal, kata-kata seperti ‘tai’ dan ‘bangsat’ sudah pasti akan dihilangkan atau diganti dengan tune yang umumnya berbunyi ‘tit’ atau ‘tut’ – entahlah. Sementara untuk bahasa asing, saya rasa jelas, adegan orang mengacungkan jari tengah - kiri maupun kanan, pokoknya jari tangan - sambil mengucap [tiiit – sensor] sudah pasti akan dipenggal.
- Adegan seksual dan yang menjurus ke arah seksual – baik berupa kata-kata, bunyi-bunyian, bahasa tubuh, maupun adegan kissing.
SENSOR, SENSOR!
Nah, untuk poin 1 sampai 3 batasannya cukup jelas, beda dengan poin 4 karena parameternya subjektif. Untuk beberapa PD Sensor, adegan kissing masih ditoleransi apabila sekadar kecupan ringan, “cup!”, sementara beberapa orang lagi cukup keras aturannya, “Pokoknya nggak boleh ada orang ciuman. Titik!”
Beberapa orang masih meloloskan adegan bikini sepanjang tidak ada bouncing breasts (search sendiri lah artinya kalo nggak tau), sementara yang lainnya tidak.
Yah begitulah.
Mundur sedikit, di belakang PD Sensor ada departemen yang di tempat saya dulu bunyinya “Es En Pi”, saya lupa tulisannya apakah SNP atau S&P. Departemen inilah yang menentukan bagian-bagian mana saja yang harus disensor dari sebuah acara. Mereka inilah LSF-nya stasiun tempat saya bekerja.
Sebelum sebuah acara ditayangkan, departemen ini akan menonton keseluruhan acara tersebut untuk kemudian memberikan catatan (resmi) adegan mana saja yang tidak layak tayang. Jadi, kegiatan harian mereka seperti itu, nonton.
Apa nggak capek ya?
Departemen itu hanya menentukan adegan mana yang tidak layak tayang untuk selanjutnya memberi rekomendasi apa yang harus dilakukan; dibuang suaranya saja, dibuang suara dan gambarnya, atau gambarnya cukup ditutup saja.
- Untuk yang dibuang suaranya saja sudah cukup jelas, ucapan yang tidak pantas tak akan terdengar suaranya. Jadi kalo ada orang cuma ngomong ‘f**k!’ tanpa mengacungkan jari tengah, besar kemungkinan makiannya saja yang dihilangkan.
- Nah, apabila ada orang ngomong ‘f**k!’ sembari mengacungkan jari tengah, sudah pasti gambar dan suara akan dibuang.
- Untuk gambar yang ditutup saja biasanya berhubungan dengan identitas suatu produk yang tak sengaja tertangkap kamera, misalnya seorang host melakukan wawancara terhadap narasumber yang kebetulan mengenakan kaos bergambar partai politik, misalnya. Di sini biasanya dilakukan sensor berupa blur ataupun mozaik (mozaik, ya mozaik seperti censored JAV #eh). Tindakan ini juga biasanya berlaku untuk wanita yang ukuran dadanya tidak kecil dan kebetulan mengenakan pakaian berdada rendah.
SIMALAKAMA SENSOR
Saya pernah suatu kali melongok ruangan departemen Sensor dan mafhum kenapa sensor terasa begitu ketat, mengada-ada, bahkan kadang konyol. Punggawa departemen Sensor diisi pekerja senior – dalam hal usia. Karena itu wajar bila adegan yang kita nilai lumrah di masa kini tidak lolos penilaian mereka, bisa jadi di masa mereka muda dulu tidak ada hal-hal yang seperti itu.
Kelak, apabila ditempatkan sebagai penanggung jawab sensor, kitapun mungkin akan ditertawakan generasi mendatang ketika meloloskan french kissdanbouncing breast namun di sisi lain bersikap keras pada adegan percintaan sesama jenis atau bestiality, misalnya.
Jadi? Tak usah berlebihan menyikapi tindakan sensor. Toh mereka (penanggung jawab sensor) justru sedang bekerja melaksanakan tugasnya. Lagipula, bukankah versi uncensored dari tayangan-tayangan tersebut mudah dicari di internet ataupun dalam bentuk keping DVD?
Semoga ada yang bisa diambil dari tulisan ngaco saya kali ini. Selamat berhari Minggu!
Referensi :
Tulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H