Rian panik. Malu.
“Kok berhenti sih?” tanya gadis itu, “Udah, terusin aja. Kirain tadi kamu mau nyuri, makanya aku foto. Eh ternyata mau ngasih surat cinta.”
Gadis itu tersenyum nakal pada Rian.
“Tapi nggak salah juga sih aku motret kamu. Jadi aku bisa nunjukin ke target kamu seperti apa tampang si pengirim surat.”
Rian makin serba salah. Didengarnya si gadis menyanyi,
“O o, kamu ketauan…”
Rasanya Rian ingin mati saja. Dengan buru-buru dia berlari ke pintu.
Masa bodo ada cewek di situ, aku tabrak aja deh.
“Eh tunggu dulu!” si gadis menahannya, “Rasanya aku kenal kamu. Hm… sebentar aku ingat-ingat dulu.”
Ekspresi si gadis ketika berpikir sungguh cantik, tapi yang ada di pikiran Rian saat itu cuma satu : kabur dari tempat itu sesegera mungkin!
“Ah ya aku ingat sekarang! Kamu ‘kan teman sekelasku!”
Mati aku! Teman sekelas!
Gadis itu mengulurkan tangannya,
“Aku Lintang. Waktu kelas I dulu kita nggak sekelas jadi maaf kalo aku nggak kenal kamu.”
Dengan ogah-ogahan Rian membalas uluran tangannya dan menjawab singkat,
“Rian”
Lintang masih tersenyum nakal,
“Nah Rian, aku liat kamu mau ngasih surat cinta. Buat siapa? Apa buatku?”
APAAAA?!
“Eh tapi nggak mungkin ya, ‘kan kita baru kenal. Hm…”
Tuhan, tolong keluarkan aku dari sini!
“Oh mungkin Susi ya atau Santi. Atau Angel? Bener?”
Lintang memandang wajah Rian, tapi tiba-tiba dia memekik kegirangan,
“Ah! Pasti! Itu ‘kan lokernya kak Rin. Kamu naksir dia ya! Itu surat cinta buat kak Rin!”
Ini benar-benar hari yang buruk!
Terdengar suara dari kejauhan, rupanya anak-anak bulutangkis sudah selesai berlatih. Dan Rian semakin panik. Dia terjebak! Tak ada jalan keluar dari sini!
“Ah itu dia kak Rin. Kak Riiiin! Siniiii! Ada kejutan nih!”
Dari kejauhan Rian melihat Rin berlari ke arahnya dan Lintang. Secara refleks, Rian menarik tangan Lintang, rasanya saat ini mendadak dia berubah menjadi makhluk liliput yang sedang menowel-nowel raksasa,
“Lintang, please. Jangan biarkan dia tau. Please jangan kasih tau dia…”