Rin membatalkan janjinya dengan Rian dan memilih pergi dengan Tama. Rian yang kecewa tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, Lintang gelisah menunggu kabar tentang Rian. Dan di sebuah tempat, Tama menyatakan cintanya pada Rin dan meminta gadis itu menjadi pacarnya. Apa jawaban Rin?
CHAPTER 8
Udara terasa semakin dingin. Perlahan rintik hujan dengan lembut datang menyapa, satu demi satu. Rin masih tak percaya dengan apa yang didengarnya – meski pemuda di hadapannya ini sudah berkali-kali mengatakannya,
“Aya, aku cinta kamu. Kamu mau jadi pacarku?”
Benarkah apa yang kudengar ini? Apa aku mimpi?
Perlahan Rin mengangkat kepalanya, mengumpulkan segenap keberanian untuk memandang wajah di hadapannya. Wajah yang dua tahun lamanya dia rindukan dan dia impikan. Wajah sempurna.
Dan kini, pemilik wajah tersebut melantunkan sebaris kata yang membuainya, memberinya satu penawaran menarik,
Dia memintaku jadi pacarnya.
Tapi…
Rin melepaskan pegangannya dari tangan Tama dan membuat pemuda tersebut heran. Belum habis rasa herannya akan sikap Rin, secara tiba-tiba gadis di depannya ini mengajukan pertanyaan,
“Mas, bukannya kamu sudah punya pacar? Teman kampusmu?”
Rin ingat, cintanya terhadap Tama tak pernah berbalas. Beberapa kali Rin harus menelan kekecewaan dan merasakan perihnya cinta karena melihat Tama menggandeng seorang gadis cantik yang diperkenalkan sebagai pacarnya.
Mendengar pertanyaan Rin, Tama mendadak lesu,
“Nggak usah bahas dia, aku sudah putus dengannya. Dia nggak setia. Tapi kalo kamu, aku yakin kamu setia. Ya ‘kan Aya?”
Sembari berkata begitu, Tama kembali menggenggam tangan Rin,
“Kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku tau ini memang mendadak - meski aku sangat berharap kita bisa jadian.”
Pertahanan Rin pun luluh. Dia menganggukkan kepalanya, menerima cinta Tama,
“Aku… aku juga cinta kamu, Mas. Aku mau jadi pacarmu.”
Rian, maafkan aku. Aku tidak bisa menerima cintamu. Saat ini, inillah pilihanku.
Tanpa disadari, sebutir air bening mengalir dari kedua mata Rin. Entah apa arti air mata itu, bahkan Rin sendiri tak mengerti.
* * *
”Terimakasih…”
Seusai mengucapkannya, Rian keluar dari barisan dan tersenyum puas. Sebuah novel berjudul “Irisan Senja” dengan tandatangan pengarangnya sudah dia dapatkan. Ya, pada akhirnya Rian memutuskan datang ke launching novel terbaru Lizz yang diadakan di sebuah pusat perbelanjaan.
Aku yakin Rin akan menyukainya. Sebuah novel terbaru Lizz yang sudah ditandatangani khusus untuknya. Sayang memang rencanaku jalan bareng dengannya hari ini gagal, tapi aku yakin pasti urusannya sangat penting.
Lagipula aku masih bisa jalan dengannya lain kali.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“Hal… Ough!”
Brukk!
Belum sempat Rian menyelesaikan kalimatnya, dia merasa bertubrukan dengan seseorang. Rian limbung tapi masih bisa menguasai diri sehingga tidak sampai jatuh seperti ponsel dan novel yang dipegangnya.
Beberapa detik kemudian dia melihat seorang gadis terduduk memunggunginya di lantai. Rupanya dia yang tadi bertubrukan dengan Rian. Seorang gadis berambut pendek dengan dress dan cardigan putih.
“Kamu nggak apa-apa? Bisa berdiri? Aku minta maaf.” Rian menghampiri gadis tersebut, bermaksud membantunya untuk berdiri.
Gadis itu menoleh dan mereka beradu pandang,
“Rian?!”
“Rin?!”
Untuk sesaat keduanya mematung, masing-masing tak menyangka akan bertemu di sini. Sedetik kemudian Rian sadar dan buru-buru membantu Rin untuk berdiri, tapi sebuah suara membentaknya,
“Hei! Ngapain kamu?!”
Pemilik suara itu kemudian membantu Rin berdiri sambil menatap Rian tajam penuh kemarahan.
“Liat-liat dong kalo jalan!” semburnya.
Siapa dia? Kenapa Rin bersamanya? Bukannya tadi Rin bilang ada urusan yang sangat penting?
“Hei!” teriak pemuda itu, “Kamu minta maaf sama pacarku ini!”
Deg!
Jantung Rian rasanya berhenti sesaat. Pemuda ini menyebut Rin sebagai pacarnya!
Pacar? Apa aku nggak salah dengar? Rin pacarnya?
Rian memandang Rin yang masih saja membisu.
“Hei!” pemuda itu berteriak lagi. Beberapa pengunjung mulai tertarik mendatangi keributan itu.
“Sudah Mas Tama…” Rin akhirnya bersuara sambil memegang tangan pemuda tersebut, “Aku kenal dia. Dia adik kelasku.”
Rin mendekati Rian, sementara Tama menyingkir meninggalkan kerumunan pengunjung yang menonton keributan tadi.
“Rian,” ujar Rin, “Maafin dia ya atas sikap kasarnya tadi. Kamu nggak apa-apa?”
Perasaan Rian masih tak menentu karena ucapan Tama tadi,
Benarkah cowok tadi pacarnya Rin?
“Rin…” katanya, “Apa benar?”
Rin tidak menjawab.
“Rin…”
Rian sangat berharap bahwa Rin akan menjawab, “Tidak” atau sekadar menggeleng sebagai jawaban atas mimpi buruknya. Namun harapannya tak terkabul, dilihatnya gadis itu mengangguk pelan.
“Benar, Rian. Mas Tama itu pacarku. Kami baru jadian. Maaf aku buat kamu kecewa.”
Usai berkata begitu, Rin berlari meninggalkan Rian yang tiba-tiba teringat kata-kata Aksa,
Jangan terlambat atau kamu bakal menyesal.
* * *
Hm? Siapa malam-malam gini SMS?
Lintang terbangun dari tidurnya. Sudah seharian ini dia menunggu kabar dari Rian tapi tak kunjung datang.
Dan kini menjelang tengah malam, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari Rian.
"Lintang, aku terlambat. Perasaanku pada Rin tak tersampaikan."
(Bersambung)
Tanpa sengaja Rian dan Rin bertemu di sebuah tempat, dan Rian akhirnya tahu bahwa Rin baru saja jadian dengan Tama. Bagaimana hubungan mereka nanti padahal mereka ikut ekskul yang sama di sekolah? Tunggu chapter berikutnya...
Khusus minggu depan, Kejarlah Cinta terbit tiga kali, Selasa, Kamis, dan Sabtu…
Kejarlah Cinta #9 : Cinta Tak Pernah Salah | Kejarlah Cinta #1 : Perkenalan Pertama
Sumber gambar : favim.com
Dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H