“Kamu nggak apa-apa? Bisa berdiri? Aku minta maaf.” Rian menghampiri gadis tersebut, bermaksud membantunya untuk berdiri.
Gadis itu menoleh dan mereka beradu pandang,
“Rian?!”
“Rin?!”
Untuk sesaat keduanya mematung, masing-masing tak menyangka akan bertemu di sini. Sedetik kemudian Rian sadar dan buru-buru membantu Rin untuk berdiri, tapi sebuah suara membentaknya,
“Hei! Ngapain kamu?!”
Pemilik suara itu kemudian membantu Rin berdiri sambil menatap Rian tajam penuh kemarahan.
“Liat-liat dong kalo jalan!” semburnya.
Siapa dia? Kenapa Rin bersamanya? Bukannya tadi Rin bilang ada urusan yang sangat penting?
“Hei!” teriak pemuda itu, “Kamu minta maaf sama pacarku ini!”
Deg!
Jantung Rian rasanya berhenti sesaat. Pemuda ini menyebut Rin sebagai pacarnya!
Pacar? Apa aku nggak salah dengar? Rin pacarnya?
Rian memandang Rin yang masih saja membisu.
“Hei!” pemuda itu berteriak lagi. Beberapa pengunjung mulai tertarik mendatangi keributan itu.
“Sudah Mas Tama…” Rin akhirnya bersuara sambil memegang tangan pemuda tersebut, “Aku kenal dia. Dia adik kelasku.”
Rin mendekati Rian, sementara Tama menyingkir meninggalkan kerumunan pengunjung yang menonton keributan tadi.
“Rian,” ujar Rin, “Maafin dia ya atas sikap kasarnya tadi. Kamu nggak apa-apa?”
Perasaan Rian masih tak menentu karena ucapan Tama tadi,
Benarkah cowok tadi pacarnya Rin?
“Rin…” katanya, “Apa benar?”
Rin tidak menjawab.
“Rin…”
Rian sangat berharap bahwa Rin akan menjawab, “Tidak” atau sekadar menggeleng sebagai jawaban atas mimpi buruknya. Namun harapannya tak terkabul, dilihatnya gadis itu mengangguk pelan.
“Benar, Rian. Mas Tama itu pacarku. Kami baru jadian. Maaf aku buat kamu kecewa.”
Usai berkata begitu, Rin berlari meninggalkan Rian yang tiba-tiba teringat kata-kata Aksa,
Jangan terlambat atau kamu bakal menyesal.
* * *