“Kamu tau, Rian? Saat ini aku benar-benar menyesal sudah menyia-nyiakan satu kesempatan terbaik yang datang padaku.”
“Rin, bukan seperti itu maksudku…”
Rin kembali memandang Rian dengan senyumnya yang dipaksakan,
“Berusahalah Rian, semoga berhasil dengan Lintang…”
* * *
Waktu berlalu dengan cepat sejak saat itu…
Semester satu sudah berakhir, dan saat ini semester dua sudah dimulai dengan turnamen bulutangkis antar sekolah. Karena permainannya yang masih kurang, saat ini Rian tidak disertakan dalam tim.
“Game Point!” terdengar suara wasit yang menandakan bahwa permainan sudah hampir berakhir.
Di tengah lapangan, Lintang sedang bertanding dengan sungguh-sungguh meski angkanya terpaut lumayan jauh dengan lawannya – salah satu pemain unggulan di turnamen ini. Namun Lintang bisa memaksa lawannya melakukan rubber set!
Dan bagi tim SMA Dian Pelita, bisa memaksa seorang pemain unggulan melakukan rubber set sudah merupakan sebuah prestasi karena selama ini belum ada yang mampu melakukannya.
Shuttlecock sudah dipukul, kedua pemain saling mengembalikan umpan yang diberikan lawannya. Pukulan demi pukulan bersahut-sahutan dengan teriakan penonton. Rally panjang yang mendebarkan berlangsung, dan ini sebenarnya sangat menguras stamina meski membuat permainan jadi lebih menarik.
Dan akhirnya, satu pukulan overhead dari lawannya membuat Lintang menyerah. Sorak sorai membahana di gedung pertandingan mengiringi kedua pemain yang bersalaman dengan sportif.
* * *
“Tahun ini kita masih belum berhasil, sayang sekali. Padahal ini tahun terakhirku ikut turnamen…”
Rin duduk bersama Rian dan Lintang dalam bus yang membawa tim bulutangkis SMA Dian Pelita. Sampai tahun ini SMA Dian Pelita masih belum berhasil menembus dominasi SMA-SMA lain yang sudah sering menjadi langganan juara.
“Berat lah Rin, lawannya juga masih di seputaran SMA itu-itu aja.” ujar rekan satu timnya sesama kelas XII.
“Yah, mo gimana lagi…” keluh Rin, “...tapi keliatannya tadi ada perkembangan menarik. Lintang bisa maksa lawannya untuk main rubber set.”
Rin memandang Lintang,
“Kamu hebat Lintang! Moga-moga tahun depan kita bisa masuk setidaknya perempat final…”
Lintang tersipu mendengarnya,
“Hahaha aku kaya’nya jadi kena beban berat nih kak…”
Rin kemudian melirik Rian sambil tersenyum meledek,
“Dan semoga nanti adik-adik kelas kita permainannya lebih baik dari kakak kelasnya. Ya ‘kan Rian?”
Disindir seperti itu Rian merasa kesal,
“Iya, iya. Permainanku memang jelek, maaf aku nggak bisa masuk tim. Mungkin sebaiknya aku keluar aja dari ekskul?”
“JANGAAAN!” Rin dan Lintang menjawab bersamaan, “Gimanapun juga kita tetep kekurangan orang, tau!”
Keduanya saling pandang kemudian tertawa. Suasana ceria mewarnai kepulangan tim bulutangkis SMA Dian Pelita. Meski saat itu mereka kalah, selalu ada harapan untuk hasil yang lebih baik di masa mendatang.
“Eh ngomong-ngomong jalanannya macet banget ya?” ujar Rian.
Saat itu sekitar jam 4 sore, saat-saat dimana jalanan Jakarta memang sedang macet-macetnya. Bus yang mereka tumpangi juga terjebak macet dan tidak bisa bergerak ke mana-mana.
“Sudahlah Rian, dinikmati aja…” jawab Lintang.
“Iya bener kata Lintang. Kaya’ baru tinggal di Jakarta aja, Lintang aja udah paham kok gimana macetnya Jakarta. Lagian ngapain sih buru-bur…”
Rin tidak sempat meneruskan kalimatnya, dia mendadak terdiam. Secara refleks Rian dan Lintang bertanya,