Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Dua Hati #10: Aku Mencintaimu

26 Mei 2014   14:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400868480413344531

Cerita Sebelumnya :

Insiden yang terjadi di Yogyakarta membuat ayah Lintang mengizinkan gadis itu kembali ke Jakarta lebih cepat.  Sesampainya di Jakarta, Lintang bermaksud menjenguk Rian sekaligus menyambung kembali kisah cinta mereka.  Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, Lintang melihat Rin mencium Rian!

CHAPTER 10

Rian terperangah!

Ia sama sekali tidak menduga Rin akan menciumnya tadi.


“Rin?”


“Rian, maaf.  Aku tadi terbawa perasaan,” gadis itu mundur.


Aku masih menyukaimu, Rian.  Perasaan ini bahkan lebih kuat dibanding sebelumnya.


“Rian, aku pulang sekarang ya.  Maaf aku besok nggak bisa nemenin kamu pulang.  Tapi aku senang karena sekarang aku bisa menebus kesalahanku padamu.  Cepet sehat ya Rian.  Bye…”


“Rin, tunggu…”

Rin berpura-pura tidak mendengar pemuda itu yang pasti akan mencegahnya pergi.  Ia membuka pintu dan meninggalkan Rian – sendirian.

♬ If I could, then I would

I'll go wherever you will go


Way up high or down low


I'll go wherever you will go…

Saat ini dari pemutar MP3 milik Rian terdengar lagu “Wherever You Will Go”-nya The Calling.


Bahkan iPod aja seolah tau perasaanku.  Hhh…

* * *

Sudah satu minggu sejak Rian keluar dari rumah sakit, dan ini hari pertamanya masuk sekolah.


“Pagi Rian.  Sudah sehat?”

Lintang menyapanya sambil tersenyum.


“Sepertinya sudah,” jawab Rian, “Tinggal sekarang aku harus ngejar pelajaran yang tertinggal selama aku nggak masuk.”

Rian lalu duduk di bangkunya sementara Lintang mengambil tempat duduk di depannya.  Gadis itu kemudian memberi setumpuk kertas fotokopi catatan pelajaran.


“Ini,” katanya, “Kamu ketinggalan pelajaran selama seminggu ‘kan?  Aku sudah fotokopi catatanku selama seminggu kemarin ditambah catatan seminggu sebelumnya waktu kita berdua nggak masuk.  Bawa aja.”


“Lin…” Rian terpana, “Makasih…”


Aku masih mencintainya.  Aku nggak bisa ngelupain dia.


“Kita sudah kelas III, apalagi sebentar lagi ada Ujian Akhir Semester I,” gumam Lintang, “Sayang sekali kalo kerja keras kita selama 2 tahun jadi sia-sia cuma karena dua minggu ketinggalan pelajaran.”

Lintang terdiam sejenak,


“Jadi... apa kamu mau belajar kelompok?  Aku, kamu, Aksa, sama tiga orang lagi dari kelas lain.  Bisa?”


“Boleh,” jawab Rian tanpa pikir panjang, “Kapan kita mulai?”


“Lusa.  Tempatnya nanti aku kabari lagi.”


“Oke…”

Lintang hendak berlalu ketika Rian memanggilnya,


“Lintang…”


“Ada apa?” tanyanya.

Rian tampak ragu sejenak.


Aku bener-bener belum bisa menganggapnya sebagai sahabat lagi.


“Lintang, hari ini kita bisa pulang bareng?”


“Kenapa?  Apa kamu mau beli sesuatu dan minta pendapatku?”

Rian menggeleng.


“Atau…” Lintang melanjutkan kalimatnya, “Ada hal yang mau kamu bicarakan?”


Mungkin aku memang mau ngomong sesuatu, pikir Rian.  Tapi dia kembali menggelengkan kepalanya.


“Nggak ada apa-apa,” ujarnya, “Aku cuma pengen pulang bareng kamu aja.  Rasanya udah lama banget kita nggak pulang bareng.”


Aku memang BENAR-BENAR masih mencintainya…

* * *

Kedua remaja itu berjalan bersama sepulang sekolah.  Lintang akhirnya setuju untuk pulang bareng Rian hari ini.  Sepanjang perjalanan mereka membicarakan hal-hal ringan, saling bercanda, dan bermain tebak-tebakan.


“Coba tebak,” kata Rian saat mereka berhenti dan mendengar sirine di jalur perlintasan kereta api, “Keretanya datang dari kiri atau kanan?”

Lintang berpikir sejenak kemudian berkata,


“Kiri!”


“Kalo gitu aku kanan,” balas Rian.


“Eh tunggu dulu, hukumannya apa?”


“Yang kalah harus make tas yang menang.  Deal?”


“Deal!” seru Lintang.

Tak berapa lama, kereta lewat.  Melihatnya Lintang berseru kegirangan,


“Yess!  Kereta dari kiri!  Aku menang!”

Sambil tersenyum nakal, gadis itu kemudian menyodorkan tas sekolahnya yang bermotif white floral.


“Nih, tolong ya.”

Wajah Rian langsung pucat melihat tas Lintang yang modelnya ‘cewek banget’.  Pemuda itu memandang Lintang seolah minta dikasihani, tapi Lintang bergeming.


“Perjanjian tetap perjanjian.Yang kalah harus make tas yang menang,” ujarnya sambil tetap tersenyum.


“Tapi…”


“Nggak ada ‘tapi’, kan kita udah deal.  Nah sekarang, ayo pake tasku.”

Sambil bersungut-sungut dan diiringi olok-olok orang-orang yang kebetulan melihatnya, Rian memakai tas Lintang di punggungnya.


“Ayo jalan,” serunya pada Lintang yang berusaha menahan tawanya, “Ayo.  Mo ngapain lagi?”


“Tunggu sebentar,” tukas Lintang.

Gadis cantik itu mengambil ponselnya dan…

Klik!


Dia memotretku!


“Nah sudah,” Lintang tersenyum puas, “Ayo jalan.”

Sepanjang jalan Rian menggerutu.

* * *


“Rian, terimakasih…”

Saat ini mereka sudah tiba di tempat Lintang.


“Pulang bareng tadi benar-benar menyenangkan,” sambung Lintang.


“Yah, kalo kamu suka, kita pulang bareng aja tiap hari,” sahut Rian.

Lintang tertawa.


“Mau masuk?” tanyanya.


“Makasih, Lin.  Lain kali aja.”

Keduanya saling pandang.


“Lin…”


“Rian…”

Senyum di wajah Lintang menghilang, berganti dengan satu ekspresi yang sulit dilukiskan.  Tanpa sadar keduanya saling berpegangan tangan.


“Lin,” panggil Rian.


Aku harus mengungkapkan perasaanku padanya.  Aku harus jujur!


“Aku mau kita seperti kemarin.  Aku mau kita nyambung dan pacaran lagi…”

Keduanya masih saling pandang, tangan mereka masih saling menggenggam.


“Rian…”

Untuk sesaat, Rian merasa bahwa Lintang akan menerimanya, dan mereka akan memulai kembali sebuah hubungan yang pernah terputus.

Dan sesungguhnya, pada saat itu Lintang pun merasakan hal yang sama.

Aku mencintaimu, Rian.

Namun tepat pada saat dirinya akan mengatakan ‘ya’, wajah Rin terlintas di benak Lintang, juga saat dirinya melihat Rin mencium pemuda yang sekarang ada di hadapannya.


“Rian, maaf…”

Lintang melepaskan pegangan tangannya kemudian berlari masuk ke rumahnya, meninggalkan Rian – tanpa menoleh.


Aku tidak bisa menerimamu.  Kak Rin lebih pantas buatmu…

Tak dihiraukannya Rian yang berkali-kali memanggil dan mencoba meneleponnya.

(Bersambung)


Lintang menolak keinginan Rian meski mereka masih saling cinta!  Bagaimana hubungan mereka ke depannya?  Apakah ada peluang bagi mereka untuk kembali bersama?  Ikuti terus kisah mereka di chapter berikutnya...

“Kisah Dua Hati” terbit tiga kali dalam seminggu, Senin, Rabu, dan Jumat…

Kisah Dua Hati #11 : Pertemuan Kembali |   Kisah Dua Hati #1 : Straight Set!


Sumber gambar : dokpri
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun