Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Faiz & Aida #2: Rumah Bercat Kuning

11 Juli 2014   14:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:40 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sebelumnya :

Faiz, Aida, dan Mina adalah sahabat karib.  Faiz dan Mina adalah teman sepermainan sejak kecil, sementara Aida berasal dari kota.  Setiap tahun sejak mereka berusia 13 tahun, Aida selalu menghabiskan bulan Ramadhan di desa tempat Faiz dan Mina tinggal.  Namun sudah dua tahun ini Aida tidak datang, dan hal ini membuat Faiz berkeinginan untuk menyusul Aida dan kuliah di Jakarta.


CHAPTER 2


“Aku nggak bisa ngelarang kamu untuk kuliah di kota karena itu mimpimu.  Tapi aku minta kamu jangan lupa sama obrolan orangtua kita dulu.”

Aku terdiam sejenak mendengar ucapan Mina barusan.


“Oh, soal itu...” gumamku.

Nampaknya Mina melihat ekspresi wajahku yang langsung berubah, karena itu dia buru-buru mencairkan suasana,


“Ah sudahlah, Faiz.  Nggak usah dipikirin dulu, lagipula kita masih muda 'kan?  Kita masih punya banyak waktu.”

Tepat pada saat itu beduk Maghrib berkumandang di seantero desa sebagai penanda tiba saatnya berbuka puasa.


“Alhamdulillah...” ujar Mina, “Nah Faiz, sudah masuk buka puasa.  Aku pulang dulu.”

* * *

Jakarta, 1 tahun kemudian...

Aku termenung di kamar kosku.  Setiap tahun di bulan puasa, entah kenapa aku selalu teringat masa kecilku bersama teman-teman sepermainan – terutama Mina dan Aida.


Aida, kamu di mana sekarang?  Apa kabarmu?

Aku sungguh naif sewaktu mengira bisa menemukan Aida dengan mudah di Jakarta.  Jakarta ternyata kota yang luasnya di luar bayanganku.  Sepertinya aku harus mengubur mimpiku menemui Aida.  Aku tak punya petunjuk sedikitpun tentang keberadaannya.

Ponselku berdering pendek.  SMS dari Mina.


“Faiz, di Jakarta sudah masuk waktu berbuka ya?  Selamat buka puasa ya, jangan lupa baca doanya dulu, masih inget ‘kan?  Seperti biasa, di sini aku harus nunggu sekitar 5 menit lagi.”


“Oya Iz, nanti kita ngobrol-ngobrol sebentar ya?  Bisa?”

Aku tersenyum dan membalas pesan tersebut,


“Boleh.  Habis taraweh?”


“Ya.”

* * *


”Kamu serius?!"  Aku nyaris tak percaya mendengarnya.

Usai shalat tarawih aku langsung menelepon Mina, dan ternyata ia membawa kabar yang membangkitkan asaku untuk menemui Aida.


“Ya,” terdengar suara Mina di ujung telepon, “Tadi aku denger ayahnya Aida nelpon bapak.  Langsung aja aku minta bapak nanyain di mana alamat mereka sekarang.  Mau kamu catat?”


“Pasti!”  Aku berseru kegirangan, “Sebentar, aku ambil kertas sama pulpen dulu.  Jangan ditutup telponnya.”

Dengan kertas yang seketemunya, aku kemudian mencatat alamat yang diberikan Mina padaku.


Ini alamatnya Aida!  Aku akhirnya bisa ketemu dengannya!


“Faiz,” terdengar suara Mina.


“Ya?” tanyaku.


“Kalau nanti sudah ketemu Aida, kamu mau bilang apa sama dia?”


“Hmm… apa ya?” Aku berpikir, “Aku juga belum tau.  Bisa ketemu Aida aja aku sudah seneng.”


“Kamu nggak bilang kalau kamu suka sama Aida ‘kan?”

Deg!

Aku sama sekali tak menduga Mina akan bicara seperti itu.


“Itu... aku belum tahu apa aku suka sama Aida atau nggak...” aku tergagap.


“Jangan bohong Iz.”


“Bener, aku belum tau apa aku suka sama dia.”


“Tapi kamu kehilangan dia ‘kan?”


“Kita semua kehilangan dia, Mina.”

Terdengar Mina menghela nafas.


“Ya sudahlah.  Toh aku sendiri juga belum tau perasaanku ke kamu.”


“Mina...”


“Nggak apa-apa Iz,” tukas Mina, “Kita memang sudah dijodohin dari kecil.  Dan bukan kamu aja yang bingung soal perjodohan itu, aku juga.”

Mina melanjutkan ucapannya,


“Aku bingung dengan perasaanku sendiri karena kita sudah kenal sedari kecil.  Aku nggak tau apa aku juga perasaan yang disebut ‘cinta’ atau ‘suka’ atau ‘sayang’ ke kamu, perasaan antara laki-laki dengan perempuan.  Aku nggak tau apa aku punya perasaan yang seperti itu ke kamu.”


“Mina...”


“Aaah, sudahlah!  Mikir hal ini malah bikin tambah pusing.  Sudah ah, aku mau tidur dulu.  Dah Faiz.”

Klik!

Mina kemudian menutup teleponnya.

* * *

Aku berhenti di sebuah rumah bercat kuning dan berpagar hitam.


Seharusnya di sini ya.  Alamat ini cocok dengan yang aku dapat dari Mina.


Tapi, gimana kalau salah?

Cukup lama aku berdiri termangu di depan rumah tersebut.


Kok aku jadi ragu gini?


“Lho?  Faiz?  Ini Faiz ‘kan?”

Aku menoleh untuk melihat siapa yang menegurku.


“Oh, Om,” aku mengenali pria berusia sekitar 45 tahun tersebut.


Om Wid.  Ayahnya Aida!  Jadi memang bener Aida tinggal di sini!


“Apa kabar?  Wah wah, kamu ini sudah besar sekarang, sudah jadi jaka, hahaha!” Om Wid tertawa.

Ditepuknya pundakku,


“Yok!  Kita masuk!”

Aku mengikuti Om Wid menuju sebuah rumah yang berjarak sekitar 20 meter dari rumah yang tadi.


Ternyata Om Wid nggak tinggal di situ...


“Nah, ayo masuk!  Om tinggal di sini, maaf ya kalau berantakan.”

Ruangan itu berukuran 4 x 12 meter dan kondisinya tidak jauh beda dengan kamar kosku – sedikit berantakan.  Tidak ada apa-apa lagi di ruangan itu selain lemari pakaian yang terbuat dari plastik, dispenser air, satu pesawat televisi, dan sebuah kasur lipat yang teronggok di sudut ruangan.


Apa bener Aida tinggal di sini?

Aku disergap keraguan dan berjuta tanda tanya.

Kami duduk di lantai dan membuka obrolan dengan pertanyaan Om Wid tentang kabarku dan kedua orangtuaku di desa.


Sekarang saatnya! Pikirku setelah obrolan berlangsung cukup lama.


“Maaf Om, dari tadi Faiz nggak ngeliat tante sama Aida.  Mereka sedang pergi?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Om Wid memandangku dengan sedih.


“Faiz,” ujarnya.


“Ya Om,” sahutku.


“Kamu belum tau ya?”  tanya Om Wid lagi.

Aku semakin bingung.


Ada apa?  Apa yang terjadi dengan Aida?

(Bersambung)

Catatan Penulis :


Sesuai keinginan pembaca, cerita ini akhirnya berupa miniseri sebanyak 4-6 episode.  Dan karena diharapkan cerita ini selesai sebelum Lebaran, maka hanya konflik utama saja yang dimunculkan di sini.  Semoga pembaca terhibur...

Faiz & Aida #3 : Secarik Kertas |  Faiz & Aida #1 : Kenangan di Kota Kecil

Sumber gambar : dokpri menggunakan SonyEricsson Xperia Ray, diambil di sekitar wilayah Otista, Jakarta Timur.

Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun