Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Faiz & Aida #5 : Perjumpaan di Kereta

25 Juli 2014   17:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:15 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Cerita Sebelumnya :

Mengetahui bahwa Aida sekarang tinggal di Cimahi membuat Faiz memutuskan untuk ke kota tersebut dan menemui Aida sebelum ia kembali ke kampung halamannya, Tegal.  Tanpa kesulitan berarti, Faiz akhirnya tiba di alamat yang diberikan Om Wid.  Di sana ia bertemu Tante Dian - ibu Aida, dan seorang gadis cantik bernama Lia.  Tante Dian yang kehilangan kontak dengan Om Wid merasa bahagia karena ia kini mengetahui di mana suaminya berada.  Namun saat Faiz menanyakan keberadaan Aida, Tante Dian malahan meminta maaf.  Apa yang sebenarnya terjadi?


CHAPTER 5

Tante Dian memandang padaku.


“Faiz, sebelumnya Tante minta maaf…”

Aku heran.


Minta maaf?  Kenapa?  Ada apa?


“Tante yakin kamu sudah tau kondisi keluarga kami sekarang,” ucap Tante Dian, “Karena itu, sejak lulus sekolah Aida berusaha mencari pekerjaan.”

Aku terdiam.

Jalan hidup manusia memang berada dalam genggaman-Nya.  Dialah Yang Maha Kuasa membolak-balik nasib manusia, meski aku tidak sepenuhnya setuju pendapat tersebut.


Siapa sangka, keluarga Om Wid yang dulu jaya sekarang harus merasakan kerasnya hidup yang seperti ini.


“Usaha Aida akhirnya membuahkan hasil,  terdengar suara Tante Dian, “Sudah tiga bulan ini Aida diterima bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi.”

Aku memandang Tante Dian, tak mengerti.


Lalu kenapa Tante harus minta maaf?

Tante Dian melanjutkan ucapannya,


“Tante mengerti kamu pasti jauh-jauh ke sini untuk menemui Aida.  Tapi maaf, Aida tidak ditempatkan di sini.  Saat ini dia ditempatkan di Semarang.”

Jauh di lubuk hatiku, aku merasakan kekecewaan yang teramat sangat.


Kenapa aku sulit sekali untuk bisa menemuimu, Aida?


“Tapi aku ada nomer handphone kak Aida kok A,” tukas Lia seolah mengerti kekecewaanku.

Gadis itu kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sederetan nomor.  Kertas itu kemudian diangsurkannya padaku.


“Yang atas ini nomer handphone kak Aida,” katanya, “Yang bawah ini nomerku.”

Aku memandang sejenak deretan nomor tersebut sembari mengucap terimakasih dan menyimpannya di saku celana.


“Faiz,” panggil Tante Dian, “Sebentar lagi buka puasa.  Kamu buka di sini aja.”

Aku mengangguk.

* * *

Aku kembali ke Tegal menggunakan kereta malam.  Dinginnya penyejuk udara di dalam gerbong membuatku menggigil meski aku sudah menggunakan selimut untuk menutupi seluruh tubuh dari pundak sampai kaki.


Aida.

Apa kabarmu sekarang?

Saat ini aku merasakan adanya sebuah ironi.  Aku - dengan keinginan menemui Aida - memutuskan untuk kuliah di Jakarta, kota tempat Aida berasal.  Namun yang terjadi saat ini justru Aida tinggal di Semarang yang tidak begitu jauh dari kampung halamanku Tegal.

Ya, perjalanan dari Tegal ke Semarang bisa ditempuh dengan kereta api ekonomi Kaligung selama kurang-lebih 3 jam.

Kereta yang aku tumpangi kini berhenti di Stasiun Besar Cirebon.  Aku memutuskan untuk turun sejenak membuang hawa dingin yang sejak tadi menyergap.  Begitu kakiku turun dari kereta, beberapa pedagang asongan menawariku kopi dan mie instan.


Bolehlah, pikirku.

Aku kemudian berjongkok sembari menyesap segelas coffemix.


Hangat.

Aku baru memperhatikan, rupanya selain kereta yang aku tumpangi ini, ada lagi kereta lain yang sedang berhenti di sini.  Dan kereta tersebut tampaknya sebentar lagi akan diberangkatkan menuju tujuannya karena nampak beberapa penumpang tergopoh-gopoh kembali masuk ke dalam kereta setelah mendengar pengumuman petugas Stasiun Besar Cirebon.

Iseng aku bertanya pada salah satu pedagang,


“Pak, itu kereta dari mana ke mana?”


“Itu kereta dari Semarang ke Bandung,” jawab si pedagang.


“Oya?" aku terkejut.


Jangan-jangan Aida ada di kereta itu, aku membayangkan.


Ah tapi mana mungkin...

Aku menyapu pandanganku ke sekeliling kereta tersebut, mengharapkan adanya keajaiban - meski kemungkinannya kecil.

Namun kecilnya kemungkinan bukan berarti tidak ada kemungkinan...

Mataku mendadak tertumbuk pada seorang gadis yang saat itu berlari kecil menuju kereta, entah kenapa aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya.  Sayup suara hatiku memberi sinyal bahwa aku mengenalnya.


Aida?

Aku ragu.


Aida?


Apa aku nggak salah liat?

Sedetik kemudian aku sadar.


Aida!


Itu bener-bener Aida!  Dia bener-bener ada di kereta itu!

Aku bangkit, tak peduli lagi dengan sisa kopi yang belum kuminum.


Aida!


Aida!

Aku berlari menuju kereta tersebut yang saat ini sudah mulai bergerak perlahan.  Aku berlari menghampiri gerbong tempat Aida tadi masuk.  Aku tahu tidak akan bisa masuk ke dalam gerbong karena kereta sudah bergerak.  Tapi setidaknya aku ingin Aida melihatku.

Kereta kini sudah bergerak semakin cepat.  Pintu kereta sudah ditutup seluruhnya.

Aku semakin mendekati gerbong yang tadi dimasuki Aida.


Itu dia!

Aku melihatnya.  Kebetulan dia duduk di sisi jendela yang tepat.

Aku semakin mempercepat lariku.

Namun saat aku semakin mendekatinya, aku sudah sampai di ujung peron.  Aku tak bisa maju lagi, sementara kereta sudah bergerak semakin cepat dan semakin cepat hingga mengecil dan hilang dari pandangan.

Aku mematung dalam kelelahan.


Padahal tinggal beberapa langkah lagi...

Mendadak aku teringat dengan nomor yang aku dapat dari Lia.  Aku bergegas merogoh saku celanaku.


Di mana nomer tadi?  Di mana?

Tanganku meraba-raba saku celanaku - kiri dan kanan, depan dan belakang.


Di mana?!  DI MANA?!

Aku benar-benar panik!  Keringat dingin mengucur dari tubuhku!


Kenapa nggak ada?!

Aku tidak menemukan kertas yang berisi nomor telepon Aida dan Lia.  Aku segera kembali ke tempat aku duduk tadi, kertas itu mungkin jatuh waktu tadi aku membayar kopi.  Mataku liar menelusuri setiap sudut peron.


Semoga ada.  Semoga ada.  Semoga ada…

Namun harapanku tak terkabul.

Kertas itu tak ditemukan, hilang entah di mana.

Tubuhku lemas.

Sepanjang sisa perjalanan, aku kehilangan semangat.


Aku menyerah.

Semua usahaku untuk menemui Aida selalu berakhir sia-sia.


Aku menyerah...

(Bersambung)

Catatan Penulis :


Saya berusaha memenuhi janji bahwa cerita ini tamat sebelum Lebaran, jadi kemungkinan chapter berikutnya adalah chapter terakhir meski sebenarnya - seperti yang dulu sudah saya tulis - cerita ini sebenarnya berpotensi dijadikan cerbung hehehe...

Faiz & Aida #6 : Perjodohan |  Faiz & Aida #1 : Kenangan di Kota Kecil

Sumber gambar : Stasiun Besar Cirebon di sore hari, dokpri menggunakan SonyEricsson XPeria Ray

Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun