Kemesraan mereka tertunda sejenak, perempuan cantik itu mengambil telepon genggamnya yang berdering. Wajahnya nampak sedikit kesal.
“Hi, hon,” sapanya dengan nada mesra menjawab telepon dari seberang sana, “Yes, aku masih di Jakarta menemui seorang kawan lama. Gimana terapimu?”
Tampak perempuan itu dengan lembut menepis tangan orang yang datang bersamanya tersebut sambil memberi isyarat,
Ini suamiku yang menelepon.
Perempuan itu kelihatannya sedang mendengarkan dengan serius ucapan suaminya di seberang telepon.
“Yes, hon. Besok siang kita ketemu 'kan? Don’t you know that I really miss you?”
Mendengar perkataan barusan, tampak kecemburuan di wajah teman si perempuan tersebut yang segera dibalas dengan usapan lembut di pipi.
“Okay, hon. See you tomorrow. Love you,” ujar si perempuan cantik sambil menutup telepon genggamnya.
Ia menoleh pada wajah kesal di sampingnya.
“Hai sayang, kamu jangan marah dong,” ujarnya, “Kamu tau ‘kan kalo hati dan tubuhku cuma buat kamu meski statusku adalah istrinya.”“Kenapa kamu nggak ceraikan aja suamimu yang tua dan loyo itu sih?”
“Hahaha nggak mungkinlah, sayang,” tawanya, “Tambang uang kok dilepas...”
Keduanya tertawa berderai.
Perempuan cantik itu memandangku. Aku mengerti artinya.
Aku bergegas menghampiri mereka dan menyerahkan keycard kamar hotel yang sudah dipesannya.
“Silakan, Miss.”
Sambil mengucap terimakasih sekali lagi, kedua perempuan itu meninggalkanku dan menuju kamar hotel - melanjutkan kemesraan mereka berdua, melepas rindu yang tertahan.