Halo semuanya, perkenalkan saya Ryan. Saya merupakan seorang mahasiswa prodi kedokteran gigi di salah satu universitas di Bandung. Keseharian saya selalu diliputi dengan membaca berbagai jurnal untuk memenuhi tugas akhir.Â
Ya, benar, saya adalah mahasiswa semester akhir, yang seharusnya sudah dapat lulus pada semester ini, namun semua berubah ketika Korona datang. Karantina menjadi suatu bentuk pengendalian diri untuk bersiap kembali belajar secara tatap muka pada waktu yang tidak dapat ditetapkan.Â
Saya akan bercerita seputar pengalaman karantina saya serta persiapan kembali belajar. Sebelum membahas kisah di masa karantina, izinkan saya menceritakan sedikit mengenai kehidupan kuliah offline saya.
Saya masuk di salah satu universitas negeri di Bandung pada tahun 2017. Suatu pencapaian yang sangat mengejutkan untuk saya, sebab saya tidak pernah berpikir akan diterima di universitas ini.Â
Mengenai prodi kedokteran gigi, saya memilihnya karena saya dapat membayangkan pekerjaan seperti apa yang akan saya kerjakan. Saya akan duduk di belakang meja dokter, dengan sebuah aquarium kecil di sisi kiri saya. Aquarium yang berisikan seekor ikan badut, yang akan saya namai Xingyun.Â
Saya akan menyapa setiap pasien yang datang dengan ramah dan senyum lebar, meskipun pasien yang datang belum tentu akan tersenyum kembali, dikarenakan gigi mereka yang sakit. Saya akan memberikan perawatan dengan sepenuh hati agar pasien ini dapat pulih, dan tidak perlu datang kembali karena penyakit yang sama.Â
Saya ingin memberikan yang terbaik untuk pasien, oleh sebab itu saya belajar dengan serius pada masa-masa kuliah ini. Tidak pernah terbayangkan oleh diri ini, mengenai kejutan yang akan diberikan alam semesta 3 tahun mendatang.
Kehidupan kuliah pada prodi kedokteran gigi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perkuliahan prodi lain. Saya datang ke kampus, masuk kedalam ruang kelas, duduk di deretan tengah bersama teman-teman saya, dan menyimak materi pembelajaran yang diberikan oleh dokter-dokter dan professor-professor.Â
Setelah itu, saya akan makan siang dengan menu favorit saya, yakni nasi hainam. Kemudian saya kembali ke kosan, mengerjakan tugas hingga larut, makan malam dan tidur untuk mempersiapkan diri esok hari. Tentu semua mahasiswa akan begitu, bukan? Atau itu hanya diri saya? Entahlah.
Saya yakin, setiap jalan yang kita pilih, tentu saja akan ada krikil ditengah-tengahnya. Atau bahkan lubang besar dan paku yang bertebaran. Begitu pula dengan jalan saya. Materi pembelajaran yang awalnya saya pikir akan simpel, realitanya menjadi lebih kompleks.
Materi tersulit yang saya pelajari selama perkuliahan ini adalah mata kuliah fisika dan kimia. Ya, benar, fisika dan kimia. Suatu gorong-gorong besar yang saya kira tidak akan saya temui jika masuk ke dalam prodi ini. Ketika suatu molaritas dan gaya dorong yang perlu dihitung, saya hanya mampu menghitung kancing baju, sembari berdoa kepada Tuhan agar memberikan cahaya ilahi pada kertas jawaban saya. Jawaban yang paling bersinar, itulah yang saya pilih.
Meskipun demikian, ada materi yang menjadi favorit saya. Materi itu adalah praktikum. Seperti kebanyakan prodi, mahasiswa diharapkan dapat menguasai ilmu dan dapat mempraktikkannya pada kehidupan sehari-hari.Â
Praktikum di prodi kedokteran gigi sangatlah menyenangkan bagi saya. Saya merasa menjadi lebih dekat dengan profesi yang akan saya geluti ke depannya. Setidaknya itu yang saya harapkan dan bayangkan, hingga alam semesta memberikan hadiah tahun baru 2020 yang begitu mengagetkan.Â
Bulan Maret tahun 2020, pihak universitas memberikan pengumuman bahwa semua aktivitas perkuliahan akan dilaksanakan secara daring. Sejujurnya, pertama kali saya mendengarnya, saya sangat senang. Dengan demikian, saya tidak perlu keluar dari kamar kosan, namun tetap mendapat ilmu dari dosen-dosen.Â
Saya merasa nyaman dengan kondisi baru itu. Bahkan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang awalnya mengharuskan saya turun langsung ke desa, dialihkan menjadi KKN virtual. Sungguh suatu pengalaman baru, yang bahkan kakek nenek saya pun, belum pernah lakukan. Meskipun saya merasa kurang maksimal dalam melaksanakan KKN itu, namun setidaknya saya memiliki cerita yang dapat saya ceritakan pada anak dan cucu saya nanti.Â
Saya sangat kagum terhadap sistem pendidikan Indonesia yang dapat dengan cepat beradaptasi. Seperti landak biru yang berlari kencang. Ya, anda benar lagi, seperti Sonic si landak biru.Â
Dalam hitungan minggu, semua proses pendidikan dapat dialihkan menjadi daring. Bahkan, keponakan saya yang berusia 3 tahun, melakukan "pembelajaran" secara daring. Suatu pemandangan yang begitu unik. Ia dibangunkan pukul 6.45 pagi, dipakaikan seragam oleh ibunya, lalu didudukkan di depan komputer untuk berkenalan dengan teman-teman sekelasnya.Â
Saya hanya dapat mengamati wajah bingung dari seorang bayi..., oh maaf, bukan hanya seorang, namun 15 bayi  berusia tiga tahun yang diharuskan duduk diam dan menonton satu per satu temannya memperkenalkan diri. Ada yang hanya tertawa, ada yang menangis, ada pula yang tertidur. Sungguh pagi yang menyenangkan.Â
Saya tidak tahu dengan kalian, namun saya yakin bahwa pagi itu, setidaknya terdapat 15 orangtua dan bayinya yang berusia tiga tahun, sedang bingung dan kewalahan.Â
Tidak terasa bulan Agustus tahun 2020 telah tiba, dan saya pun menginjakkan kaki di semester terakhir. Kekhawatiran pun muncul dari dalam benak saya. Memikirkan banyaknya requirement praktikum yang tidak dapat dikerjakan secara daring, membuat saya sadar bahwa jalan yang saya lalui bukan lagi  lubang yang dapat secara langsung dilompati, namun perlu diaspal terlebih dahulu. Dan gelar "dokter gigi" pun akan semakin lama saya gapai.Â
Namun, tidak ada yang dapat dilakukan pula. Sebagai mahasiswa, saya hanya dapat mengupayakan yang terbaik dari yang sudah ada dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk yang akan datang. Anggap saja seperti berlatih di Kuil Shaolin yang berada di Gunung Shongsan. Bukanlah sesuatu yang sulit bukan?Â
Dari kedatangan Korona, saya belajar banyak hal. Saya belajar bahwa terkadang alam semesta dapat memberikan kejutan, yang bahkan tidak dapat diramal oleh seorang Raditya Dika. Ya, anda benar, Raditya Dika bukanlah seorang peramal. Mengapa saya menyebut dia? Karena saya hanya ingin menyebutkannya. Saya menjadi lebih membuka mata akan semua kemungkinan yang dapat terjadi, dan saya perlu bersiap. Oleh sebab itu, saya belajar banyak hal di saat karantina ini.Â
Saya mulai menulis (selain tugas akhir saya), membaca buku (selain jurnal untuk tugas akhir saya), mencoba hal-hal baru seperti saham dan design. Bahkan saya mencoba menjual beberapa hasil design saya. Jika kalian berkenan membeli hasil design saya, mungkin kalian dapat menghampiri  laman berikut: shutterstock.com.
Hal baru lain yang saya lakukan akibat Korona ini adalah saya  menonton drama korea pertama saya, yakni "Start Up". Secara pribadi, saya suka dengan alur kisah yang diarahkan oleh Oh Choong-hwan ini.Â
Saya belajar bahwa segala hal perlu diusahakan secara tekun dan konsisten. Meskipun, saya selalu merasa Han Ji-pyeong lebih cocok dengan Seo Dal-mi dibandingkan dengan Nam Do-san.Â
Saya yakin setiap orang memiliki kisahnya masing-masing dalam menghadapi Korona. Saya hanya dapat berharap bahwa dengan adanya Korona ini, kita semua dapat mengambil banyak pelajaran bermakna bagi diri kita masing-masing. Buang semua yang buruk dan bersyukur bahwa kita sudah dapat melalui suka dan duka tersebut, dan bersiap-siap menyambut 2021 yang lebih baik.Â
Meskipun saya rindu untuk kembali belajar secara tatap muka, serta rindu untuk segera bertemu  dengan Xingyun, saya akan tetap sabar menunggu hal-hal itu. Kalian semua hebat. Semangat semua dalam menggapai mimpi dan resolusi di tahun 2021 ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H