Dengan dalih sebagai penjaga kemanan, para oknum tentara meminta ‘upeti’ pada mereka yang berduit. Demikian pula dengan Marni, demi kelangsungan usahanya, dua minggu sekali ia harus membayar upeti pada orang-orang berseragam dan hal ini terus berlangsung seumur hidupnya. Inilah masa dimana segala masalah bisa diselesaikan dengan uang dan koneksi dengan militer.
Tak hanya menangkut soal keamanan, kebebasan masyarakat untuk meyakini kepercayaannyapun dicampuri oleh negara. Tentara lagi-lagi menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan apa agama yang harus dianut rakyatnya. Pasca pemberontakan PKI sesuatu yang berbau China dilarang, hal ini terwakili oleh tokoh Koh Cahyadi yang harus mencantumkan agama Kristen dalam KTP nya padahal ia adalah penganut Konghucu. Barongsai yang merupakan warisan tradisi leluhurnya dilarang karena dianggap simbol PKI, Koh Cahyadi yang kedapatan bermain barongsai otomatis menjadi incaran militer hingga ia harus menyembunyikan dirinya dari kejaran para tentara.
"Adalah benar bahwa sebagian cerita entrok dialami oleh nenek saya" jawab Okky Madasari pada sebuah wawancara.
Novel ini sensitif dengan kultur sosialnya maka saya menulis kritik sastra ini dengan kritik sastra sosiokiltural. Kritik sosiokultural adalah interpretasi sastra dalam aspek-aspek sosial ekonomi dan politisinya yang merupakan pokok pada kritik ini adalah interaksi karya sastra dengan kehidupan dan interaksi ini tidak hanya mencakup implikasi-implikasi sosial, ekonomi, serta politis karya tersebut, tetapi juga dalam pengertian yang amat luas, mencakup implikasi-implikasi moral dan kulturalnya.
Tema politik dari novel ini berhubungan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang makin lama makin cenderung pada militeristik makin lama berkuasa dan merajalela, apalagi setelah PKI dihancurkan. Keputusan seorang lurah bahkan dapat dinisbikan oleh seorang komandan militer yang wajarnya tak mempunyai kaitan dengan urusan kependudukan. Rakyat kecil benar-benar ditekan. Marni harus menyetor uang secara teratur untuk “keamanan”, untuk pemilu, untuk kecelakaan pikupnya. karena tak sengaja “kentut” tukang becak disiksa direndam di tengah malam yang dingin dan dibunuh ketika peristiwa itu muncul di koran. Tentu saja pelapor dan wartawannya dihukum
Tema agama dan kepercayaan yang kaya dalam novel ini antara lain menampilkan tokoh Marni yang menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, rajin membuat tumpeng panggang yang diletakkan di bawah pohon asam. Animisme Marni mewakili penduduk desa yang melakukan hal sama, termasuk festival “temanten tebu” yang diselenggarakan pabrik gula Purwodadi. Di lain pihak, Koh Cayadi dan keluarganya pergi ke kelenteng. Dan Rahayu yang belajar agama Islam tentu saja menentang si ibu yang dianggap murtad. Sumber konflik ibu dan anak antara lain terletak pada masalah tersebut. Namun Rahayu yang kritis juga melihat kemunafikan guru agamanya, Pak Waji. Ia tahu sang guru tak mau membayar utang yang cukup besar pada ibunya tetapi tak malu menjelekkan ibu dan dirinya di depan kelas. Sebuah perbuatan tercela dalam dunia pendidikan dan agama. Sebuah kritik sosial yang tajam. Masih masuk lagi masalah pesugihan: Marni diajak Cayadi ke Gunung Kawi mencari ilham untuk mengembangkan usaha. Dia tidak tahu bahwa kunjungannya yang singkat ke Gunung Kawi di kemudian hari mengakibatkan masalah besar: penduduk Singget mengira dia mencari tumbal, mengorbankan manusia untuk mendapat kekayaan. Orang menjauhi dirinya secara terang-terangan.
Novel ini secara keseluruhan memang menarik, namun ada dua hal yang menjadi catatan saya. Pertama ada satu bagian kisah yang bagi saya agak terlalu mengada-ada dan sedikit berlebihan, yaitu pada bab “Kentut Kali Manggis” dimana ketika seorang penduduk desa kedapatan buang angin saat diinterogasi oleh tentara karena kedapatan bermain kartu akhirnya harus dihukum berendam di sungai semalaman. Kejadian ini diketahui oleh Rahayu dan kawan-kawan sehingga mereka berniat untuk mengungkapkan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum tentara itu ke dalam koran. Akibatnya sungguh tak terduga karena menyebabkan kematian bagi si penduduk desa yang kedapatan buang angin tersebut
Kasus yang berawal dari main kartu dan buang angin yang menyebabkan kematian ini saya rasa terlalu mengada-ngada. Mungkin penulis bermaksud untuk mendeskripsikan kesewenang-wenangan tentara tapi saya rasa hal ini terlalu berlebihan, andai saja kasusnya diganti dengan yang sedikit lebih kompleks maka akan terkesan lebih realistis.
Terlepas dari hal di atas, novel ini menarik untuk dibaca, penulis menuturkan kisah Marni dan Rahayu dengan lancar, beberapa kalimat lokal disisipkan dalam dialog-dialognya sehingga kisahnya terasa membumi. Melalui novel ini kita akan melihat sebuah kisah bagaimana Marni dan Rahayu sama-sama tak berdaya dan menjadi korban dari orang-orang yang memiliki kuasa dan senjata. Berbagai tema sosial seperti yang telah diungkap di atas membuat novel ini memiliki keunggulan sendiri dalam merekam situasi sosial dan politik di era 50-an hingga 90-an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H