Mohon tunggu...
Muh riyadus sholihin
Muh riyadus sholihin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Main music

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Teori Dehumanisasi Pendidikan Paulo Freire

25 Desember 2023   15:00 Diperbarui: 25 Desember 2023   19:11 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Paulo Freire adalah seorang tokoh Brazil yang memperjuangkan pendidikan untuk tujuan yang dianggap utopis oleh orang lain. Menurutnya, pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama untuk mengenal eksistensi manusia. Pendidikan yang menempatkan manusia sebagai subjek terpenting dalam pendidikan adalah hal yang paling penting bagi masyarakat saat ini.

Paulo Freire menganjurkan pendidikan yang memerdekakan karena, jika kita menginginkan pendidikan yang humanis, kita sedang berjuang melawan pendidikan yang dehumanis, yaitu pendidikan di mana guru berperan utama dan siswa harus menerima apa yang mengajarkan gurunya. Akibatnya, siswa yang dicetak bukanlah siswa yang kritis, tetapi seperti robot. Paulo Freire menggambarkan jenis pendidikan ini sebagai " sistem pendidikan bank", di mana guru. Tidak dapat disangkal bahwa pemikiran filosofis Paulo Freire sangat dipengaruhi oleh banyak filsafat, termasuk Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan Marxisme, sebelum ia dapat menghasilkan teori pendidikan untuk masyarakat sosial..

Paulo Freire mengatakan bahwa sikap rendah diri adalah yang membuat kaum tertindas tenggelam dalam lingkaran kemiskinan. Kaum tertindas menganggap dirinya sebagai "benda" yang dimiliki oleh kaum penindas. Mereka sering di beritahu bahwa mereka tidak berarti apa-apa, kelompok kedua dalam sturuktur sosial kita, terserah, malas, dan tidak produktif. Akibatnya, mereka benar-benar percaya bahwa mereka tidak berdaya. Mereka hampir tidak pernah menyadari bahwa mereka memiliki pengetahuan apa pun.

Sekarang kita semua tahu proses humanisasi dalam struktur pendidikan kita adalah sesuatu yang sangat hakekat dan melekan dalam setiap diri peserta didik, yang sering terlupakan dan digunakan. Ini cukup untuk mencapai tujuan karena humanisasi berfungsi untuk membangun sebuah masyarakat yang anti terhadap kondisi anti manusiawi, pemerasan, penentuan, dan kekejaman yang dilakukan oleh kaum penindas. Pada akhirnya, perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh kaum penindas akan mendorong mereka untuk bertindak dalam perjuangan melawannya.

          Masalah utamanya adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi yang tidak membuat pola sesat ini terulang untuk sekian kalinya, dimana kaum tertindas yang nantinya bebas dari penindasan malah berbalik menjadi penindas. Menurut pandangan Paulo Freire, kaum tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas, tetapi memulihkan kembali humanisasi antara kaum penindas dan tertindas.

Dalam bukunya, Paulo Freire menyatakan bahwa "pendidikan yang dialami oleh "kaum tertindas" selama ini sama dengan pendidikan dengan "sistem bank", di mana ruang gerak bagi kegiatan siswa saat ini berkutat pada soal mencatat, menghafal dan menyimpan apa yang disampaikan oleh pendidik.Dm hal ini Guru adalah subjek semua ilmu pengetahun, epicentrum kebenaran absolut bagi siswanya, sedangkan siswa hanyalah sumber daya. Pendidikan seperti ini jelas menahan kreatifitas siswa. Siswa hanya dipaksa untuk mengikuti ide yang telah di lotarkan oleh guru, tanpa harus mempertanyakan dan merefleksikan secara kritis tentang solusi masalah.

          Berangkat dari memilih gaya pendidikan "sistem bank", Paulo Freire mendorong sistem pendidikan yang dapat memperbaiki model ketika dianggap salah. Menurutnya, model pendidikan yang dia inginkan adalah proses dialektika, di mana interaksi antara pendidik dan siswa harus terjadi. Diharapkan bahwa dengan adanya dialektika, tidak akan ada lagi situasi di mana seseorang aktif "menabungkan" idenya kepada orang lain sementara yang lain hanya mengamini kesadaran semu yang di lontrakan oleh pendidik kepadanya.

Selain itu, Paulo menawarkan solusi untuk masalah tersebut melalui sistem yang dia sebut sebagai "pendidikan menghadapi masalah". Di sini, guru dan siswa bersatu dalam konsep pendidikan yang dialogis satu objek. Guru dan murid bekerja sama untuk berpikir; tidak ada lagi yang memikirkan dan hanya menerima dan menelan informasi. Sistem ini juga membuat guru dan murid berkolaborasi, mendorong mereka untuk berpikir kritis.

Paulo memandang pendidikan saat ini adalah sebagai instrumen yang menindas, di mana guru bertindak seperti penindas. Murid juga sebagai kelompok tertindas secara tidak sadar. Semua ini merupakan bagian dari lingkaran sesat yang telah dimulai pada awalnya dan tampaknya sulit untuk dihentikan. Orang-orang yang telah tertindas sebelumnya bisa jadi akan menjadi kaum penindas, dan tidak akan mampu mengubah ketidaksesuaian yang terjadi, namun malah mempertahankannya.

Pendidikan dengan gagasan "BANK" nampaknya menjadi kenyataan di dunia pendidikan. Dalam situasi di mana siswa digunakan sebagai bejana untuk penyimpanan, guru bertindak sebagai penabung dan siswa berfungsi sebagai celengnya. Guru akan lebih bahagia jika celengan lebih penuh. Bukan itu inti dari pendidikan; seolah-olah guru tahu segalanya, dan siswa tidak ada bedanya dengan kerbau yang mau di tarik sana- sini untuk mengikuti perintah guru yang terkesan "menindas"..

Guru-murid harus berinteraksi satu sama lain untuk belajar, bukan hanya mengajar. Guru pendidikan harus memandang siswanya hanyalah kelompok yang pasif dan bodoh. Dengan cara ini, pendidik dapat membantu siswa menumbuhkan rasa ingin tahu. Ini akan menghasilkan lingkungan belajar yang baik untuk pengembangan pikiran siswa. Guru belajar dari siswa, siswa belajar dari guru, dan guru dan siswa bekerja sama. Itu adalah pendidikan yang dibuat oleh Paulo Freire.

Sebenarnya, Paul Feire tidak memasukkan satu pun cabang filsafat dalam teori-teorinya tentang pendidikan. Namun, teorinya tentang realitas, teori pengetahuan, dan axiologinya semua digunakan untuk mencari cara untuk memahami pedagoginya. Selanjutnya, untuk memahami landasan filosofis Freire, kita harus memahami setidaknya tiga hal: bagaimana Freire mendefinisikan relitas, bagaimana dia percaya bahwa manusia dapat mendefinisikan realitas, dan apa yang dianggap penting. Setelah memahami jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, kita akan dapat memahami landasan filosofis Freire.

Menurut Freire, apa yang penting bagi seseorang adalah kemanusiaannya dan panggilan ontologisnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Selain itu, kita harus menyadari bahwa humanisasi, tujuan tertinggi manusia, dimulai dengan proses jaminan. Freire mengatakan dengan jelas bahwa "ini adalah tujuan (finalitas) pokok dari keberadaan manusia: menjadi manusia. Proses untuk menjadi manusia tersebut disebut humanisasi. Menurut pengertian Freire, humanisasi bukanlah pencarian kebebasan individu; proses humanisasi manusia merupakan orentasi membangun struktur sosial serta keinginan manusia untuk menjadi fitrah bagi semua lingkungan di alam semestanya.

 sangatlah sulit nagi kita semua dalam memhami gagasan paulo freire tanpa menunjukkan bahwa proses humanisasi mengejar nilai-nilai yang diharapkan dan menunjuk pada tujuan yang lebih tinggi daripada tujuan individu. Dalam proses humanisasi, setiap tindakan memiliki nilai Dalam karya-karya Freire, ide bahwa filosofi pendidikannya bersifat humanistik dicontohkan dan disokong dengan sangat baik. Karya-karyanya juga mencirikan tindakan kultural pada dasarnya dialogis . Tema dialog dalam pengajaran, pembelajaran, dan politik telah dibahas sejak Education as the Practice of Freedom. Essay Sobre La Action Cultural memperluasnya hingga menjadi topik yang khusus dibahas dalam BAB terakhir Pedagogy of the Oppresses. Realitas Menurut Paulo Freire.

Untuk memahami realitas seperti yang dijelaskan Paulo Freire, perlu bahwa memahami realitas melibatkan proses mengetahui . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa interaksi antara epistemologi Freire dan teorinya tentang realitas sangat penting untuk menentukan bagaimana hal tersebut tidak terjadi. Hal ini karena pemahaman dialektis tentang manusia didasarkan pada pemahaman negatif tentang manusia dan pemahaman positif tentang manusia sehubungan dengan cara mereka berinteraksi dengan dunia. Ada beberapa hal yang menjadi dasar pemahaman dialektis tentang manusia sebagai berikut ini:

1.Pertama, realitas manusia adalah proses. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan memusatkan perhatian pada titik-titik tertentu dalam proses sejarah yang dialektis saat mereka mempelajari realitas. Faktanya, ada banyak kontradiksi di dunia ini, tetapi ini tidak membatasi manusia karena mereka memiliki kemampuan untuk muncul dan campur tangan dalam proses sejarah.

2.Selanjutnya, jika manusia tidak memiliki hubungan dengan dunia melalui pikiran dan bahasanya, manusia tidak akan pernah dapat dipahami. Menurut Freire, hanya manusia yang memiliki kemampuan pikiran-bahasa; "kata manusia" atau "menamai realitas" bukanlah hanya pembentukan kosa kata; itu adalah kombinasi pikiran dan tindakan yang bertujuan untuk memanusiakan sejarah dan manusia.

3.Ketiga, manusia berbeda dari hewan karena kemampuan mereka untuk berpikir dan menyempurnakan hubungan mereka dengan dunia luar. Kesadaran dan tindakan manusia tidak bersifat historis, tidak seperti hewan. Mereka juga berbeda secara fundamental: hewan bertindak sesuai dengan kehendak manusia, sedangkan hanya manusia yang bertindak sesuai dengan kehendak. Sementara hewan hanya hidup, manusia dianggap bereksistensi.

4.Keempat, sebagian besar manusia hanya "hidup" tanpa "berada". Hak untuk memiliki, yang merupakan syarat bagi eksistensi manusia, ditolak oleh kaum tertindas karena mereka menolak hak mereka untuk menamai dunia. Para penindas, di sisi lain, melebih-lebihkan betapa pentingnya kepemilikan bagi setiap manusia untuk tetap ada dan menuntut hak istimewa untuk memiliki lebih banyak karena mereka tidak lagi ada. Karena mereka tidak memanusiakan diri mereka sendiri dan orang lain yang tertindas, keduanya tidak ada.

5.Kelima, menjalani eksistensi manusia adalah tugas praktis. Dengan menggunakan istilah "humanisasi" dari Teilhard de Chardin dan "praktik" dari Marx, Freire memberikan makna kemanusiaan pada sejarah dan budaya melalui aktivitas dan tindakan reflektif manusia. Jika manusia hanya menikmati refleksi semata-mata, mereka gagal menghumanisasikan hubungan-hubungan ini karena membatasi dirinya pada verbalisme. Manusia mungkin gagal berefleksi saat bertindak, dan rangkaian tingkah laku ini mengalami dehumanisasi karena ini hanyalah aktivisme yang mengabaikan kebutuhan untuk bertemu dan menghormati orang lain. Oleh karena itu, verbalisme dan aktivisme tidak beroperasi dalam dunia nyata.

6.Keenam, manusia masih belum selesai karena telah terjadi dalam masa lalu. Karena manusia adalah proses dan refleksif dan menyelesaikan, mereka melihat kenyataan sebagai proses. Akibatnya, manusia digambarkan sebagai makhluk historis dengan masa lalu, sekarang, dan masa depan. Freire menyebutnya dengan istilah "ser y estar siendo", atau dalam bahasa inggis, "untuk menjadi" dan "untuk menjadi", yang menggambarkan bagaimana manusia berada dan sedang menjadi.

7. kehidupan manusia merupakan kehidupan ontologis ganda---menjadi subjek dan menamai dunia. Penemuan diri manusia sebagai makhluk yang independen tidak terbatas pada satu titik dalam sejarah. Orang saat ini seharusnya menghasilkan kembali manusia sebagai subjek melalui refleksi terus-menerus. Dengan menyebut manusia sebagai pencipta, pencipta kembali, dan pencari, Freire menciptakan karakter eksistensialismenya dan gambaran manusia sebagai subjek yang berkembang. Karena orang yang gagal berhenti mencari dan merenungkan, dan hidupnya menjadi tidak asli.

8.Hubungan manusia di dunia kedelapan melihat realitas sebagai masalah semesta tematis dan situasi terbatas. Orang-orang dalam sejarah selalu menghadapi masalah untuk diselesaikan, dan mereka tidak terbatas pada masa sekarang. Masa lalu, sekarang, dan masa depan berhubungan dengan satu sama lain dan akan melanjutkan sejarah manusia. Sebuah periode yang diwarnai oleh kompleksitas gagasan, konsep, harapan, nilai, dan tantangan yang berinteraksi dialektis dengan lawan-lawan mereka, berjuang untuk humanisasi.

9.Kesembilan, bereksistensi secara politis berarti humanisasi. Satu-satunya cara bagi manusia untuk hidup adalah dengan bertindak atas dunia, sehingga dialektika kemapuan dan perubahan tetap ada dalam struktur sosial. Untuk humanisasi, praktik manusia harus terlibat dalam aktivitas politik. 16 Mereka memasukkan unsur politik ke dalam mitos, mengidealkan suprastruktur sebagai kemapuan untuk mencegah perubahan sosial. Realitas yang Bisa Diketahui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun