Tanpa mengingkari apiknya peran Vino G. Bastian sebagai bapak Dodo, tulusnya cinta Marsha Timothy sebagai mama Uwi kepada bapa Dodo, maupun peran serius Deny Sumargo sebagai pak Hendro, kocaknya penghuni sel nomor 7, maupun penampilan apik pemeran lainnya yang berhasil mengajak penonton bersenang maupun bersedih,
arah pandangan dalam tulisan ini lebih memfokuskan pada detail- detail kecil dan kehadiran Dinsos sebagai antagonis yang berusaha menjauhkan Kartika dari Pak Hendro setelah kematian bapak Dodo.
Berkembang dari film aslinya, 2and Miraclle In Cell Number 7 versi Indonesia ini, menekankan konflik cinta dan konflik kepentingan yang khas Indonesia.
Dengan menghadirkan lembaga Dinsos, konflik tumbuh melalui cara orang orang memanfaatkan posisi dan kekuasaan mereka di lingkungan pemerintahan untuk kepentingan pribadi.
Hal yang menarik lainnya adalah apakah Dinsos semaksimal itu, memberi tempat bagi anak-anak yatim piatu di Indonesia?
Melalui skema buku harian mama Uwi, kita diajak pulang untuk melihat kisah di masa lalu, sambil berjuang untuk berada di pihak pak Hendro dalam perebutan hak asuh Kartika di masa sekarang, di tahun 2004 dalam waktu cerita.
Berlayar dalam kehidupan Kartika kecil  selama  dua setengah jam, kita  ditemani dengan komedi ala Rigen dan Indra Jegel.
Kalau pada pada film yang pertama, pentas teater berlangsung di penjara, di dalam cerita kini pentas teater dilakukan di sekolah Kartika melalui akal-akalan surat palsu dan memanfaatkan kepala lapas yang suka menjadi sorotan di muka umum.
Meskipun merupakan drama keluarga, lingkungan dalam cerita ini berada di dalam situasi sosial dan lembaga negara.
Pengadilan menjadi ruang yang penting bagi perebutan hak asuh Kartika, sekolah sebagai wadah hubungan yang baik antara guru dan murid, dan penjara. Mengenai lokasi ini, kritik tumbuh di dalam adegan teater sekolah, mereka membandingkan penjara para bajingan kecil ini dengan para koruptor.