Beberapa perjalanan yang menyenangkan bisa saja datang dari ide spontan dan ajakan basa-basi, yang tersambut dengan baik tentunya.
Cerita perjalanan kami ke gunung Sepikul di Desa Tiyaran dan wisata Batu Seribu di Desa Pacinan Kabupaten Sukoharjo, juga datang dari ajakan spontan dan ide basa-basi.
Berawal dari seorang teman di ruang kelas yang tiba-tiba bertanya tentang tempat wisata yang bagus di Solo Raya, seorang teman menyambut baik dengan merekomendasikan Gunung Sepikul di Sukorharjo sebagai tempat yang bagus untuk melepas penat dan healing sejenak.
“Kita bisa menikmati matahari fajar dengan bulat keemasan,” tukasnya penuh semangat.
Kami pun menyambut baik untuk berangkat ke sana dengan persiapan seadanya, tanpa survey , tanpa berpikir apa yang akan kami jumpai di sana.
Bermodal keyakinan inilah kami bersepakat untuk berangkat. Menyusuri jalanan kota Sukorhajo yang perlahan ramai di waktu pagi, barisan sawah-sawah selepas panen membawa kami tiba di kaki Gunung Sepikul.
Ya, meskipun maps sempat membuat kami salah arah.
Berangkat kesiangan dari Solo, juga membuat kami gagal menikmati fajar yang ditawarkan.
Tiba-tiba Gunung Sepikul
Ada kilasan sejarah yang luput dari cerita Cinta Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang yang legendaris itu. Bahwa Gunung Sepikul adalah serpihan dari candi yang gagal dibangun Bandung Bondowoso oleh sebab kokok yang dipaksakan oleh Roro Jonggrang.
Diyakini oleh masyarakat Gunung Sepikul adalah tempat pertapaan Bandung Bondowoso.
Gunung yang lebih layak disebut sebagai bukit batu ini, ternyata tidak hanya menawarkan fajar tetapi juga deretan pemandangan yang indah.
Di kelilingi oleh deretan persawahan, gunung sepikul memberikan pemandangan indah untuk setiap waktu. Gunung Merbabu, Merapi, Lawu juga bukit-bukti di antara dataran sawah terpampang indah di hadapan kami.
Di Gunung sepikul kami menghabiskan waktu dengan mengulas berbagai hal. Tenggelam dalam sapuan angin sepoi-sepoi, kami berceloteh tentang harapan-harapan.
Kami juga menjumpai beberapa pengunjung, mulai sekelompok bapak-bapak dari komunitas sepeda, bocah-bocah lincah yang dengan riang mendaki bukit batu untuk mengisi hari libur sekolah, juga orang-orang lain yang berfoto dengan latar indah itu..
Aktivitas kami di gunung sepikul diakhiri dengan memungut sampah di sekitar jalur pendakian.
Tiba-tiba Batu Seribu
Setelah melewatkan pagi di Gunung Sepikul, kami pun turun dan mencari makan untuk menambah energi.
Di sela-sela makan itu munculah ide untuk mencari lokasi lain yang sekiranya menarik untuk ditelurusi. Dalam pencarian di google berjumpalah kami dengan wisata Bukit Seribu, tentu saja dengan mempertimbangkan akan jarak dan waktu tempuh.
Sejarah tentang wisata pemandian ini juga tidak kalah mentereng dari kisah cinta di Gunung Sepikul. Namun tak seperti Bandung Bondowoso yang menanggung kisah cinta sepihak, kisah di bukit seribu ini menawarkan kisah cinta yang abadi yakni kesetiaan.
Kisah terjadinya Bukit Seribu datang dari kisah suami istri, Dewi Lanjar dan Ki Gathok suaminya.
Karena cintanya kepada Ki Gathok, Dewi Lanjar pun turut menyeburkan diri ke dalam kolam untuk mengikuti sang suami yang telah lebih dahulu tenggelam.
Karena kepanasan akibat memakan telur di hutan, Ki Gathok terpaksa menyeburkan diri ke dalam kolam dan tenggelam.
Sepasang kekasih inipun meninggal di sana dan menjadi simbol dari mata air yang katanya tak pernah kering ini.
Masyarakat pun mempercayai mitos bahwa apabila ada sepasang kekasih yang datang dan mandi di kolam wisata Bukit Seribu akan senantiasa langgeng dalam hubungannya.
Karena di antara kami bukanlah pasangan kekasih, kami pun enggan membuktikan mitos itu dengan menyeburkan diri dalam kolam.
Di Bukit Seribu kami menghabiskan waktu dengan bercengkarama di bawah rindang pepohonan.
Sekian!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H