Hingga saat ini,publik terus mengikuti apa yang sedang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).Publik menilai bahwa ada gesekan,ada konflik ataupun benturan antara KPK dan Polri,sekalipun elit politik terus tampil mengklarifikasi bahwa kedua institusi penegak hukum tersebut tidak mengalami gesekan,konflik ataupun benturan.Publik justeru melihat bahwa ada sebuah persoalan serius yang sedang terjadi antara KPK dan Polri.
Kemelut antara KPK dan Polri ini bermula ketika Presiden Jokowidodo yang akrab disapa Jokowi mencalonkan Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).Namun pencalonan tersebut tidak berjalan mulus,karena pada tanggal 13 Januari,KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus "rekening gendut" dan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b,Pasal 5 ayat 2,Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.Sepuluh hari kemudian pasca ditetapkannya Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK,tepatnya pada tanggal 25 Januari,Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto,ditangkap layaknya seorang penjahat besar oleh Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar (Bareskrim Mabes) Polri.Pihak Mabes Polri menyebut,Bambang Widjayanto ditangkap karena telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan menghadirkan saksi palsu di Makhamah Konstitusi (MK) dalam kasus Pemilihan Bupati Kota Waringin Barat,Kalimantan Tengah.
Tidak sampai seminggu pasca penangkapan Wakil Ketua KPK,Bambang Widjayanto,tiga Komisioner KPK yang lain dilaporkan pula ke Mabes Polri antara lain : Zulkarnaen dilaporkan terkait dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada Tahun 2008,Adnan Pandu Praja dilaporkan terkait dugaan pengambil alihan saham PT.Desy Timber,Abraham Samad dilaporkan karena dianggap melanggar Pasal 35 dan Pasal 36 UU KPK terkait dugaan pertemuan dengan petinggi PDIP dalam upaya pencalonannya sebagai Wakil Presiden.Dengan kondisi ini,maka semua komisioner atau pimpinan KPK yang berjumlah 4 orang telah dilaporkan ke Mabes Polri dalam waktu relatif singkat yakni dua minggu pasca penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK.
Menguak Politik Oligarkhi dan Balas Budi
Publik tentunya berhak untuk mengetahui siapakah sebenarnya Komjen Pol Budi Gunawan yang dicalonkan oleh Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri.Budi gunawan memang harus diakui memiliki sederatan prestasi dalam jenjang karirnya di Polri.Sederatan prestasi tersebut menghantarkan Budi Gunawan menjadi ajudan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri.Kedekatan Budi Gunawan dengan Megawati dan eli Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setidaknya mulai menguat ketika posisinya sebagai ajudan.Hal inipun diakui oleh politikus senior PDIP,Pramono Anung juga Trimedia Panjaitan.
Dalam masa Pemilihan Pilpres,terkuak fakta bahwa Budi Gunawan yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian,melakukan pertemuan dengan Tim Pemenangan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Jokowidodo-Jusuf Kalla yang berlangsung di Restoran Sate Khas Senayan,Menteng.Untuk persoalan tersebut,Irwasum Mabes Polri menyatakan bahwa telah meminta klarifikasi Budi Gunawan dan Budi Gunawan menyatakan bahwa pertemuan tersebut terjadi secara tidak sengaja atau bukan sebuah pertemuan yang direncanakan.
Dari dua fakta ini rasanya sulit diterima oleh publik bahwa Presiden Jokowi bertindak "independen" dalam pengajuan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.Publik lantas menduga bahwa oligarkhi partailah yang memainkan kepentingannya melalui Presiden Jokowi terkait pencalonan tersebut.Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Ketua Tim 9 Syafii Maarif,sebuah Tim Independen yang dibentuk oleh Presiden untuk menangani kisruh antara KPK dan Polri.Ketua Tim 9 atau Tim Independen Syafii Maarif mengungkapkan bahwa pengajuan Komjen Pol Budi Gunawan bukan inisiatif Presiden Jokowi.Pernyataan ini disampaikan Syafii Maarif setelah bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Presiden pada Rabu,28 Januari.
Bila mencermati kedekatan antara Komjen Pol Budi Gunawan dengan Megawati dan elit PDIP juga pernyataan Ketua Tim 9 atau Tim Independen Syafii Maarif maka publik akan dapat melihat bahwa terkesan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan dipaksakan.Bila kita jeli melihat ke belakang,maka sesungguhnya PPATK dan KPK telah memberi peringatan yang jelas kepada Presiden Jokowi soal Komjen Pol Budi Gunawan.Ketika Presiden Jokowi meminta PPATK dan KPK menelusuri rekam jejak calon Menteri yang akan menduduki kabinet,sesungguhnya nama Komjen Pol Budi Gunawan diusulkan oleh Presiden Jokowi masuk bursa calon Menteri.Akan tetapi nama tersebut diberi rapor merah pada posisi nomor 1 oleh PPATK dan KPK karena kasusnya dalam penanganan.Akan tetapi realitasnya,nama tersebut kembali dicalonkan oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri sebagai calon tunggal menyingkirkan 8 calon lainnya.
Presiden Jokowi sebenarnya memiliki kesempatan untuk menarik kembali atau membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan tersebut ketika ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.Namun kesempatan itu tidak pernah dipakai oleh Presiden Jokowi.Hal ini sesungguhnya membuktikan bahwa Presiden Jokowi bukan saja berada dalam intervensi kepentingan elit politik melainkan juga ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam menghasilkan kebijakan strategis yang secara prinsip kebijakan strategis tersebut lahir dari sebuah keptusan yang "berdikari".Sebuah kenyataan yang memperlihatkan bahwa sikap dan tindakan Jokowi bertolak belakang dengan apa yang selalu dia kumandangkan tentang ajaran Bung Karno "berdikari".Bagimana mungkin Presiden Jokowi akan menjalankan ajaran Bung Karno tentang "Berdikari" jika dia sendiri berada dalam belenggu kepentingan oligarkhi partai politik dan balas budi?
Muslihat Untuk Menumpulkan KPK?
Saya sangat tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Butet Kertarajasa ketika memberi dukungan kepada KPK dalam kasus penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto,sebagai "Muslihat"."Muslihat" memiliki padanan kata dengan "persengkongkolan jahat,persekutuan jahat atau permufakatan jahat".Butet Kertarajasa,publik termasuk saya,bisa saja mengungkapkan adanya dugaan terkait "muslihat" tersebut.Lalu darimana kita dapat menyimpulkan dugaan muslihat ataupun permufakatan jahat tersebut?