Mohon tunggu...
Ryan
Ryan Mohon Tunggu... Freelancer - penulis

dari Flores

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Allah Menurut Feuerbach: Proyeksi Diri Manusia

28 Februari 2011   16:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:11 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Karena Allah adalah alienasi diri manusia dari dirinya sendiri, agama tentu adalah sebuah kenyataan yang harus diatasi oleh manusia sendiri. Manusia bisa mengatasi keterasingannya itu kalau ia sadar akan hakikatnya sendiri.
Tanggapan

Feuerbach telah berhasil memberi pendasaran ilmiah bagi ateisme. Kata Feuerbach, "Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah ia harus menemukan dirinya di dalam Allah". Ia juga menjelaskan hakikat yang palsu atau teologis dari agama, artinya, pandangan yang menganggap Allah mempunyai keberadaan yang terpisah di luar manusia. Karena itu muncullah berbagai keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang menurutnya tidak hanya merusak pemahaman moral, tetapi juga "meracuni, bahkan menghancurkan, perasaan yang paling ilahi dalam manusia, yaitu pengertian tentang kebenaran". Keyakinan akan sakramen seperti Perjamuan Kudus, juga dilihat oleh Feuerbach sebagai sepotong materialisme keagamaan yang "konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas".

Namun, meskipun Feuerbach melihat Allah sebagai proyeksi dari diri manusia, ini tidak berarti bahwa Allah itu tidak lebih dari sekedar proyeksi. Feuerbach pun belum menyentuh pertanyaan ini; apakah memang Allah itu tidak lebih daripada sekedar proyeksi diri mansuaia? Pertanyaan dasariah apakah Allah itu ada atau tidak, juga belum ia sentuh. Feuerbach hanya berusaha mengidentifikasi Allah sebagai hasil angan-angan manusia. Ia hanya bisa mengatakan bahwa Allah bisa dimanipulasi oleh orang beragama  yang merasa terblokir dambaannya. Oleh karena itu seandaianya Allah itu memang ada, maka tentu tidak ada salahnya jika manusia itu menyembahnya, menyandarkan diri pada-Nya sebagai entitas tertinggi, yang lebih dari sekedar proyeksi diri manusia. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah benar-benar ada) manusia menemukan jati dirinya.

Di sisi lain, seandainya memang Allah adalah proyeksi diri manusia, maka sulitlah untuk menjelaskan bahwa sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh manusia. Manusia pada dasarnya makhluk terbatas, dan bagi orang beragama (yang mengakui Allah), maka hal yang khas bagi Allah adalah keberadaanya yang tak terhingga. Dan manusia sebagai makhluk yang terbatas, dalam lingkup pengalaman inderawinya, tidak pernah mengalami apa yang tak terhingga itu. Maka, tidak mungkin bahwa hakikat tak terhingga (yang ditunjukkan dengan kata maha-) itu sebagai proyeksi dari hakikat manusia karena hakikat ketakterhinggaan dalam kemanusiaan tidak ada. Dapat dikatakan bahwa manusia bisa beragama dan percaya pada Allah justru karena kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-indrawinya. Atau dalam pandangan antropologis filosofis modern manusia adalah makhluk yang  mempunyai dimensi transenden justru karena ia mempunyai jiwa sebagai prinsip unifikasi yang imaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada "ada", bahkan pada Ada Tertinggi, Allah sendiri.

Penutup

Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi dari angan-angan  manusia akan hakikatnya yang sempurna, maka Feuerbach jatuh dalam antropologi yang justru mempermiskin pemahaman mengenai manusia. Manusia bagi Feuerbach hanya dilihat sebagai makhluk inderawi. Ia dilepasakan dari kemampuan lain di luar kemampuan inderawinya. Itu semua tidak diperhatikan Feuerbach. "Secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi Feuerbah adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan monodimensional."Ia mengajarkan suatu antropologi yang berpretensi memperkaya manusia. Namun ironinya, antropologi Feuerbach malah mempermiskin manusia--justru lantaran ia membuang agama dari padanya.

Meski demikian konsep Allah sebagai proyeksi diri manusai ada manfaatya juga bagi orang-orang beriman. Kerapkali orang beriman (terutama para pemimpin) melakukan sesuatu atas nama Allah, padahal itu adalah pantulan dari kehendaknya sendiri untuk berkuasa, mendominasi dan mendapat kepuasan batin atau mungkin juga demi pemenuhan hidden needs dalam dirinya. Fantasi saleh yang keterlaluan-bukan tindak mngkin merupakan pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan untuk  berusaha. Maka bagi orang bergama, sisi  positif dari konsep Feuerbach adalah diajak bahkan didesak untuk mawas diri dan wapada terhadap laku hidup beragam karena Allah itu yang dijadikan sebagai sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi dari kehendak manusia sendiri. Demikian menurut Feuerbach.
Daftar Pustaka:

Budi Hardiman, F. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia

Hamersma, Harry. 1990. Tokoh-tokoh  Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Lili Tjahjadi, Simon Petrus. 2006. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis-Suzeno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun