Selain itu, kegiatan pengembangan CBM juga belum bisa maksimal dikarenakan penetapan pajak yang begitu banyak. Sebagaimana yang diisyaratkan pada pasal 31 ayat 1 dan 4 UU Migas, disebutkan bahwa para investor harus membayar pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai pada tahap eksplorasi. Hal ini tidak sejalan dengan biaya investasi CBM, mengingat sumber energi ini masih terhitung barang baru, dan pengembangannya memiliki resiko yang sangat tinggi. Berkaca pada realita ini, maka sudah tentu investor akan lebih melirik negara-negara lain yang lebih meringankan beban pajaknya daripada di Indonesia.
Dengan demikian, telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia masih memiliki tugas yang banyak untuk membenahi proses pengembangan sumber energi alternatif ini. Pemerintah harus lebih fokus lagi terhadap perkembangan energi baru terutama CBM yang memiliki cadangan besar di Indonesia agar dapat mengatasi krisis energi primer Indonesia. Fokus yang dimaksud disini adalah pemerintah harus senantiasa giat mencari cara untuk memikat para investor seperti apa yang telah dilakukan oleh negara Cina dan India. Tidak lupa juga, pemerintah harus konsisten dan menjalankan kebijakan secara berkesinambungan, dengan tetap berorientasi pada kacamata ekonomi jangka panjang tanpa lupa memikirkan nasib dan kehidupan anak-cucu bangasa Indonesia kelak. Jika demikan, bukan hal yang tidak mungkin pemenuhan CBM dalam target Energy Mix Indonesia 2025 akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H