Foto pertama untuk lelaki pertama yang sosok atau tutur bicaranya hanya bisa dirindukan saja. Ia kini berbaring dalam sebuah peti jati sederhana di dalam bangunan tanpa pintu ini. Bangunan dengan satu-satunya akses menuju ke dalam berupa jendela bermotif ukir yang lebarnya tak lebih dari tujuh puluh empat sentimeter.
Lelaki pertama berbaring di sini setelah nyaris menghabiskan dua tahun usia senjanya sebagai pasien. Antara ritus tiga kali satu, antara bolak-balik rumah dan rumah sakit, serta lebih banyak visitasi ke-dan-dari dokter serta perawat.
Sampai pada suatu hari, pada petang yang merembang di hari kedua puluh empat di bulan kesembilan tahun lalu, dalam satu larik syair Lord Tennyson, God finger’s touched him and he slept.
Iya, lelaki pertama itu, tertidur selamanya. Selama-lamanya.
Lelaki kedua yang tampak pada foto ini berkemeja lengan panjang yang digulung nyaris setengah. Sarung melingkar dari pinggangnya ke bawah. Hitam-hitam dan tampak kusut sana-sini.
Ia berdiri dan sekilas tersenyum. Mungkin ia teringat kepada seseorang yang pernah berkata, “Karena pada akhirnya semua orang akan pergi dan yang terbaik yang engkau bisa dari sebuah rasa kehilangan adalah sumarah. Memasrahkan segalanya pada panduan iman yang jauh melintasi kematian. Juga pada napas harapan dan pada bentangan kasih selapang jagat raya. Memasrahkan segalanya betapa Ada yang selalu jauh lebih menjaga masing-masing hidup kita dibanding kedua tangan kita sendiri.”
Babak pada siang yang terik itu berakhir cepat. Di depan makam, para kerabat dan kenalan mengunggah doa lalu beranjak pulang. Pulang meneruskan hidup yang selalu layak untuk dijalani. Pun, lelaki kedua ini. Ia mulai mengarahkan kakinya menjauh dan sambil bergerak pergi, ia menoleh ke belakang, memandangi makam lelaki pertama, ayahnya, sekali lagi.
Ia pamitan,