Dari sana, kau mulai bermimpi tentang negeri yang jauh, di mana kemakmuran bisa kau raih, di mana mungkin apa yang terhebat dari diri bisa kau kembangkan. Tempat-tempat yang menurutmu bisa menyediakan kesempatan yang lebih baik, bisa memberi tingkat penghidupan yang lebih tinggi, bisa memaksimalkan apa yang ada di dalam diri, kau bermimpi ada di sana. Lalu, untuk sesuatu yang ada di sana, kau mulai menggambarkan sketsanya. Kau mulai memasang peta dunia yang jauh dan asing di dinding hatimu. Peta dunia, lengkap dengan rute perjalanannya, demi sebuah petualangan, tetapi terutama demi kemaslahatan nasib.
Pelan-pelan kau mulai merubah mimpi itu. Ia bukan hanya sekedar bunga tidur, tetapi mudah-mudahan, menjadi sesuatu yang bisa mewujud dan dapat dijangkau. Mimpi-mimpi yang dulunya mungkin tumbuh dan mulai kau bangun di bawah pohon mangga masa kecilmu, atau mungkin muncul bersama obrolan dengan teman, atau bermula dari harapan yang ditanamkan oleh orang tua, kelak kau konversi menjadi cita-cita. Kelak itu yang membawamu jauh pergi melintasi kampung para leluhurmu. Meninggalkan pelukan hangat bapak dan ibumu, meninggalkan kenangan subur nan manis masa kanak-kanakmu, lalu terbang menjadi anak burung rantau zaman baru. Zaman baru, ah, tentang dengan kesulitan baru. Zaman baru, wah, tentunya juga dengan peluang yang baru. Kau melintasi cakrawala tanpa batas karena Bumi yang kau anggap begitu luas, kini kian hari kian ciut oleh sains namun juga penuh dengan musim paceklik yang kian hari kian keras dan kian menuntutmu seulet mungkin mengimprovisasi diri. Jarak geografis menjadi sesuatu yang tak masalah. Toh, rentang perjalanan antara Utara dan Selatan, melintasi Timur lalu ke Barat hanyalah nyaris sebentuk lompatan kecil nan singkat dibanding usia dan perjalanan semesta raya yang begitu lama dan begitu panjang. Maka, dengan sebekal penuh paket doa dan harap, kau mulai meninggalkan kampung halamanmu. Kau mulai bermigrasi!
Sejarah adalah monumen repetisi untuk mengamini nil novi sub sole. Ini termasuk sejarah migrasi yang berulang dan berulang. Nenek moyangmu yang pertama mungkin berasal dari Afrika sana. Mungkin karena terdesak cuaca atau gejala alam lainnya, mereka melintasi lautan, menyusuri pantai. Generasi ke generasi lalu menetap atau mencari pantai-pantai baru, atau menuju pedalaman-pedalaman baru hingga suatu saat tiba di tanah kelahiranmu. Mereka menanam pohon silsilah baru yang hingga suatu ketika mewariskan 23+23 pasang gen ke kedua kakek-nenekmu lalu berlanjut turun ke ayah dan ibumu.
.
Pertama-tama, kau tak tahu apa-apa ketika lahir dari rahim ibumu. Bahasamu yang pertama hanyalah tangisan. Dunia bagimu begitu kecil, hanya selingkaran gendongan ibumu atau selebar bahu ayahmu. Lalu kau mulai belajar merangkak dan berjalan, serta berkata-kata. Ketika bersekolah dasar, kau mulai tahu banyak hal, mulai berteman dan belajar bertetangga. Berlanjut ke SMP lalu ke SMA, dunia yang dulunya kau kenal hanya seluas pagar halaman rumahmu, tiba-tiba kini seluas semesta. Rumahmu hanyalah sebuah titik kecil, pada sebuah planet kecil, pada sebuah galaksi kecil di antara jutaan galaksi yang ada di semesta. Kau mulai bermimpi tentang banyak hal. Terus, misalnya karena tidak ada perguruan tinggi di tanah kelahiranmu, kau mulai berpindah ke Kota X dan menamatkan sekolah di sana. Sesudahnya, lewat kolom lowongan dari koran atau lewat info yang kau dapat dari saudara atau kenalan, terbuka kesempatan kerja di Kota XX. Dirimu lalu mengepak diri dan berangkat ke sana. Bla bla bla, dus dus dan dus, singkatnya, kau sudah berada di Kota XXX ini. Tanpa sadar, kau telah bermigrasi.
Sekarang kau ada di … (Kata ibu guru, “Isi sendiri, yah!”). Kau menemukan habitat baru. Mimpimu yang kemarin sudah menyata. Kau bertemu orang baru, suasana baru, lalu berasimilasi. Kau belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, lalu pelan-pelan terbiasa dengan seluruhnya. Akhirnya, kau menemukan rumah baru, membangun keluarga, dan beranak-pinak. Dari situ juga, kau mulai merintis karier, memperluas jaringan, meski toh kau tetap menjadi kaum perantau mini setiap harinya. Setiap pagi, kau keluar rumah untuk bekerja dari pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore, atau mungkin sudah sejak subuh dan pulang larut malam. Kau nyatanya nyaris berumah di perjalanan. Rumahmu yang baru hanyalah semacam rest area di tol di mana kau berhenti sejenak untuk isi bensin atau ke toilet, rehat atau mengisi perut, lalu melanjutkan perjalanan. Setiap hari, nyaris tujuh hari dalam seminggu. Dikali setahun? Tapi tidak apa-apa. Toh, seperti orang-orang sering katakan, rumahmu adalah tempat hatimu berada, maka segala apa yang kamu lakukan di luar hanya untuk menyatakan cintamu kepada rumah barumu.
.
Beberapa tahun lalu, 5 atau 10 tahun lalu, atau mungkin saja baru kemarin kau mengembangkan sayap. Ada yang sejauh hanya beberapa kilometer, sementara yang lain bisa ratusan atau bahkan ribuan kilometer dari landas pacu pertamanya, kampung halaman. Sekarang kau ada di sini. Kembali kau mulai bermimpi. Mimpi yang sangat sederhana. Sesederhana betapa kebahagiaan itu terutama dibangun dari dalam, betapa hidup harus dijalani dengan lapang, dan sisanya biarkan bentangan samudra rahmat yang berbicara. Kini atau mungkin suatu saat nanti, bila rambutmu sudah mulai memutih dan dominasi keriput mulai menjajah kulitmu, adalah muskil untuk melupakan tentang suatu momen, akan suatu tempat yang jauh di sana namun selalu dekat di hati. Tempat di mana dulu Jalur Sutra pertamamu berawal. Suatu perjalanan ke dan dari. Perjalanan membawa dan mengumpulkan garam-garam pengalaman. Apa yang sedang kau alami, mungkin sudah atau malahan baru akan terjadi, menjadi sebesar apa atau bahkan tidak menjadi siapa-siapa, semuanya bermula dari sana. Jalan panjang dari hulu ke hilir yang di sini, tentang pahit dan manisnya balutan kenangan perjalanan, itu yang menjadikanmu selalu, orang hilir yang selalu rindu akan hulu.