Mohon tunggu...
Ryan Andin
Ryan Andin Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Burung Rantau Kecil

25 Februari 2011   17:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cepatlah besar teman kecilku, burung rantau kecil dalam musim pancaroba negeri kita. Kelak, bila engkau sudah mulai terbang, meninggal  rawa-rawa penuh kasih dalam dekapan asih dan asuh ayah-ibumu, jangan pernah lupakan: sebenarnya, peran kita untuk apa dan siapa.

Sebentar lagi engkau akan mulai berlari, teman kecilku. Dari merangkak, kini engkau sudah bisa berjalan. Entar lagi engkau akan lancar ngomong, mulai bisa teriak, suka ini dan nggak mau yang itu. Pelan-pelan, engkau mulai belajar mengenal dunia.

Dari dunia kecilmu, kamu mulai mengeja  nama papa, mama, dan orang-orang yang ada di sekitarmu. Mulai bisa memanggil mereka. Lalu hari semakin bertambah, duniamu semakin luas. Pagi, kamu mulai menangis ketika tahu mereka akan pergi dan terpaksa meninggalkanmu, lalu sore betapa kamu akan berteriak hore saat mereka pulang. Dengan cepat kamu mulai merasakan arti ke-ADA-an dan ke-HILANG-an. Kelak engkau akan lebih sering diharu-birukan oleh kedua kata itu. Katanya, dari  kata ada tak banyak yang dapat kita pelajari selain rasa syukur dan terima kasih namun dari kata hilanglah, kita akan beroleh banyak. "Kita  tak akan pernah bisa belajar menjadi makhluk yang berani dan sabar jika dunia hanya menawarkan kesenangan semata". Itu kata Hellen Keller. Dan beliau membuktikannya. Eyang Hellen sanggup menjawab, melawan, dan melalui tantangan situasi yang memberinya kepahitan dengan segala keterbatasan fisik dan berhasil menjadi seorang juara; tentu tidak dengan mengalahkan orang lain tapi sukses berdiri di atas keterbelengguan keadaan yang mengekangnya. Kelak engkau akan tahu apa arti rasa kecewa, marah, disakiti, tapi biarlah kamu mulai lebih awal mengenal itu semua. Mulai tahu, semua yang kita inginkan tidak serta merta harus digenapi. Dan mudah-mudahan, kedua orang tuamu tidak akan pernah menyembunyikan semua itu dari dirimu. Biarlah kamu bertumbuh dalam kesadaran awal itu!

Senyummu memalingkan mata kami dari kisah-kisah pilu tentang betapa dunia yang kita tempati adalah ladang tempat tumbuh suburnya kekejaman. Tawamu adalah firdaus kecil yang menawarkan kesadaran bahwa, di sini atau di mana saja, selalu ada dan banyak bilah-bilah kebahagian yang bisa dinikmati. Senyummu menghapus reraut marah di wajah kami. Ia membungkam gejolak rasa benci yang lebih sering meluap, memenuhi rongga di dada kami. Ia memuaikan rasa capek dan dari senyummu kami belajar untuk kembali mengenal dunia, memandang dengan mata bening serta mendengar dan merasai dengan hati jernih segala sesuatunya. Semoga kelak, meski mungkin tak sesumringah sekarang, tetapkan senyummu. Ia menumbuhkan harapan baru, yang baik, pada alam sekitar. Ia mengisi ruang-ruang gelap nan kosong di diri kami yang lebih sering memilih mencari terang entah di luar sana sambil sebenarnya mematikan terang yang ada di dalam.

Sebentar lagi engkau akan mulai belajar menggambar Matahari yang mengintip dari balik gunung. Menggambar bukit dan pohon. Berlatihlah terus dengan itu, dan semoga lewatnya, tumbuhkan kecintaan, biar kelak bila peranmu diperlukan menjadi yang utama, kamu tak akan serta-merta mengutuki semua kejadian pahit sebagai salah Matahari. Kamu tidak akan serta merta mengangguk iya, setuju, bila gunungmu, bukitmu, pohonmu, dipangkas lalu dipindahkan menjadi bangun-bangunan dalam ruang kota yang mengungkung kita perkita dari sesama, yang membuat kita menjadi asosial terhadap dunia, atau malahan asing terhadap diri sendiri.

Katakan benar bila jawabnya memang benar, dan salah kalau seharusnya memang begitu. Ada masa memang dimana nantinya kamu tak akan selalu bisa menjadi baik. Tapi tak apa-apa. Kesalahan bukan barang baru, bukan sesuatu yang aneh dan kemanusian kita memaafkannya. Tapi cobalah untuk selalu jujur. Berusahalah untuk itu meski nanti, oleh sekitarmu, kamu akan dikelilingi tembok-tembok kebencian dan pengasingan. Tapi tidak apa-apa, kan! Kalau sejak awal kamu sudah belajar memahami arti kehilangan dengan segala kemasannya, maka yang itu bersama seluruh duka, rasa pilu, pengkhianatan yang ditetaskan bersama dengan hadirnya kesenangan, rasa damai dalam dunia, kamu pun pasti bisa melaluinya.

Cepatlah besar teman kecilku, burung rantau kecil dalam musim pancaroba negeri kita. Kelak, bila engkau sudah mulai terbang melintasi ratusan ribu bahkan jutaan kilometer dalam perjalanan panjangmu mencari, apa yang kamu tinggalkan pada setiap wajah yang kamu temui adalah orang akan mengingat, bukan terutama tentang tulisan indah yang berhasil mereka ingat atasmu tapi tentang bagaimana kamu: menyapa, tersenyum, mempersilahkan atau menyuguhkan teh pada seseorang, bahkan yang asing sekalipun.

(Tapi, ya, sementara kami sibuk mencemaskan dan mengajarimu tentang bagaimana menghadapi segalanya, ternyata kamilah yang belajar banyak darimu, bagaimana seharusnya menikmati kata: menjalani.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun