Mohon tunggu...
Ryan Andin
Ryan Andin Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Untuk Para Abdi Negara

29 November 2010   01:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:13 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12892737611828515862

Untuk semua kejahatan yang terpaksa akibat ketakberdayaan ekonomi, sorry, saya terpaksa menamainya "dosa kecil". Ia hanya ekses, jalan keluar memperbaiki nasib, atau malah hanya bersembunyi dari takdir yang tak kuasa bisa dirubah. Ekses itu hanyalah sebentuk perlawanan terhadap kuasa, entah apa atau siapa yang kok serasa tidak adil, meski memang salah.

Ada orang tua yang meninggalkan anak balitanya begitu saja, perempuan yang bunuh diri dari atas menara BTS, si Ibu yang membakar diri dan anak-anaknya di kamar mandi, etc.

Kenapa ada anggota keluarga kita yang begitu berani bertindak senekad itu? Memilih jalannya sendiri, meninggalkan keluarganya atau menyalakan bara dalam rumah tangganya, sementara yang lain sudah sungguh terluka, berjalan tertatih, sibuk keluar, dan berusaha menyelesaikan bejibun masalah yang tak kunjung terbereskan. Kenapa ada dari anggota keluarga kita yang berani bertindak senekad itu? Apakah karena sang ayah terlalu pilih kasih dalam memberi jatah sangu bagi anggota keluarganya yang lain atau sang ibu yang berlaku terlalu tidak adil dalam membagi lauk-pauk kesempatan untuk bisa menikmati kemungkinan pembagian piring kebahagian yang cukup, agar bisa merasa nyaman, agar bisa merasa tidak gelisah dan takut, agar bisa merasa dihargai di rumahnya sendiri, sehingga begitu tega, ya sungguh begitu tega bertindak salah dan nekad, mengambil jalan pintas "bunuh diri".

.

Every man has a breaking point. Setiap orang punya ambang batas toleransi dan mungkin itu semua adalah kulminasi dari ketidakmampuan anggota keluarga kita dalam menangkis serangan bertubi-tubi ketakberdayaan dan tersepelehkan. Untuk hanya cukup bisa menikmati sedikit damai pun tidak. Untuk hanya cukup bisa merasa tidak terlempar dari kereta api, ekonomi lagi, kehidupan pun belum mampu. Untuk hanya cukup bisa ngantri superdempet agar terciprati sedikit kesenangan pun, toh belum boleh.

--- Apa kabar yang bergedung di sini! ...

Tapi pasti suatu "dosa besar" untuk tugas mengurus orang banyak tapi malah diabaikan atau dimamfaatkan. Apa mungkin karena lupa? Mudahan-mudahan saja, mari berpikir positif meski nada-nadanya masih sumbang-negatif pasrah, suatu saat bila ingat akan kembali ke track yang benar.

.

Mumpung masih ada waktu, mumpung masih diberi kuasa, mumpung masih ada masa kini dan masa depan. Okelah, yang kemarin-kemarin sudah terjadi dan mau apa, nasi sudah jadi bubur, disesali saja yang kemarin, tapi sekarang dan nanti, mumpung masih ada. Dan atas nama kata mumpung,

"Hei Bapak, hei Ibu, jangan sibuk sendirilah. Di sini, kami sudah nyaris putus asa. Entah berharap kepada siapa lagi. Kami sudah tidak bisa berteriak selantang kemarin. Konstruksi mulut kami sudah gagu. Lagian daripada berteriak, kami lebih memilih menghemat tenaga yang hanya cukup untuk bisa bertahan hidup. Hanya cukup loh!"

Pancasila?

1. Ketuhanan yang Mahaesa

Untuk seluruhnya, memang dengan yang di ataslah terutama kita semua berurusan tentang nasib, harapan, dan bagaimana menjalaninya. Namun toh di sini, di Indonesia ini, Bapak dan Ibu di situlah yang kami beri kewajiban (loh) berupa tanggungjawab kuat kuasa untuk, nah yang ini hak kami, menyelenggarakan hidup kami dengan sepenuh hati dan bukan sekedar atau sekena-kenanya saja hanya karena embel-embel atribut yang Bapak atau Ibu kenakan.

2. Kemanusian yang adil dan beradab Kalo bicara siapa manusia, tidak perlu diragukan lagi, kita ras manusia, dan otak adalah simbolisasinya, kita memang memanusia. Namun kalo hanya berhenti pada itu belumlah cukup. Baiknya memanusiawi, memaksimalkan dirinya untuk mengangkat martabat rasnya, ras manusia. Ras yang bisa bertindak benar terhadap sesama rasnya dan juga terhadap yang lainnya. Jadi jangan pandang bululah Pak, Ibu. Hanya ada satu ras loh, ras manusia dan itu termasuk kami, dengan harapan Bapak, Ibu memanusiawi dengan memperlakukan segalanya dengan adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia Selama ini dengan 'mungkin' pilih kasih atau dengan kecuek-bebekan Bapak dan Ibu, ah, itu salah satu alasan yang kami bisa simpulkan kenapa di Indonesia kita banyak kekacauan. Rusuh dimana-mana. Kecerai-beraian di mana-mana. Selalu ada kabar miris memilukan tentang ketidak-bersatuan kita. Kemana perginya Persatuan Indonesia, bersatu sebagai sesama. Masa kami yang sudah hidup serba susah, masih bisa memikirkan mengapa dan mengapa sementara kalian tidak.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan Musyawarah untuk rakyat harusnya menggunakan hikmat bijaksana. Tapi dimana bijaksananya Pak, Ibu, sementara tontonan miris tentang kalian mengatasnamakan kami kerap muncul di layar warna, kontras dengan hidup kami yang cuman bisa hitam atau putih. Masih bisa makan atau bisa tertawa hari ini dan entah besok, lusa, dan lusanya lagi apa masih bisa, itu sudah cukup putih bagi kami
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Seluruh penghuni negeri ini, terutama yang selama ini terabaikan atau yang tidak punya akses ke kebahagian, berhak memperoleh keadilan dari para pewajib penyelenggara negara, tanpa tebang pilih. Semuanya punya kesamaan haknya loh.

.

.

"Ayo dong Bapak, jangan terlalu sibuk dengan yang itu, dan Ibu jangan ikut-ikutan asyik nyalon, mempercantik diri sendiri. Asyiklah mengurus kami. Biar kami sang anak tidak merasa diri sendiri. Biar kami sang anak lupa, apa kami masih punya ayah, apa kami masih punya ibu yang seperti kini, di situ!"

-Bogor-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun