Mohon tunggu...
Ryan Andin
Ryan Andin Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mungkin Hidup seperti Festival

4 April 2010   04:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_109955" align="aligncenter" width="245" caption="Ain't colorful(l) but good! (gbr dari Google)"][/caption] Untuk: W, RS Jika itu yang kau maui dalam hidup, apa yang harus bapak katakan. Membantahmu tentu tidak mungkin, mengatakanmu keliru memilih jalan itu, jelas tidak. Aku percaya, kamu akan menemukan jalanmu. Dunia yang kau coba deskripsikan sendiri. Dunia yang mestinya berwarna pada apa yang kamu lakukan kini dan di situ. Itu kan yang kamu cari! Buat apa kalo yang rata-datar saja, dan toh kita tidak selalu memilih warna yang cerah-cemerlang saja dalam menggambar: HIDUP.

"Hidup bukan kegelimpahan materi, katamu, tapi ia juga adalah kepenuhan rasa, ketakberdayaan, keterasingan, ketakberpunyaan, berani mencoba segala emosi hidup!"

Sambil kau kutip pula kata-kata pakdemu, Sokrates:

"Hidup yang selalu diwarnai berbagai masalah adalah hidup yang layak dijalani!"

Kita berdua setuju itu. Kita sama-sama mafhum, hidup kita bukan lomba menuju garis finish putih di sana dimana siapa cepat dia menang, apalagi benar. Yah, apalagi benar, Nak! Dan aku tahu, sangat tahu, kamu bukan memilih menjadi seorang sprinter yang harus dan dimestikan bergerak secepat itu untuk langsung lari menuju garis putih, menjadi pemenang. Tidak begitu kan? Saya tahu kamu pasti sudah punya definisi versimu sendiri tentang juara sejati. Pada zamanku dulu, Ben Johnson sangat terkenal. Tahu kan? Si sprinter 100 m putra AS pada Olimpiade Seoul 1988. Ia salah menilai tentang menjadi juara dan demi trofi, rela bermain-main dengan keteguhannya dengan mengomsumsi si setan anorganik, doping. Mungkin ia terlalu terbawa spirit "L'État, c'est moi"-nya Napoleon Bonaparte paman jauhmu itu. Yah, yah, negara adalah saya, dan atas namanya tidak boleh tidak, harus menang. Oh, holy shit! Banyak Ben Johnson lain yang ada di sekitar kita nak, dan kamu? Apa mesti begitu, pengagungan pada hasil membuat kita lupa esensi menjadi dan mau mencoba segala cara, memencet tombol shortcut pada diri hanya untuk kata demi. Demi itu dan ini, dan demi banyak yang lain. Kamu pernah bilang hidup itu lelakon sandiwara. Saya lebih suka menyebutnya festival rakyat. [caption id="attachment_109949" align="alignleft" width="300" caption=""D'u wanna join in this such kind of illusion ?" (Gbr dari Google) "][/caption] Look: all become festival *! Semua berlomba untuk ikut, berparade memakaikan topeng, gincu, make-up menawan-menarik pada kemasan diri untuk memanipulasi hidup yang toh katamu yakin: "Itu semua palsu!" Yah, bapak cuman berharap,

"You, you, only exist**!"

Jika semua ikut, sementara kamu tidak, tidak mengapa walau dengan itu berarti kamu sendiri. Eksis dengan prinsipmu nak, meski tidak segalanya harus dibuatkan prinsip, karena hidup lebih banyak menyangkut hal remeh-temeh yang bukan melulu bicara tentang logis-tidak logis apalagi kalah-menang, tapi lebih banyak dijalani dengan feeling. Nah, disini improvisasimu menemukan urgensinya untuk bisa bertahan. Luwes dalam ketidakpastian. Ulet!

*****

Dan tentang cinta anakku, bagaimana saya harus katakan? Mungkin dulu saya salah meramu komposisi cinta yang sebenar-benarnya. Saya tidak punya timbangan yang pas untuk itu. Kamu pernah bilang, saya terlalu pengecut untuk pergi, dan terlalu tidak tega mengatakan tidak pada lainnya yang datang kemudian. Namun dari sini, dengan kedamaian kecil yang boleh kunikmati sambil memandang langit (yang entah kenapa sangat rajin menangis di bulan ini), dari kegagalan dan rasa sesal yang mudah-mudahan tidak tak terampunkan: dalam kematian, aku baru tahu bagaimana dan apa cinta sebenar-benarnya. Cinta bagiku, Anakku, terlalu rapuh bila berdiri pada jalur sesar yang pasti rawan terkena gempa jika diobral-dioplos untuk setiap kesempatan atau kemungkinan suatu hubungan.

Cinta adalah bukti dari hasil akhir: hingga maut memisahkan kita. Bukti anakku! Sebelumnya bukan apa-apa, baru proses selalu: mencari, menuju. Itulah sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya. Titik.

*****

Dulu aku pergi jauh sebelum kamu tahu mau menjadi apa. Aku pergi ketika kamu baru merasa hidup adalah surga kenikmatan tanpa beban yang ditancapkan sang waktu pada serentang periode singkat yang bernama masa muda.

("Masa muda, aah idealisme buta yang menikam kita justru dari dalam!")

Dan kini, jika kamu telah memilih menggambar HIDUP dengan versi bedamu sendiri dan yang lain bilang jangan, tidak mengapa, karena pada akhirnya kamu sendiri yang akan meresapi sungguh esensi menjadi dan mudah-mudahan sejarah akan menambahkan post scriptum pada halamannya tentang kamu, D' Mystical Joy of Being Different! Salam

*****

*) Bait terakhir dari puisi Rainer Maria Rilke yang berjudul You, you, only exist **) Judul puisi Rainer Maria Rilke

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun