Mohon tunggu...
Ryan Andin
Ryan Andin Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Pohon

8 Januari 2015   11:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:34 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14206672231958765121

Bahwa sudah lama kau hidup, iya. Dan karenanya, sering, setiap hari bukanlah sesuatu yang spesial, melainkan tak lebih dari sekadar rutinitas yang kadang lupa tersyukuri karena hadir seolah-olah sudah sepantasnya begitu.

Bahwa sudah lama kau hidup, iya. Dan untuk mengingat lagi kapan kau pertama-tama ada, bahkan kau sudah lupa-lupa ingat. Tiba-tiba saja kau menjadi seperti hari ini. Tapi, mungkin ada baiknya kau kembali mengorek-orek ingatanmu, lalu mengingat-ingat dari mana kau berasal.

Bahwa seluruh bangunan yang ada dirimu sekarang berawal dari hanyalah sebuah tunas kecil-muda yang berangkat dari biji yang disemai pada suatu hari di masa lalu. Kemudian, dengan segala kebaikan yang kau peroleh dari sekitarmu, kau mulai membesar, batangmu mulai mengeras dan menjadi semakin tinggi. Kau menumbuhkan reranting serta dedahan yang pada ujung-ujungnya anak-anak daun hadir. Tapi semakin tinggi sebuah pohon, ia akan mudah terkena badai. Tapi baiklah kita pahami itu sebagai konsekuensi dari eksistensi yaitu bertahan hidup, dan itu berarti bertumbuh dan berkembang.

.

Untuk tahun yang baru, selalu ada hal baru sebagai pengganti selalu ada yang pergi untuk setiap tahun yang lewat. Tajuk baru berupa ranting dan dedahan baru, serta pucuk-pucuk daun baru akan muncul bersama dengan lingkar pinggangmu yang akan semakin bertambah besar. Ada yang datang untuk menggantikan setiap yang lapuk, setiap yang meranggas, atau setiap yang patah.

Untuk tahun yang baru, setelah semua yang kau alami, kau akan selalu mengingat dari mana kau berasal. Mengingat siapa-siapa dan apa-apa yang menyumbang banyak untuk keberadaanmu hingga kini. Kau akan mengingat akar-akarmu yang menyelusuk dalam menerabas tanah, bersusah payah mengambil air dan unsur hara dari sekeliling, lalu melawan amar gravitasi, mengalirkannya naik ke seluruh ceruk yang ada di tubuhmu. Betapa mengagumkan semua siklus hidup yang terjadi dalam wadah fanamu dan betapa keras kau berusaha mengoptimalkan semua yang ada pada dirimu untuk bisa, sehinggga beruntung, masih bertahan hingga hari ini.

Tapi semua keberuntungan dan kebaikan yang kau terima, segala upaya sang akar, segala kiat dedaunan hijau, tak akan punya arti apa-apa tanpa adanya sinar dari Matahari. Sinar yang kadang terhalangi awan, atau hujan, tapi selalu peduli dan tetap memandangmu dari atas sana.

Dan untuk pancaran kasih tak berhingga yang kau terima, menjadi pohon bagimu adalah menikmati panggilan. Yang menyerap ujud karbon sampah, yang mengolahnya, lalu merilisnya kembali dalam ujud lain pemberi kehidupan. Merubah yang tak berarti jadi suatu yang penting. Dan di bawah kerimbunanmu yang sejuk, mungkin di suatu siang yang gerah, kau mendapati seorang pesintas yang kelelahan dengan hiruk pikuk secara tak sengaja jatuh tertidur dengan lelapnya. Saat itu, kau menemukan makna menjadi berarti di dunia yang sering meremehkan hal-hal yang tampak kecil.

.

-------

Kredit foto: artfiles.alphacoders.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun