Mohon tunggu...
ryan giggsy
ryan giggsy Mohon Tunggu... -

MU is The Best

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anas (Pandai) Bermain ‘Silat Lidah’

10 Januari 2014   13:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_289340" align="alignleft" width="300" caption="foto: tubasmedia.com"][/caption] Setelah mangkir dari pemanggilan pada 7 Januari lalu, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kembali dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada Jumat 10 Januari 2014. Setelah sempat ‘menghilang’, Anas akhirnya muncul, namun bukan di kantor KPK, melainkan di depan awak media, di rumahnya, daerah Duren Sawit, Jakarta Timur.

Seperti yang sudah-sudah, Anas kembali memainkan kata-kata di balik sikap mangkirnya, 7 Januari lalu. Sebagai tokoh muda yang awalnya dikenal pandai dan cerdas dalam pemikiran, Anas juga ternyata pandai dalam ‘bersilat lidah’ atau memainkan kata-kata. Di depan para awak media, Jumat 10 Januari, Anas mengaku tidak mangkir dari panggilan KPK.

Dalam ‘pidatonya’ di depan puluhan awak media, Anas banyak mengeluarkan pernyataan ‘bersayap’. Dia mengaku mendukung KPK, yang dianggapnya sebagai lembaga terhormat. Dia juga mengaku siap menegakkan kebenaran dan keadilan bersama KPK. Namun kalau ditilik lebih jauh pernyataan Anas tersebut, dimana bentuk konkrit dari dukungannya kepada KPK dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Kalau mau mendukung dan siap bekerjasama dengan KPK, seharusnya dia datang, ketika dipanggil. Apakah Anas lupa bahwa KPK sedang menjalankan proses hukum. Apakah Anas juga lupa bahwa KPK sudah diberikan kewenangan secara penuh untuk memanggil dan memproses siapa pun warga negara yang sudah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus hukum, atau lebih spesifiknya yang terlibat korupsi.

Sebagai orang yang selalu mengaku menghormati hukum, sebagai warga negara yang baik, seharusnya Anas paham bahwa penting bagi dirinya untuk taat pada proses hukum tersebut. Caranya bagaimana? Salah satunya dengan datang, ketika KPK memanggilnya. Apalagi statusnya sudah menjadi tersangka. Kalau pun Anas sejauh ini selalu membela diri dan menyatakan dirinya tidak bersalah, buktikan itu kepada KPK, jelaskan kepada KPK. Toh, KPK juga tidak sembarangan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

KPK bukan lembaga bodoh. KPK adalah lembaga superbody yang cara bekerjanya jauh lebih canggih dan terstruktur dibanding kejasakaan atau kepolisian. Namun yang terjadi Anas seperti sengaja memainkan peran seolah-olah dirinya mendapatkan perlakuan beda dari KPK. Dia berusaha melawan proses hukum yang dilakukan KPK dengan menggiring opini publik, bermain dengan kata-kata seperti tidak jelas dengan bahasa pemanggilan KPK, tidak tahu mengenai kasus korupsi ini dan itu. Dari sini saja bisa dilihat bahwa Anas sepertinya (memang) takut untuk datang dan berhadapan dengan KPK. Berbagai cara dilakukan, mulai dari mengumpulkan para simpatisan melalui wadah Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), menuduh Si A dan Si B bertemu dengan KPK dan menganggap adanya intervensi di balik pemanggilan Anas.

Dalam posisi terjepit, dimana KPK sudah mengancam akan melakukan penjemputan paksa, Anas masih menyempatkan diri untuk ‘bersilat lidah’. Dia memposisikan diri sebagai orang yang taat hukum, mengaku tahu alamat KPK di Jalan HR Rasuna Said dan menyatakan tidak perlu dirinya dijemput oleh Brimob. Saya pikir, saat ini Anas berada pada posisi ketakutan, ketika KPK menyatakan menemukan beberapa bukti keterlibatannya dalam sejumlah kasus korupsi. Sayang, orang sepandai dan secerdas Anas, kini hanya bisa menggunakan kepandaian dan kecerdasannya untuk ‘bersilat lidah’, merangkai kata-kata untuk membela dirinya.

Anas seperti orang tidak sadar, kepada siapa dia berhadapan? Saat ini Anas berhadapan dengan KPK, sebuah lembaga yang tanpa pandang bulu memeriska dan menahan siapa pun yang terlibat korupsi atau dinyatakan sebagai tersangka.  KPK pasti sudah mengumpulkan bukti hingga 100%, ketika sudah melayangkan surat panggilan untuk diperiksa.

ICW bahkan menilai langkah Anas sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi. Lebih buruk dari Atut yang lebih gentle dan siap bertanggung jawab. Kritik juga untuk PPI, memang sudah sepantasnya membela orang yang telah menjadi pelopor berdirinya ormas tersebut. Namun cara membelanya harus elegan, tidak membabi buta dan mencari ‘kambing hitam’ kesana kemari.(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun