Mohon tunggu...
Ryan Adriansyah
Ryan Adriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Panjang umur hal-hal baik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasang Surut Berniaga Kala Pandemi

10 Desember 2021   07:46 Diperbarui: 10 Desember 2021   07:58 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejuknya angin berembus pelan pada tiap raga di Alun-Alun Kidul, Kota Yogyakarta. Tirai angkasa menghalangi mentari yang hendak menerangi tiap sudut alun-alun. Pelbagai aktivitas dilakoni di tempat yang terkenal dengan dua pohon yang historis itu. Meski cuaca sore itu tampak tak bersahabat, suasana alun-alun di Kota Budaya itu kian ramai.

Suasana yang ramai itu dirasakan pula oleh Parija (55), penjual sate di sekitaran Alun-Alun Kidul, Kota Yogyakarta. Duduk bersila sembari mengipasi sate ia lakoni tiap hari. Tutur katanya yang santun kerap membius para pejalan kaki yang melewati dirinya.

"Memang aku terbiasa seperti itu supaya orang-orang pada seneng dan beli daganganku," ujar Parija sambil sesekali membetulkan maskernya.

Senyum semringah tertaut di wajahnya. Satu per satu wisatawan mlipir hendak membeli sebungkus sate yang ia jual. Bersama dengan penjual sate lainnya, Parija berjualan dari pukul 3 sore hingga pukul 8 malam.

"Aku mulai jualan itu dari jam 3 (sore) sampai jam 8 (malam). Kalau hari Sabtu biasanya sampai jam 9 malam," ujar Parija, Kamis (8/11/2021) sore.

Atmosfer Alun-Alun Kidul yang ramai itu tampak berbeda ketika awal pandemi berlabuh di Indonesia. Dengan segala pembatasan yang dicanangkan pemerintah membuat para pedagang di sekitaran Alun-Alun Kidul mau tidak mau harus tunduk, termasuk Parija.

"Waktu awal pandemi itu, aku jualannya keliling, nak," ujar Parija.

Sedari sepuluh tahun yang lalu berjualan di sekitaran Alun-Alun Kidul, kini Parija mulai dengan cara baru, yaitu dengan keliling di daerah Danunegaran, tempat Parija tinggal. Namun, dengan cara berjualan seperti itu, terkadang Parija menerima penghasilan yang tidak tetap.

"Sudah sepuluh tahun aku jualan di sini. Semenjak ada pandemi, aku jualannya deket rumah aja," ujar Parija.

Semasa pemberlakuan pembatasan diterapkan, Parija menjajaki tiap daerah dengan berjalan kaki dengan membawa barang dagangannya, seperti panggangan sate, arang, kantong, kertas nasi, dan lain-lain. Parija kerap menjamu tiap orang yang mendatanginya untuk membeli sate, tetapi jumlahnya tidak banyak.

Ditambah dengan gencarnya peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia, situasi perekonomian Parija semakin tak jelas arahnya.

"Aku mesti jualan. Aku datang ke Jogja itu merantau. Kalau aku nggak jualan, aku mau makan apa, aku nggak bisa pulang," ungkap Parija.

Belum lagi soal hujan. Parija bersimpuh, hujan adalah musuh kedua setelah pandemi. Ketika hujan datang, Parija tidak bisa jualan.

"Aku udah paling takut kalau datang hujan, nak. Itu kalau hujan, aku nggak bisa jualan. Apalagi, akhir-akhir ini selalu hujan, aku mau cari uang ke mana," ujar Parija lirih.

Meski dihadapkan dengan kondisi yang buruk, Parija derana. Parija percaya bahwa narasi hidup sudah termaktub. Ia hanya mampu bertahan dan gigih melewati semua persoalan dalam hidupnya.

Hari ke hari, situasi mulai sedikit berubah. Berbagai usaha untuk menekan laju penyebaran pun acap dilakukan oleh yang berkuasa. Kencangnya vaksinasi turut andil dalam mengubah situasi yang kian hari tampak "normal". Tak lupa, karantina diri sempat diterapkan ketika situasi genting gelombang kedua menghantui Bumi Pertiwi ini.

Kini, penerapan pembatasan pun sudah mulai ada pelonggaran. Berbagai aktivitas mulai berjalan seperti sedia kala, seperti belajar di sekolah, bekerja di kantor, berolahraga di luar rumah, dan lain sebagainya. Orang-orang mulai melakoni kegiatan di luar rumah setelah hampir lama mendekam di sel rumahnya sendiri.

Tak hanya itu, roda perekonomian pun mulai menunjukkan titik baru. Destinasi wisata saat ini sedikit banyak telah dibuka kembali. Para traveler yang memang mencintai jalan-jalan sudah merindukan hal ini sejak lama.

Dengan adanya titik baru di ranah perekonomian, para pedagang sedikit bisa bernafas lega. Mereka mulai mempersiapkan lembaran baru, yaitu dengan menyambut narasi hidup yang berubah menuju arah yang lebih baik. Mereka mengharapkan hal-hal baik jatuh di tangan mereka.

Suasana yang tampak "normal" ini mulai banyak dimanfaatkan oleh para pedagang. Mereka mulai memadati daerah yang sudah lama tak mereka sapa, yaitu daerah-daerah penghasil rezeki. Parija dan segenap pedagang lain mulai kembali berniaga. Parija yang terkungkung di daerah tempat tinggalnya, kini sudah bisa kembali berjualan di tempat yang sudah sepuluh tahun ia duduki.

Pasang surut berniaga ini telah Parija saksikan sendiri. Awal merintis karier di tanah rantau yang berjalan lancar, seketika dihadapkan dengan situasi yang genting, situasi yang memaksa ia menghadapi rintangan yang tak biasa. Berbagai macam cara telah ia lakukan demi menyambung hidup. Namun, dengan segala jerih payahnya, dengan segala usaha keras yang ia lakukan, Parija tetap bersyukur. Parija menerima takdir ini dengan ikhlas.

"Alhamdulillah, aku masih diberi kesehatan, aku masih diberi rezeki, aku masih bisa jualan," ungkapnya sambil tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun