"Apapun tujuan dari suatu praktik kultural, tak diragukan lagi sarana produksinya selalu bersifat material"
(Raymond Williams)
"Jika konsumen adalah raja, maka industri adalah Kasparov"
(Homicide – Boombox Monger)
Berbicara mengenai budaya massa, dapat berangkat dari pemilahan Leavis dan Arnold antara yang baik dan buruk, yang tinggi dan yang rendah, terpusat pada persoalan tentang kualitas estetis (Barker, 2005). Berarti membandingkan antara budaya tinggi (high culture) dan budaya rakyat (folk culture) dengan budaya rendah (low culture). Budaya tinggi dikenal sebagai budaya elit yang mengagungkan nilai – nilai bersumber dari pemikiran kaum pelajar sedangkan budaya rakyat (folk culture) lahir dari pemikiran yang luhur tradisi masyarakat terdahulu dan diturunkan secara turun temurun. Musik klasik karya Beethoven, Sebastian Bach dan Mozart adalah suatu contoh hasil dari pemikiran budaya elit barat. Musik klasik sangat mengagungkan nilai estetis keindahan pada notasinya sehingga menimbulkan apresiasi bagi yang mendengarnya. Contoh lain yaitu nilai – nilai budaya elit timur seperti kesopanan, kepatuhan, saling menghormati, toleransi adalah budaya yang memiliki nilai estetis khas ketimuran. Selain itu, teks proklamasi kemerdekaan RI merupakan buah karya pemikiran kaum elit terpelajar Indonesia yang dijadikan sebagai landasan akhir perjuangan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan pada waktu itu. Lalu apa itu budaya rendah? Budaya rendah lahir dari sebuah komodifikasi budaya dari pengalaman sehari-hari menjadi sebuah budaya yang mendewakan keuntungan, karena budaya disini sudah masuk dalam jejaring Industri, menurut istilah Adorno dan Horkheimer sebagai "Industri Budaya" yang tidak dapat dilepaskan dari praktik ekonomi-politik dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis. Seperti kata fiske (1989a : 27 dalam Barker, 2005), "dalam masyarakat kapitalis tidak ada apa yang disebut sebagai budaya rakyat yang autentik, yang bisa dipakai untuk menakar ketidakautentikan budaya massa, sehingga meratapi hilangnya autentisitas adalah sebuah nostalgia romantis yang tidak ada gunanya". Hilangnya autentisitas seperti istilah fiske terjadi karena, budaya massa menggiring masyarakatnya untuk menjadi masyarakat kapitalis konsumtif yang secara tidak sadar menenggelamkan bahkan menghilangkan budaya rakyat. Masyarakat bahkan tidak membutuhan budaya lain sebagai pembanding. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa aktivitas mereka diarahkan ke ranah konsumsi aktif, dimana mengkonsumsi adalah suatu kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Istilah budaya massa merupakan sebuah istilah yang tidak asing dalam kajian media dan budaya, terlebih mengacu pada sebuah analisis produksi budaya. Budaya massa yang dalam istilah inggris disebut mass culture awalnya berasal dari bahasa jerman Masse dan Kultur, yang mengandung nada mengejek atau merendahkan. Berarti istilah budaya massa identik dengan lawan kata dari istilah budaya tinggi (high culture) atau budaya elit. Awal mula Istilah budaya tinggi mengacu kepada sekumpulan masyarakat elit terpelajar barat yang berpikir dan hasil pemikiran yang dihasilkannya. Sebaliknya istilah budaya massa mengacu pada masyarakat barat yang tak terpelajar dan non aristokratik[1]. Kelompok masyarakat tersebut bila disesuaikan dengan kondisi saat ini disebut dengan masyarakat kelas menengah kebawah, kelas pekerja dan kaum miskin. Dengan demikian, pengertian secara ekstrimnya jika budaya tinggi dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”, yang elit dan terpelajar, maka istilah budaya massa dianggap milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak terpelajar. Kelompok Masyarakat inilah yang menjadi sasaran "empuk" pengusaha-pengusaha media dalam mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari sebuah program acara yang dapat dikatakan berselera dangkal tapi berating tinggi.
Dalam sebuah buku sekumpulan tulisan tentang potret kebudayaan massa di Indonesia, berjudul Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (2005), Pengertian budaya massa disimpulkan merujuk pada sebuah produk dan praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, dimana mereka tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas produk budaya, dalam benak mereka yang ada hanya konsumsi, dan bagi pengusaha media produk budaya dijadikan komoditas yang dieksplorasi menjadi sebuah tontonan yang ber"nilai".
Tayangan empat mata merupakan sebuah contoh produk kebudayaan massa. Empat mata bukan saja telah berhasil mendongkrak pemasukan Trans 7 melalui ratingnya yang tinggi namun juga berjasa dalam mempopulerkan tayangan talk show berselera rendah. Dapat dilihat dari pemilihan pembawa acara, Tukul Arwana seorang pelawak yang memandu acara dengan panduan laptop di depannya. Tukul mewawancarai bintang tamu di acara tersebut dengan membacakan pertanyaan dari laptop, dan terkadang terbata-bata, malah seringkali tidak tuntas. Hal yang sering dilakukan Tukul untuk menghindar dari kekurangannya itu adalah dengan mengejek dirinya sendiri atau penonton di studio dengan cenderung "kasar". Dapat dicermati bahwa seorang pembawa acara yang seharusnya menjadi front liner dalam sebuah acara tidak menguasai medan dengan baik, namun hal itu menjadi wajar dalam budaya massa. Dalam acara tersebut Tukul didampingi oleh sosok wanita "pemanis" yang sering menggunakan pakaian minim, dikenal dengan nama Vega. Vega lah yang kemudian harus rela mengambil peran sebagai objek yang "dilecehkan" secara massif ketka ia harus menutupi kekurangan dari Tukul. Empat mata pada awalnya mendatangkan bintang tamu wanita dengan pakaian minim bahkan cenderung terbuka sebagai objek dengan mengumbar sensualitas tubuhnya. Hal tersebutlah yang membuat empat mata laris manis diserbu iklan, meminjam istilah tukul yang sering diucapkannya pada setiap penayangan bahwa dirinya adalah "artis pendongkrak rating dan sharing". Namun tidak jarang, muatan acara tersebut berisi pelecehan terhadap orang lain. Pernah dalam sebuah episode penayangannya Selasa 8 April 2008, yang menghadirkan sosok bapak dari Tukul sebagai "mysterious guest" dan Titi Kamal, penonton dikagetkan dengan pelecehan Tukul kepada bapaknya, berupa ejekan yang tidak seharusnya dilakukan di kehidupan nyata oleh anak kepada bapaknya. Tukul dengan bangganya memperolok dan menertawakan bapaknya yangmengalami kekurangan daya dengar dan harus menggunakan alat bantu dengar itu dengan kalimat yang tidak enak didengar seperti,
·"Ngapain kesini?", "ngomong dong?? Jangan cengar cengir aja, jadi bintang tamu kan dapat 1,5 Juta. Entar honornya juga habis dibagi-bagikan sama orang sekampung".
·"Wuaduh kok minumnya kayak orang kehausan begitu" (mengomentari bapaknya yang sedang minum).
·Apa? Sudah mau minta amplopnya (honor) ya?[2]
Ternyata bukan hanya Tukul yang "menghakimi" bapaknya dengan ledekan – ledekan kasar, Dua pendamping Tukul dalam acara itu, Peppy dan Vega juga bergiliran melontarkan kalimat – kalimat yang merendahkan seperti ketika Peppy tanpa sopan santun berkomentar karena sang bapak hanya diam ketika ditanya, "dia gak dengar karena walkmannya belum dipasang", lalu Peppy berteriak disamping telinga sang bapak. Sangat tidak pantas bahwa suatu produk acara begitu sangat mengeksploitasi kekurangan menjadi sebuah komoditas.
Namun inilah potret budaya massa yang merasuk di kehidupan masyarakat kita. Dari isi sebuah acara, empat mata dapat dikatakan sebuah acara remeh temeh yang mengandalkan humor-humor slapstick yang cenderung kasar dan mengekspos sensualitas tubuh perempuan. Tak heran bahwa KPI pada akhirnya harus menegur dan melakukan skorsing terhadap acara tersebut. Namun lagi-lagi acara tersebut kemudian muncul dengan isi dan tema yang sama hanya berganti nama menjadi "bukan empat mata".
Fenomena empat mata sebagai acara yang sukses jika diukur dengan rating, tak ayal menimbulkan praktik "penjiplakan" oleh stasiun – stasiun televisi lain. Triyono Lukmantoro, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Undip, dalam tulisannya "rating televisi : komodifikasi estetika dan standarisasi selera"[3] mencermati program – program acara yang memiliki substansi acara yang sama dengan empat mata, seperti program SMS (Senin Malam Show) yang dipandu oleh Indro Warkop (indosiar), Midnight Show yang digawangi Komeng dan Deni Project Pop (SCTV), Dewi – Dewi Malam yang ditangani oleh Eko Patrio (TPI), Catatan Si Tukul, Catatan Si Eko dan Catatan Si Tessy (RCTI) (Sasangka, 2008 : 60). Bisa dicermati keseluruhan tayangan talk show itu mirip dengan empat mata, namun berbeda dalam hal pembawa acaranya saja.
Contoh lain dari menjamurnya produk – produktayangan kebudayaan massa bisa dilihat dari muncul ke permukaan sebuah tayangan yang mengangkat nilai – nilai privat ke ranah massa, sehingga tidak ada lagi batasan antara yang layak diangkat sebagai berita dengan yang tabu. Salah satu jenis tayangan itu dikenaldengan nama populer Infotainment, sebuah perpaduan antara informasi dan entertainment. Tayangan yang isinya mengangkat kehidupan pribadi selebritis yang dipaksakan masuk ke ranah publik. Uniknya, setiap stasiun televisi mempunyai lebih dari satu acara yang banyak membahas gosip selebritis ini, tentunya dengan tema dan isi yang hampir semua sama. Dimulai dengan kemunculan Cek & Ricek, acara infotainment produksi Bintang Group dan ditayangkan RCTI yang dengan bangganya menyebut sebagai "pelopor jurnalisme infotainment". Saat ini tayangan yang mengedepankan sensasionalitas selebriti serupa Cek & Ricek semakin banyak menghiasi televisi kita, bahkan dengan frekuensi jam tayang yang relatif tinggi. Triyono Lukmantoro kembali mencermati tayangan – tayangan seperti Silet & Kabar Kabari (RCTI), Was Was, Bibir Plus, Sketsa Selebriti, Otista, Ada Gosip, Hot Shot, dan Kasak Kusuk (SCTV), Espreso, Double Espresso, dan Espresso Prime Time (ANTV), Kassel, Go Show, dan Kasuss (TPI), Kiss dan Kiss Sore (Indosiar), Infotainment Pagi dan Infotainment Siang (Trans 7), Genie dan Obsesi (Global TV), Expose Pagi dan Expose Siang (Lativi) (sekarang menjadi Xpose (TV One)), serta insert pagi, Insert Siang, Insert Investigasi dan kroscek (Trans). Keseluruhan acara tersebut isinya memang seragam, namun tetap saja mengundang banyak penonton dan mendatangkan perolehan iklan tentunya.
Dari dua contoh kasus fenomena produk budaya massa di televisi kita, ada empat kerisauan yang ditimbulkan oleh kebudayaan massa menurut Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya “Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”[4], yaitu (1) Kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang semata, (2) kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya, (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan.
Pada akhirnya industrilah yang menenggelamkan kebudayaan elit yang dahulu diagung-agungkan sebagai budayanya kaum terpelajar. Ketika nilai dari sebuah tayangan diukur berdasarkan rating, bukan berdasarkan kualitas tayangan, maka yang ada sekarang adalah tayangan-tayangan yang seragam dan menghalalkan segala cara. Sehingga nilai kreativitas sebuah tontonan berkualitas yang kita idamkan menjadi hilang digantikan dengan produksi-produksi massal sinetron mengejar deadline.
BAHAN - BAHAN REFERENSI
BUKU
Ibrahim, Idi Subandi, 2005. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Jogjakarta : Jalasutra.
Sasangka, Danarka, Meylani Yo, dan Yuningtyas Setyawati, 2008. Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis Dan Media, Jogjakarta : Fisip Universitas Atma Jaya.
INTERNET
Tentang Kebudayaan Massa Dalam Masyarakat
http://www.ruangbaca.com/resensi/?action=b3Blbg==&linkto=OTY=.&when=MjAwNTEyMDU=
It's Not A Joke Tukul!!
http://baroezy.multiply.com/photos/album/128/ITS_NOT_A_JOKE_TUKUL...
[1] Tentang Kebudayaan Massa dalam Masyarakat
http://www.ruangbaca.com/resensi/?action=b3Blbg==&linkto=OTY=.&when=MjAwNTEyMDU=
[2] It's Not A Joke Tukul!!
http://baroezy.multiply.com/photos/album/128/ITS_NOT_A_JOKE_TUKUL...
[3]Dalam Buku Kumpulan Tulisan Dari Diskusi Dies Natalis XVI Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta : Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis & Media (Sasangka, 2008)
[4] Dalam Buku Kumpulan Tulisan Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Ibrahim, 2005)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H